Oleh: Khairil Miswar
Tulisan ini berangkat dari pantauan jarak jauh terhadap kondisi terkini yang melanda Masjid Oman, atau sering pula disebut Masjid Oman Al-Makmur yang berdiri megah di salah satu pojok Kota Banda Aceh. Saya menyebut “pantauan jarak” jauh tersebab saya tidak hadir dan tidak melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Dalam peradaban maya seperti saat ini, segala informasi mengalir begitu deras sehingga apa pun yang terjadi di luar sana bisa masuk ke telinga siapa pun tanpa perlu menunggu lama. Seperti gunung yang meledak, kepingan-kepingan informasi itu pun terbang sampai jauh.
Baru-baru ini tersiar kabar bahwa Masjid Oman nan megah itu dilanda satu tragedi. Saya menyebutnya tragedi tersebab ada aroma kesedihan di sana, meskipun tidak semua orang merasakan kesedihan itu. atau mungkin kesedihan itu menjadi kegembiraan bagi secuil orang. Terserah! Yang jelas sesuatu yang tidak patut telah terjadi di sana.
Tragedi itu bukan pertama kali terjadi di Masjid Oman, salah satu masjid yang kabarnya selalu dipenuhi jamaah. Bahkan di sana, para jamaah bukan saja memenuhi masjid, tapi kononnya mereka juga memenuhi “celengan-celengan” di sana tanpa perlu “melelang” di pinggir jalan.
Apa yang terjadi baru-baru ini di Masjid Oman hanyalah pengulangan dari lakon-lakon sebelumnya. Lakon-lakon itu terus membiak beranak-pinak dalam beberapa tahun terakhir.
Tersiar kabar bahwa ada “imperium besar” yang merasa gelisah dengan “eksistensi” penceramah-penceramah di Masjid Oman sehingga tragedi itu pun terulang. Tragedi hampir serupa juga pernah menimpa Masjid Raya Baiturrahman pada 2015 lalu dan juga masjid-masjid lain pasca itu.
Namun begitu tulisan ini belum ingin mengulas tragedi, lakon dan lelucon yang dipertontonkan di Masjid Oman baru-baru ini. Biarlah di lain waktu.
Tulisan ini hanya ingin menyinggung tentang sikap “oportunis” sebagian oknum yang dulunya pernah mengalami tragedi serupa. “Oportunisme” itu tampak turut berdendang dan menari-nari di tengah gemuruh Masjid Oman yang bergolak. Mungkin agar terlihat bijak, tapi faktanya justru terkesan “menginjak.”
Beberapa oknum terlihat dengan santai menyebut para pelakon tragedi di Masjid Oman sebagai “saudara.” Ironisnya komentar-komentar itu hadir pada saat yang kurang tepat; pada saat saudara2 mereka membutuhkan dukungan dari teman-temannya yang senasib.
Komentar-komentar yang “asal lontar” Itu tetap kita hargai sebagai sebuah pendapat, tapi sayangnya mereka terkesan lupa diri. Lupa pada nasibnya yang juga belum selesai.
Tragedi “batu meteor” yang pernah dan masih menimpa mereka seperti hilang begitu saja hanya karena “mantra-mantra” pelakon di Masjid Oman yang menyebut mereka sebagai “saudara.” Terlalu naif memang.
Tentu sangat tidak adil ketika kita yang menjadi korban, kita berteriak lantang bahwa ini “intoleran.” Tapi ketika tragedi menimpa pihak lain kita justru berleha-leha sembari tersenyum manis pada “saudara-saudara.” Dok takhem!
Dengan demikian, sebutan oportunis tidaklah berlebihan.
No comments:
Post a Comment