Oleh: Azmi Abubakar *
“Percayakah Anda jika Siak dan Tanjung Balai menjadi berkembang pesat karena kedua penguasa wilayah tersebut mengundang kedatangan orang-orang Tionghoa?”
SIAK
Sultan Sjarif Kasim II, penguasa Siak Sri Indrapura pada akhir tahun 1800an mengundang orang-orang Tionghoa untuk datang ke negerinya agar bermukim dan ikut mengembangkan perekonomian kesultanannya.
Jejak kedatangan orang-orang Tionghoa kala itu masih dapat kita saksikan dari keberadaan Kelenteng Hock Siu Kiong yg dibangun tahun 1898 dan masih tegak berdiri kokoh sampai saat ini, juga keberadaan kawasan pemukiman orang-orang Tionghoa di sekitar kelenteng yang saat ini menjadi satu tujuan menarik bagi para wisatawan.
TANJUNG BALAI
Berjarak sekitar 500 kilometer dari Kota Siak, walikotanya yang bernama Bahrum Damanik seolah mendapatkan inspirasi dari Sultan Siak dan melakukan hal yang sama pada tahun 1970an.
Bahrum Damanik mengambil langkah kebijakan penting ketika melihat kondisi kota yang dipimpinnya hanyalah kota transaksi bagi penduduk di sekitarnya di mana hasil bumi mengalir memasuki kota ini melalui sampan-sampan kecil. Kota ini sendiri tidak punya penghasilan khusus dan menonjol.
Bahrum Damanik melakukan terobosan dengan mengundang para pengusaha Tionghoa untuk datang ke Tanjung Balai dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi mereka untuk berusaha, membuka toko dan bertempat tinggal.
Maka berduyun-duyunlah mereka memasuki Tanjung Balai. Harga tanah pun segera meloncat. Jika dulu semeter persegi hanya Rp 3.000, telah berubah menjadi Rp 7.000, sampai 10.000. Dari luas semula 190 hektar, Tanjung Balai berhasil diperluas dengan mendapatkan tambahan 240 hektar lagi dari kabupaten asahan.
Walikota Bahrum Damanik tampaknya berhasil berbuat banyak dengan berdirinya gedung gedung bertingkat, perumahan maupun toko bergaya modern. Lebih dari itu kota ini mendapat julukan “Hongkong” nya Sumatera Utara.
Sejarah tentunya akan berjalan lain jika orang-orang Tionghoa tak berkenan menyambut undangan Sultan Siak dan Walikota Tanjung Balai.
Kisah berkembangnya dua wilayah tersebut penting dan sangat mendesak untuk dirawat serta disampaikan ke masyarakat luas, agar lebih mengenal dengan baik saudara kandung sebangsanya orang-orang Tionghoa, sehingga dapat semakin memperkuat tali persaudaraan serta tak mudah diprovokasi.
Sultan Siak dan Walikota Bahrum Damanik mewariskan kepada kita sejarah besar, selayaknya kita menjaganya dengan baik.
“Kita patut menduga, jika banyak kota di Indonesia memiliki kesamaan kisah, bukankah demikian?”
Sumber:
Majalah Tempo, 17 September 1977
Koran Kompas, 9 Februari 2020
Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
*Azmi Abubakar, Pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
No comments:
Post a Comment