Oleh: Arifudin
Bangsa kita adalah bangsa yang yang besar dan memiliki komitmen untuk memahami buah pemikiran dan cara pandang yang disarikan para pendiri bangsa.
Para founding father kita telah membuat rumusan atau intisari yang digali dari jiwa bangsa ini, dari ruh bangsa ini, dari sikap hidup bangsa ini, yang berbhineka dan penuh nilai-nilai luhur bangsa. Pertanyaannya. Apakah rumusan atau intisari bangsa kita?
Jawabannya adalah lima sila dari Pancasila, dasar negara kita yang akhir-akhir ini semakin dilupakan dan disepelekan oleh generasi milenial bangsa.
Dan bahkan oleh seorang tokoh intelektual yang lahir, dan hidup sedang menikmati seluruh kebaikan alam Indonesia, dianggap sebagai ideologi yang “gagal.”
Belakangan ini Pancasila mulai dipudarkan, oleh ideologi-ideologi dari luar yang dianggap lebih menarik dan dipelajari anak-anak muda masa kini dan akan mendatang
Penulis ingin mengacu pada kenyataan-kenyataan (realitas) bahwa ada upaya “pemudaran” nilai-nilai luhur bangsa Indonesia bernama yang bernama Pancasila itu. Lantas bagimana rumusan tersebut supaya kita bisa memberikan sumbangan pemikiran, pijakan yang jelas bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar sesuai amanat UUD 1945 dan cita-cita dan tujuan didirikannya bangsa ini oleh semua komponen pendiri bangsa yang mewakili seluruh anak bangsa, tentunya sesuai dan berdasarkan Pancasila.
Setiap bangsa pasti memiliki jalan sendiri sesuai karakter dan sejarah bangsa. Itulah mengapa dunia ini terdiri dari berbagai macam bangsa, suku dan agama. Apa yang baik bagi bangsa lain belum tentu baik bagi bangsa kita.
Bapak proklamator kita sudah meletakkan dasar bernegara yaitu Pancasila, sebuah penggalian berdasarkan sejarah kejayaan masa lalu dan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, budaya dan agama, tetapi memiliki satu kesamaan dalam hal adat istiadat ketimuran.
Tetapi, kenapa seolah-olah Pancasila itu hanya dianggap “jargon semata” dan tanpak sulit di wujudkan? Karena sebagian besar orang memandang Pancasila tidak secara sederhana, dan tidak melihat dari sudut pandang sebagai rakyat Indonesia yang memiliki adat istiadat ketimuran.
Menurut penulis untuk mewujudkan sebuah negara yang besar sangatlah sederhana hanya dengan syarat setiap warga negara Indonesia melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Apa yang dimaksud dari kata “murni dan konsekuen?” Yaitu murni menerapkan secara sederhana setiap sila yang terdapat dalam Pancasila, kemudian secara konsekuen yaitu secara berurutan, bertahap dalam pelaksanaannya. Saya melihat bukan kebetulan sila tersebut berurutan dari sila 1 ke sila 5.
Pancasila terdiri dari lima sila yang tidak mungkin silanya berdiri sendiri, tetapi sebuah sila yang berurutan dalam pencapaiannya.
Kalau kita melihat Pancasila secara utuh, apa adanya dan sederhana, mudah sekali mewujudkan bangsa yang besar dan memiliki karakter dan kepribadian yang kuat.
Hal yang paling pertama, mari kita baca sila kesatu, Ketuhanan yang Maha Esa. Cukup sampai di situ kita membacanya. Di sini tertulis Tuhan dengan awalan Ke- dan akhiran -an. Mari kita bedah maksud dan tujuan awalan ke- dan akhiran -an.
Awalan Ke- dan akhiran -an memberikan kita perspektif dan sebuah pijakan paling dasar yaitu menempatkan Tuhan di atas segalanya, di atas kepentingan manusia, di atas kepentingan golongan. Menyerahkan segalanya kepada Tuhan, menyadari bahwa Tuhanlah pemilik semuanya dan Tuhanlah sebagai saksi semua perbuatan kita.
Inilah arti kata “Esa”. Sebuah konsep semua adalah satu kesatuan dalam kekuasaan Tuhan.
Apabila sudah menempatkan Tuhan di atas segalanya, kita tidak akan memandang manusia Indonesia dengan label-label suku, agama, dan ras (SARA) di belakangnya, maka terwujudlah sebuah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila ke-2 Pancasila memiliki makna bahwa Manusia Indonesia mengedepankan nilai-nilai keadilan, nilai-nilai kemanusian, saling menghargai, menghormati sekaligus saling mengasihi, karena cahaya Illahi lah yang mengisi setiap relung hati manusia.
Nilai-nilai Illahi berada di atas semua golongan dan SARA karena sudah tertanam konsep bahwa keanekaragaman, suku, ras, golongan dan agama adalah semata-mata wujud kekuasaan-Nya.
Sehingga semua warga negara akan merasa diberlakukan adil dan seluruh warga negara akan berlaku saling adil karena pandangan murni sisi kemanusiannya saja tanpa takut ada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) atau dikucilkan berdasarkan SARA.
