Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 27 September 2019
Bicara soal PKI adalah bicara luka, tangis, air mata dan keperihan. Kedukaan ini tidak hanya mengiris hati para korban “kekejaman” PKI dari tragedi Madiun (1948) sampai “kudeta berdarah” Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) – tapi juga menghantui para “terduga” PKI yang sebagian besarnya terbunuh – dalam aksi “pembalasan semesta.” Dalam “indoktrinasi” sejarah Orde Baru, PKI telah menjadi “satu-satunya” musuh bangsa pasca-kolonial.
Tulisan ini sama sekali tidak dalam posisi mendukung komunisme-ateisme – sebuah frasa simplifikasi yang menggelikan, tapi hanya sekadar mendudukkan fakta-fakta pada tempatnya, khususnya dalam peristiwa PKI di Aceh. Komunisme yang secara serta-merta diselaraskan dengan ateisme (tidak bertuhan) justru tidak menemukan wujudnya di Tanah Rencong yang dikenal religius.
Sekilas PKI Aceh
Pada 1919, kader komunis Nathar Zainuddin datang ke Lhokseumawe. Saat itu ia menjadi pengurus Syarikat Islam. Setelah dibebaskan dari tahanan Belanda pada 1939, Nathar juga berangkat ke Aceh Barat (Said Abubakar, 1995). Kuat dugaan, dalam kunjungannya ini, Nathar turut menyebarkan ideologi komunisme di kawasan tersebut.
Terkait kedatangan PKI ke Aceh juga disinggung Fauzi dkk (2008) dalam bukunya Pembantaian PKI. Dia menyebut ideologi PKI masuk ke Aceh melalui Syarikat Islam (SI) yang sudah ada di Aceh sejak era 20-an. Seperti diketahui, SI terpecah kepada dua sayap, SI Merah dan Putih. SI Merah inilah yang kemudian memasok ideologi komunisme ke Aceh.
Sejak 1927, seperti dicatat Fauzi, PKI sudah berkembang di Samalanga. Sementara Ali Hasjmy membuat sebuah “pengakuan” bahwa dialah yang membentuk PKI di Aceh. Dalam bukunya Semangat Merdeka (1985), Hasjmy menulis bahwa pada 2 Desember 1945, Pesindo Aceh menerima kawat (surat) dari CC PKI Yogyakarta yang meminta agar dibentuk PKI di Aceh. Berdasarkan kawat tersebut, Hasjmy meminta kepada Tgk. Jakfar Walad dan Saiman untuk membentuk PKI Aceh yang berdiri pada 9 Desember 1945.
Namun demikian, faksi PKI yang masuk ke Aceh, baik melalui Nathar Zainuddin (Lhokseumawe dan Aceh Barat), SI Merah (Samalanga) dan juga bentukan Ali Hasjmy pada 1945, bukanlah komunis beraliran ateis, tetapi faksi PKI yang telah melalui proses “Islamisasi” sesuai dengan kondisi masyarakat Aceh yang religius.
Kesimpulan ini turut dibenarkan Hasjmy (1985) bahwa tujuannya membentuk PKI Aceh adalah untuk “mengislamkan” komunisme. Kader PKI Aceh diharapakan lebih dekat kepada Islam, demikian harapan Hasjmy. Namun dalam perkembangannya ternyata usaha ini tidak sukses sepenuhnya dengan disusupinya PKI Aceh oleh agen-agen “komunis sejati.”
Kendati demikian, kader-kader PKI di Aceh seperti disebut Said Abubakar (1995) adalah muslim-muslim yang taat. Dengan kata lain, PKI Aceh bukan ateis.
Di Aceh, PKI mendapat tempat tersendiri bagi sebagian pengagumnya yang sebagian besar berasal dari kalangan petani dan nelayan. Pasca 1945, Comite Daerah PKI Aceh dipimpin oleh Trio R. Saleh, Abdul Manaf dan Kasan Siregar yang juga dikenal sebagai muslim yang taat.
