Oleh: Nab Bahany As
Pada 24 Juni 1599, dua buah kapal Belanda berlabuh di kuala pelabuhan Kerajaan Aceh. Dua buah kapal tersebut bernama “De Leeuw” dan “De Leeuwin”.
Kapal “De Leeuw” nakhodanya dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan kapal “De Leeuwin” nahkhodanya dipimpin oleh adiknya Cornelis, yaitu Frederik de Houtman.
Kedatangan Cornelis dan Frederik de Houtman ke Aceh waktu itu tujuannya utk melobi Kesultanan Aceh, yang ketika itu berada di bawah kepemimpinan Sultan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukammil (1585-1604 M), agar Sultan mengizinkan Cornelis dan adiknya Frederik menjalin hubungan perdagangan rempah dengan Aceh.
Sultan Aceh Saidil Mukammil saat itu tidak keberatan bila Cornelis dan adiknya Federik berhubungan dagang dengan Aceh. Tapi dengan syarat, sebelum mereka berdagang di Aceh, Sultan Aceh meminta dua kapal mereka dapat dicarter lebih dulu oleh Sultan Aceh, untuk mengangkut pasukan Aceh ke Selangor guna menyerang Portugis di sana.
Dalam negosiasi itu, Cronelis dan adiknya Frederik tidak keberaran kedua kapalnya dicarter oleh Sultan Aceh. Setelah semuanya deal, Sultan Aceh pun membayar sepenuhnya harga cateran dua kapal tersebut.
Dua hari sebelum keberangkatan pasukan Aceh, untuk menyerang Selangor dengan menggunakan dua kapal tambahan cateran itu, selain puluhan kapal milik kerajaan Aceh lainnya, Sultan Aceh mengadakan sebuah kenduri besar di istana kerajaan, kenduri itu dimaksudkan untuk melepaskan pasukan Aceh yang akan berangkat ke medan perang menyerang Selangor.
Dalam upacara kenduri di istana kerajaan Aceh itu, Sultan Aceh juga memerintahkan agar sebagian makanan dari kenduri itu, diantar kepada kedua anak buah kapal milik Cornelis dan Frederik yang telah dicerter itu, untuk esoknya akan berangkat ke Selangor membawa pasukan Aceh.
Maka, berbagai menu makanan khas masakan Aceh pun diantar ke anak buah kapal yang sedang berlabuh di Kuala Aceh. Setelah anak buah kedua kapal itu mencicipi kenduri yang diantar dari istana kerajaan Aceh, banyak dari anak buah kedua kapal itu mengalami pusing-pusing, ada yang muntah-muntah. Bahkan ada di antara anak buah kapal itu yang tidak sadar diri, setelah makan kenduri yang diantar dari istana kerajaan Aceh itu.
Melihat kondisi anak buah kapalnya demikian, Cornelis de Houtman pun marah-marah. Cornelis menuduh Sultan Aceh telah sengaja meracuni anak buah kapalnya.
Berita tuduhan Cornelis terhadap Sultan Aceh yang telah meracuni anak buahnya pun sampai ke istana Aceh. Lalu Laksamana Keumalahayati dengan beberapa pasukannya pun mengadakan sidak untuk memeriksa apa yang telah terjadi pada anak buah kedua kapal yang telah dicarter itu.
Kedatangan Laksamana Keumalahayati untuk melihat kondisi anak buah kapal, disambut oleh Cornelis de Houtman dengan penuh marah-marah dan caci maki pada Keumalahayati dan Sultan Aceh.
Melihat keberingasan Cornelis de Houtman, dengan menghina Sultan Aceh yang dialamatkan pada Laksamana Keumalahayati itu, laksamana perempuan ini pun hilang kesabarannya. Duel perkelahian Laksamana Keumalahayati dengan Cornelis de Houtman pun tak terhindari.
Dalam duel itu, hingga akhirnya Cornelis de Houtmen harus merenggang nyawa dengan sebilah Siwah di tangan Laksamana Keumalahayati. Cornelis de Houtman tewas di Aceh, di tangan seorang perempuan yang bernama Laksamana Keumalahayati pada tahun 1599.
Sementara adik Cornelis yaitu Frederik de Houtman selamat dari tragedi itu. Dan Federik de Houtman setelah peristiwa terbunuhnya Cornelis (abangnya), menjadi tawanan di kesultanan Aceh. Dua tahun kemudian Federik de Houtman baru dibebaskan dari tahanan kesultanan Aceh, pulang kembali ke Belanda.
Muncul pertanyaan, apakah jasad Cornelis de Houtman (1599) saat itu dibawa ke darat dan dikuburkan di Aceh? Atau disemayamkan di laut, karena Cornelis tewas dalam kapalnya?
Di bawa pulang ke Belanda, tidak mungkin. Apa lagi kedua kapalnya saat itu sudah pasti menjadi sitaan kesultanan Aceh. Ini pertanyaan yang barang kali menjadi PR bagi penyuka sejarah, atau bagi sejarawan yang suka mempelajari dan menggali sejarah Aceh.
Saya menyarankan pada pemerintah Aceh, peristiwa tewasnya Cornelis de Houtman di Aceh di tangan Laksamana Keumalahayati tahun 1599, dapat dibuat sebuah monumen, seperti monumen tewasnya seorang Jenderal Belanda yang bernama Kohler di depan Masjid Raya Baiturrahman tahun 1873.
Sumber: Facebook Nab Bahany As
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Wikipedia.
No comments:
Post a Comment