Sejumlah media melansir bahwa penyebaran Virus Corona semakin meluas. Sejak ditemukan pertama kali, virus itu telah menyasar lebih dari 100 negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Menyikapi kondisi tersebut, seperti dikutip kompas.com, WHO telah menetapkan wabah Corona sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020.
Kompas.com menyebut Corona tidak hanya menyerang warga sipil, tapi juga telah menginfeksi sejumlah pejabat dunia, di antaranya Kepala Staf Militer Italia, Menkes Inggris, Wapres Iran dan beberapa pejabat tinggi di negeri itu.
Di Indonesia kabarnya sudah 34 orang dinyatakan positif terinfeksi Corona. Informasi terakhir sebagaimana dikabarkan AceHTrend, dua warga Aceh juga dicurigai terinfeksi Corona dan saat ini dirawat di RSU Zainal Abidin.
Kutipan di atas hanya sekadar contoh bagaimana virus itu menyebar tanpa mengenal negara, ras, orientasi politik, status sosial dan juga agama mereka. Artinya siapa pun berpotensi mengalami hal serupa jika tidak “waspada.”
Sebelum virus itu menyebar luas, mungkin ada sebagian kita yang berpikir bahwa Corona adalah sarjana yang paham ke mana ia harus menyebar.
Fakta ini sekaligus menjadi dalil pembantah bahwa Corona yang bermula di Wuhan hanya akan menyasar China sebagai “negara komunis.” Bahkan Amerika yang menjadi “rival” China juga telah mengalami 1000 kasus Corona. Demikian pula dengan negara-negara Timur Tengah juga tidak terbebas dari ancaman Corona.
Kita tentu masih ingat bagaimana euforia sebagian “badut” di tanah air yang bergembira ria ketika Corona menghantam China. Mereka menyebut wabah Corona sebagai kutukan hanya untuk China dengan alasan kekerasan yang mereka lakukan terhadap Uighur.
Pada prinsipnya kita paham bahwa solidaritas terhadap Uighur adalah hal penting yang mesti diperjuangkan. Bahkan tidak hanya Uighur, tapi kejahatan di mana pun, dalam bentuk apa pun dan oleh siapa pun haruslah dilawan. Namun demikian, sikap bergembira ketika China dilanda wabah bukanlah bentuk perlawanan, tapi justru menjadi kejahatan baru bagi kemanusiaan dengan hilangnya empati pada sesama.
Sikap sebagian kita yang menafsirkan ayat-ayat Tuhan sesuka hati untuk melegitimasi wabah sebagai “hukuman” bagi kelompok tertentu juga tindakan konyol, sebab hakikat dari semua itu hanya Tuhan yang tahu, sementara kita hanya bisa menerka, menduga dan menebak-nebak, bukan membuat kesimpulan absolut dan lantas meminta orang-orang untuk mengamini.
Sebagian kita memang cenderung bergembira ketika petaka menimpa orang lain, tapi kita akan tiba-tiba menangis pada saat petaka itu menghampiri kita.
Penyebaran Corona yang terus meluas adalah salah satu bukti bahwa rahasia Tuhan tidak bisa ditafsirkan sesuka hati. Sebab itu berhentilah menjadi manusia berengsek yang seolah mahatahu.
Ilustrasi: scitechdaily.com
No comments:
Post a Comment