Sebelumnya, pimpinan PKI Aceh juga pernah dipegang oleh Tgk. Djakfar Walad, juga seorang pemuka agama. Pada tahun 1953, PKI Aceh dipimpin Mohd Samidikin yang dibantu Thaib Adamy dan Cut Husin. Semuanya adalah muslim yang taat.
Fakta-fakta tersebut mempertegas bahwa menjadi komunis tidak selamanya harus menyandang label ateis. Seperti halnya beberapa tokoh komunis di Indonesia, tokoh komunis di Aceh pun didominasi oleh muslim-muslim yang taat. Dengan demikian, tidak selamanya komunisme dapat diselaraskan dengan ateisme. Lagi pula secara keilmuan komunisme berada pada domain ideologi (ekonomi dan politik), sementara ateisme dan juga teisme berada dalam lingkup keyakinan sehingga kedua terma tersebut menjadi rancu untuk dipadukan.
Pemberontakan PKI
Menjelang pemberontakan PKI Madiun 1948, seperti dicatat Talsya (1969), kader- kader komunis di Aceh, khususnya pelarian dari Sumatera Timur juga berusaha memengaruhi masyarakat Aceh agar bersimpati pada pemberontakan tersebut. Tapi, mayoritas masyarakat Aceh justru mengutuk keras pemberontakan Madiun dan menyebutnya sebagai pengkhianatan besar, sebab pemberontakan tersebut adalah bentuk perlawanan terhadap Republik.
Menyikapi tragedi Madiun, organisasi yang sebelumnya berafiliasi dengan PKI membubarkan diri dan menyatakan berdiri sendiri, seperti halnya Pesindo Aceh yang secara tegas memutuskan hubungan dengan Pesindo Pusat yang dianggap pro PKI dan sekaligus melakukan perlawanan terhadap kader-kader PKI di Aceh.
Sejak kemunculannya, tulis Talysa (1990), meskipun terlibat dalam usaha-usaha pergerakan kemerdekaan, tapi PKI tidak dapat bergerak leluasa di Aceh. Pasca tragedi Madiun, hampir semua menasah di Aceh berdoa sehabis shalat magrib untuk mengutuk PKI. Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Dawud Beureueh juga mengambil tindakan-tindakan tegas guna membendung pengaruh pengkhianatan PKI Madiun di Aceh.
Pada 1963, anggota DPRD Aceh dari Fraksi PKI, Thaib Adamy, ditangkap dan disidang di Pengadilan Negeri Sigli. Saat sidang berlangsung – seperti tercatat dalam buku Atjeh Mendakwa (Comite PKI Atjeh, 1964) – terlihat simpati massa yang luar biasa kepada pentolan PKI ini. Setiap prosesi sidang dihadiri oleh 5000 sampai 10000 orang yang menuntut Thaib Adamy dibebaskan. Thaib Adamy didakwa melakukan agitasi dalam Rapat Umum PKI di Sigli pada 3 Maret 1963. Sidang Pengadilan Negeri Sigli saat itu menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada Thaib Adamy.
Dukungan sebagian masyarakat Aceh kepada PKI saat itu salah satunya disebabkan oleh keyakinan mereka bahwa PKI adalah partai politik yang dianggap pro kepada kepentingan rakyat kecil. Penolakan terhadap PKI di Aceh pasca tragedi Madiun sama sekali bukan disebabkan oleh ideologi komunisme, tapi lebih kepada bentuk dukungan masyarakat Aceh kepada Republik, di mana peristiwa Madiun dianggap sebagai sebuah pengkhianatan kepada Republik.
Pembubaran PKI di Aceh
Gerakan pertama yang meminta pembubaran PKI di Aceh pasca tragedi 1965 dimulai oleh PNI di bawah pimpinan H. Syamaun yang melakukan demonstrasi di beberapa daerah pada 5 Oktober 1965. Dengan kata lain, ide pembubaran PKI di Aceh dipelopori oleh tokoh partai politik, bukan pemuka agama.
