Balai Pustaka berasal dari sebuah lembaga yang dibentuk Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 14 September 1908 dengan nama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur yang dipimpin oleh G. A. J. Hazeu.
Pada tanggal 17 September 1917, Pemerintah Hindia Belanda membuat keputusan resmi yang mengubah lembaga tersebut menjadi Kantoor voor Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yang kemudian populer dengan sebutan Balai Pustaka. Pada saat itu lembaga ini dipimpin oleh D. A. Rinkes.
Pembentukan lembaga ini didasari oleh kebijakan Politik Etis Hindia Belanda yang memberikan peluang kepada pribumi untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, pertanian dan pertumbuhan perekonomian.
Pendekatan politik tersebut juga memberi kesempatan kepada intelektual pribumi untuk mendirikan pergerakan kebangsaan. Pada masa kebangkitan tersebut karya tulis dalam surat kabar, majalah dan buku sudah mulai beredar dalam masyarakat. Adapun tema tulisan-tulisan tersebut terkait dengan sejarah, filsafat, agama, pendidikan dan politik.
Sebagai media pengontrol, Pemerintah Hindia Belanda menyediakan lembaga untuk menerbitkan karya-karya tersebut. Tujuan pendirian lembaga dimaksud adalah untuk mengawasi peredaran bahan bacaan yang layak untuk masyarakat di masa kolonial.
Baca Juga: Angkatan Balai Pustaka
Lembaga ini bertugas memilih naskah-naskah yang sesuai untuk rakyat seperti cerita rakyat, dongeng dan hikayat. Selain itu, lembaga ini juga memilih beberapa novel dalam bahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Arab untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Pada awalnya Balai Pustaka sempat dicurigai oleh masyarakat pribumi. Namun setelah intelektual pribumi menerbitkan buku di sana, kecurigaan itu pun hilang perlahan. Beberapa intelektual pribumi yang menerbitkan buku di Balai Pustaka di antaranya: Mohammad Yamin, Agussalim, Sutomo, Mariah Ulfa Santoso, Amir Syarifuddin, Mangunsarkoro, Margonohadikusumo, Sumanang dan Bahder Johan.
Selain menerbitkan buku, Balai Pustaka juga menerbitkan Majalah Pandji Poestaka, Kejawen, Parahiangan, Taman Kanak-Kanak dan Taman Botjah. Dalam menerbitkan karya, Balai Pustaka tidak menerima karya yang berseberangan dengan pandangan politik kolonial. Balai Pustaka juga tidak menerima naskah yang berisi cerita cabul. Selain itu, dalam penerbitan karya, Balai Pustaka bersikap netral terhadap agama.
Melalui penerbit Balai Pustaka inilah lahir roman modern Indonesia untuk pertama kalinya yang berjudul “Azab dan Sengsara” yang ditulis Merari Siregar pada tahun 1920. Menurut H.B. Jassin, karya inilah yang mengawali sastra Indonesia modern sehingga dia menyebut generasi ini sebagai Angkatan Balai Pustaka.
Beberapa sastrawan yang sempat menjadi direktur Balai Pustaka di antaranya: Sutan Takdir Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar, Achdiat Karta Mihardja dan Pramoedya Ananta Toer.
Sumber: Ensiklopedi Sastra Indonesia (Penerbit Titian Ilmu Bandung, 2007), hal. 116-117.
Diedit dan disesuaikan oleh Bagbudig.com.
Sumber Foto: rinkes.nl
No comments:
Post a Comment