“Kita sama rakyat Indonesia.”
Setelah menjadi manusia yang adil dan beradab, maka dengan dasar sila ke-2 tersebut kita akan melangkah ke sila yang ke-3 Persatuan Indonesia. Tanpa nilai keadilan, tanpa menjadi manusia yang beradab, sangat sulit mewujudkan toleransi, tepa selira dan menghargai, karena kita sebagai manusia pada dasarnya selalu mengedepankan golongannya saja.
Bersatunya seluruh bangsa Indonesia merupakan modal dasar yang ketiga. Tanpa nilai persatuan bagaimana kita akan melangkah ke sila yang ke-4 yaitu Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan?
Bagaimana kita bisa berkumpul apabila tanpa dilandasi rasa persatuan yang murni apalagi membicarakan kepentingan bersama?
Yang terjadi di hadapan kita sekarang hanya sekadar bagaimana kepentingan pribadi dan golongannya terakomodasi bahkan berujung pada gontok-gontokan dan pemaksaan kehendak melalui cara-cara yang “kurang baik” dan “kurang ajar”. Salah satu yang paling dilakukan adalah “membeli”, sehingga uang menjadi sebuah elemen yang sangat penting dalam persatuan model instan.
Di dasar atau sila yang ke-4 bisa kita lihat bahwa penyelenggaraan pemerintahan untuk memimpin rakyat Indonesia adalah melalui sistem musyawarah, mufakat bersama agar memberikan solusi secara bijaksana (arif), yang dilakukan oleh perwakilan dari seluruh elemen bangsa ini.
Perwakilan terdiri dari wakil semua elemen masyarakat yang dipilih oleh masing-masing golongan, suku dan sebagainya. Kenapa harus wakil? bukannya semua rakyat ikut serta? Karena tidak semua rakyat Indonesia itu mampu baik secara emosi, intelektual, dan fisik.
Juga secara karakter dan sejarah bangsa ini yaitu setiap suku memiliki dewan perwakilan adat yang terdiri dari tokoh yang memiliki kapasitas yang mumpuni secara alamiah.
Bahkan sekarang dalam hal praktik demokrasi yang mengiblat ke Barat terutama demokrasi Amerika Serikat, tidaklah tepat untuk diterapkan di Indonesia.
Karakter bangsa kita sangat jauh berbeda, bangsa Indonesia memiliki akar sejarah sejak ribuan tahun silam, yang sudah terbiasa dengan budaya “gotong royong,” musyawarah, wali adat, dan sistem kerajaan.
Hal ini berbeda dengan karakter bangsa Amerika Serikat yang baru berusia ratusan tahun. Bangsa Amerika Serikat tidak mempunya kebudayaan asli, mereka terdiri dari berbagai suku bangsa yang merantau, sehingga yang ada adalah suara mayoritas yang memerintah bangsa tersebut.
Dampak dari berkiblatnya bangsa kita terhadap demokrasi ala Barat bisa dilihat bagaimana bangsa kita menanggung “ongkos politik” yang sangat besar melalui pilkada, pemilihan anggota dewan, dan presiden. Hasilnya bangsa kita menjadi terpecah-belah, muncul kerusuhan, bahkan praktik korupsi juga masih merajalela dilakukan oleh para oknum pejabat-pejabat publik.
Bangsa kita adalah bangsa yang santun, mengedepankan musyawarah, mufakat, suka gotong royong, patuh pada tokoh masyarakat seperti dewan adat, kiai dan sebagainya. Tokoh-tokoh masyarakat itulah yang secara turun temurun membimbing bangsa ini. Bahkan para pendiri bangsa ini sangat memahami karakter bangsa Indonesia.
Setelah 4 dasar atau sila tersebut kita jalankan, maka tercapailah apa yang dicita-citakan oleh kita semua, yaitu sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Apakah itu Keadilan sosial? Keadilan sosial adalah keadilan yang sesuai dengan hak dan kewajiban setiap rakyat Indonesia, bukanlah keadilan sama rasa sama rata, atau keadilan yang berdasarkan besaran modal, tetapi keadilan dalam hukum, keadilan dalam mencari penghidupan, keadilan dalam pendidikan, keadilan yang bersifat sosial antar rakyat, dan pemerintah ke rakyat juga sebaliknya.
Keadilan untuk kemakmuran yang sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat Indonesia. Sebuah bentuk negara yang saling mengayomi, saling berbagi dan saling melayani.
Apakah ini utopis? Tentu tidak, di berbagai banyak daerah di Indonesia, terutama di desa-desa, sikap Pancasila secara tidak sadar dilaksanakan oleh warganya. Contoh, lumbung desa adalah bentuk dari keadilan sosial, gotong royong memperbaiki rumah merupakan implementasi dari persatuan.
Setiap anak bangsa akan merasa mempunyai induk, yaitu sebuah negara yang akan mengayomi dan merangkul siapa pun dan bagaimana pun sesuai hak dan kewajibanya berdasarkan konstitusi.
Maka jadilah kita bangsa yang besar yang bangga dan mempunyai karakter yang sangat kuat. Walahu’alam bishow’ab.
Editor: Khairil Miswar
No comments:
Post a Comment