Dalam buku Komunisme di Indonesia (Pusat Sejarah TNI, 2009), dilaporkan banyak kader PKI di Aceh Barat dan Aceh besar menyerahkan diri kepada ABRI. Pada 6 Oktober 1965, tujuh parpol yang tergabung dalam Front Nasional Daerah Istimewa Aceh juga turut mendesak Pangdam Iskandar Muda untuk membekukan PKI serta menonaktifkan seluruh wakil PKI di lembaga negara dan badan pemerintah dalam provinsi Aceh.
Padahal, berbeda dengan beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Sumatera Barat dan Riau – pada saat “kudeta” di Jakarta, di Aceh justru tidak terlihat ada upaya kudeta dari Comite Daerah PKI Aceh. Kader-kader PKI Aceh tampaknya tidak mengetahui adanya gerakan yang dalam sejarah disebut dengan “G 30 S.” Tapi hal ini tidak menyurutkan semangat rakyat untuk “menyerang” PKI di Aceh.
Laporan Kodam (1965) menyebut pada 10 Oktober 1965, di Aceh Utara massa merusak rumah-rumah yang disinyalir milik PKI. Di Bireuen terjadi demonstrasi yang menewaskan seorang masyarakat bernama Thaib asal Meunasah Blang. Pada 11 Oktober 1965, para pemuda Bireuen juga melakukan pengadangan terhadap anggota PKI di jalan Takengon-Bireuen. Pada 12 Oktober, ketua PKI Aceh Selatan diculik oleh massa. Rapat PKI di Takengon juga digerebek dan seorang ditembak. Di Pidie, sejumlah rumah dan kenderaan milik PKI dibakar massa.
Para pemuda, pelajar dan mahasiswa Aceh seperti KAMMI dan KAPPI juga terlibat aktif dalam penumpasan PKI (10 Tahun Darussalam, 1969). Sebelumnya, Dewan Pimpinan Mahasiswa IAIN Ar-Raniry periode 1964-1966 yang diketuai Nurdin Mahmud telah mengaktifkan Resimen Mahasiswa untuk penumpasan G 30 S/ PKI di Aceh (15 Tahun IAIN Ar-Raniry, 1978). Untuk menghadapi PKI, pada 1964, seperti dicatat A.K Jakobi (1992), TP. Iskandar Muda juga bergabung dalam KINO HANKAM Sekber Golkar.
Pembunuhan PKI di Aceh
Pasca aksi 1965, tokoh-tokoh PKI Aceh ditangkap dan dibunuh. Pemimpin PKI Aceh saat itu, Samidikin dan Thaib Adamy ikut terbunuh. Mirisnya lagi, anak Thaib Adamy yang masih berumur 14 tahun (Husni) juga turut dibunuh. Beberapa pimpinan ormas yang berafiliasi dengan PKI seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani juga turut dieksekusi.
Fauzi menyebut 3000 masyarakat Aceh menjadi korban, baik terlibat PKI atau pun tidak. Sementara menurut Laporan Kodam I Atjeh, kader PKI yang dibunuh oleh massa di Aceh berjumlah 1941 orang; Banda Aceh 121; Pidie 314; Aceh Utara 187; Aceh Timur 350; Aceh Barat 105; Aceh Tengah 517; Aceh Selatan 143 dan Aceh Tenggara 204 orang. Sampai saat ini belum ada penjelasan, apakah semua korban tersebut tercatat sebagai anggota PKI atau tidak.
Pada 19 Oktober 1965 seperti disebut Ismuha (Santunan, 1987) PKI di Aceh resmi dibubarkan. Selanjutnya pada 16 Desember 1965, Musyawarah Ulama Aceh melahirkan fatwa bahwa paham komunisme haram dan kufur. Sejak saat itu, PKI pun “menghilang” dari bumi Aceh. Yang tinggal hanya luka. Entah kapan ia mengering?
Sumber Foto: Buku Atjeh Mendakwa (Comite PKI Atjeh, 1964)
No comments:
Post a Comment