Oleh: Miswari*
Salek buta adalah ajaran tasawuf yang menyimpang karena bertentangan dengan syariat sebagaimana dipegang oleh masyarakat luas. Belakangan sedang viral ajaran rateb siribee yang diajarkan oleh Abu Amran Waly dengan organisasinya MPTT, Majelis Pengkajian Tauhid dan Tasawuf. Sebagian masyarakat mengaitkan ajaran itu dengan salek buta. Pengajian MPTT semakin menjadi sorotan setelah beberapa waktu lalu para jamaannya membakar buku karya Abuya Jamaluddin Waly. Buku itu menegaskan bahwa ajaran pimpinan MPTT itu sesat karena menafsirkan karya Abdul Karil al-Jilli dengan keliru.
Di Aceh, salek buta selalu timbul dan tenggelan sepanjang sejarah kebudayaan Islam. Ali Hasjmy (1976) melaporkan ajaran demikian pernah berkembang di Pasai dibawakan oleh kelompok Syiah sesat. Kelompok itu melakukan ritual-ritual yang aneh menurut pandangan masyarakat. Kelompok itu juga melakukan dakwah yang menyimpang seperti mencaci para sahabat Nabi seperti Abubakar, Umar, dan Usman. Mereka juga mengaku seharusnya Ali yang menjadi Rasul, bukan Muhammad. Jibril salah alamat, katanya.
Di Pasai juga berkembang ajaran Syaikh Abdul Jalil dan Maharaja Ahmad Bakoy yang diklaim sebagai salek buta. Meskipun klaim itu sarat dengan aroma politik, tetapi masyarakat sudah terlanjur percaya bahwa Maharaja Bakoy berencana menikahi putri kandungnya. Saya sendiri menduga, tuduhan kepada Maharaja Bakoy adalah fitnah. Mengingat Pasai yang sudah menguasai dari Bayeun hingga Samalanga, tetapi belum mampu menundukkan wilayah selatan (sekarang Meurah Mulia dan Geureudong Pasee).
Di Kesultanan Aceh Darussalam, salek buta sempat berkembang. Hal ini dapat dibuktikan dengan kritik-kritik tegas yang dilontarkan Hamzah Fansuri kepada para pengikut salek buta dengan ritual-ritual ekstrem seperti menyepi ke hutan dan praktik zikir menahan napas di perut. Praktik-praktik demikian nyata bertentangan dengan syariat sehingga ditentang dengan tegas oleh Hamzah Fansuri selaku sufi yang muwwahid (lihat, Abdul Hadi W.M, 2001).
Semenjak kehadiran Abu Amran Waly dengan praktik rateb siribee, ajarannya yang diyakini sebagian besar otoritas agama di Aceh sebagai ajaran tasawuf yang mulhith atau disebut dengan salek buta. Ajaran Abu Amran memang telah beberapa kali memancing emosi warga. Beberapa kasus pernah terjadi. Tetapi tidak sempat membesar. Alasannya karena para ulama melarang sikap tidak santun terhadap Abu Amran dan pengikutnya. Mereka mempraktikkan budaya takzim guru antara lain adalah memperlakukan anak gurunya dengan baik. Adapun Abu Amran sendiri adalah anak daripada Abuya Muda Waly, guru besar para ulama di Aceh hari ini.
Sebenarnya tindakan pengikut Abu Amran membakar buku Abuya Jamaluddin Waly adalah wajar. Bila ada karya yang menyesatkan mursyid kita, tentu akan kita lawan. Perlawanan jamaah MPTT adalah dengan membakarnya.
Dalam bukunya, Abuya Jamaluddin mengatakan bahwa Abu Amran telah mempelesetkan ajaran Al-Jilli dalam ‘Insan Kamil’. Abu Amran disebutkan mengatakan bahwa maksud Al-Jilli pada dhamir ‘hu’ pada Surat al-Iklash berimplikasi pada pemahaman ittihad dan hulul.
Saya sendiri sependapat dengan Abuya Jamaluddin. Karena setahu saya, dalam Insan Al-Kamil tidak ada itikad yang menyatakan bahwa dhamir ‘hu’ itu adalah mengarah kepada itikad ittihad dan hulul. Bahkan oleh Ibn Arabi sendiri, ittihad dan hulul telah ditolak.
Para penentang ajaran Abu Amran mengatakan, ajaran-ajaran tasawuf Abu Amran tidak memiliki sanad yang jelas. Menurut mereka, Abuya Syaikh Muda Waly tidak pernah mewariskan tarikat kepada Abu Amran. “Abu Amran mengaku tarikatnya diambil dari Malaikat Jibril,” kata salah seorang santri.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Editor: Khairil Miswar.
No comments:
Post a Comment