Oleh: Novia Cici Anggraini*
Berbagi Pengalaman dari Italia
Pada tanggal 31 Desember 2019, Komisi Kesehatan Kota Wuhan (Cina) melaporkan kepada WHO tentang mencuatnya secara signifikan kasus pneumonia dengan penyebab yang belum diketahui di Kota Wuhan, provinsi Hubei, Cina. Di awal tahun 2020, tepatnya pada 9 Januari, Chinese Center for Disease Control and Prevention mengumumkan bahwa telah ditemukan coronavirus baru (SARS-CoV-2) sebagai penyebab penyakit pernapasan yang sedang diderita oleh banyak warga Wuhan, yang kemudian disebut sebagai Covid-19.
Covid-19 di Italia
Dua kasus pertama Covid-19 di Italia adalah sepasang turis Cina yang dinyatakan positif pada tanggal 30 Januari 2020 oleh Institut Spallanzani, Roma, di mana keduanya dirawat dalam ruang isolasi sejak 29 Januari.
Berdasarkan pelacakan, keduanya mengaku mendarat di kota Milan dan sudah melakukan perjalanan ke beberapa kota lain sebelum tiba di Roma dan mulai sakit. Kedua pasangan ini dinyatakan sembuh pada tanggal 26 Februari 2020.
Kasus pertama dari penularan sekunder ditemukan di Codogno, sebuah kota di region Lombardia, tepatnya di Provinsi Lodi, pada tanggal 18 Februari.
Seperti di Wuhan, penemuan kasus Covid 19 di Provinsi ini terlacak dari meningkatnya kasus pneumonia di zona tersebut. Ketika dilakukan tes pada sekian pasien, ditemukan bahwa mereka positif Covid-19.
Merespons situasi ini, Rapat Kabinet mengeluarkan dekrit pada tanggal 23 Februari 2020 yang melakukan isolasi total dan melarang perpindahan manusia, baik masuk ke atau keluar dari kota-kota yang menunjukkan titik api kasus positif Covid-19 dan pembatalan semua kegiatan publik.
Sepuluh kota yang masuk dalam kategori ini adalah Codogno, Casale, Castiglione, Fombio, Maleo, Somaglia, Bertonico, Terranova de Passerini, Castelgerundo e San Fiorano; semuanya di Provinsi Lodi.
Di Kota Milan dan juga di seluruh wilayah Lombardi dan Veneto, sejak tanggal 24 Februari sudah mulai dilakukan semi-karantina; sekolah dan universitas ditutup dan para pekerja kantoran disarankan bekerja dari rumah.
Respon Pemerintah dan Masyarakat Italia
Saya ingat betul di hari-hari awal mencuatnya virua Corona Covid-19 di Italia, bagaimana perbincangan ibu-ibu di depan sekolah ketika menjemput anak-anak bergeser dari yang sebelumnya tentang PR dan aktivitas ektrakurikuler menjadi, tentu saja, coronavirus. Sebagian besar tidak menganggap virus ini sebagai sesuatu yang serius, “Ah, paling hanya seperti flu berat,” atau, “Ah, masih jauh di Utara, entah kapan sampai di sini.” (Note: saya tinggal di Larino, Provinsi Campobasso, region Molise, secara geografis posisinya di Italia bagian tengah agak ke selatan).
Sikap ini tidak hanya terjadi di Italia selatan yang waktu itu belum ditemukan kasus positif. Di region Lombardi dan Veneto yang jelas-jelas sudah dikonfirmasi kasus positif, ternyata dianggap enteng oleh sebagian warga. Mereka ini tetap saja berkeliaran di ruang publik dan parahnya beberapa di antara mereka melakukan perjalanan ke luar kota, baik itu di dalam negeri atau pun ke luar negeri.
Akibatnya, sebuah resor di Spanyol harus dikarantina karena didapati seorang turis Italia dari Milan menginap di sana dan ternyata positif Covid-19. Demikian juga di beberapa negara Eropa bagian timur, kasus-kasus positif pertama ternyata dibawa oleh warga Italia yang bepergian ke negara tersebut.
Akibatnya, penerbangan dari dan ke Italia mulai ditutup di beberapa negara, termasuk jalur darat ke dan dari negara-negara Eropa yang berbatasan dengan Italia.
Memburuknya Situasi di Italia dan Naiknya Angka Penderita Positif Secara Signifikan
Ketika angka penderita positif Covid-19 terus merangkak naik dari 221 pada 24/02, menjadi 1.049 pada 29/02 dan 2.706 pada 04/03, pemerintah semakin memperketat proses isolasi di seluruh Italia. Seluruh sekolah dan universitas dinyatakan tutup sejak tanggal 5 Maret hingga 15 Maret 2020. Demikian pula beberapa instansi pemerintah mulai memerintahkan kepada pegawainya untuk bekerja dari rumah dan melakukan sistem giliran untuk masuk ke kantor demi menjamin pelayanan publik tetap berfungsi. Suami saya yang bekerja di Badan Statistik Italia, misalnya, mendapat giliran masuk pada tanggal 9 dan 12 Maret.
Begitu dikeluarkannya dekrit penutupan sekolah, para orang tua di kota kami menunjukkan reaksi yang berbeda-beda. Sebagian masih menganggap bahwa situasi ini belum menuntut penutupan sekolah di Italia bagian selatan, “Kebijakan ini terlalu berlebihan,” menurut mereka.
Kepanikan besar sudah terjadi di utara. Dari Milan, ribuan perantau (warga Italia selatan yang merantau ke Utara) berbondong-bondong ‘melarikan diri’, stasiun kereta api dipenuhi warga yang ingin pulang ke kotanya sebelum Milan ditutup total. Mereka ini layaknya anak-anak panah beracun yang melesat jauh membawa virus keluar dari zona merah.
Satu kasus yang jelas dan paling dekat dengan kotaku adalah seorang mahasiswa yang studi di Milan dan berhasil keluar dari Milan untuk pulang ke Campobasso, ibukota provinsi, dan dinyatakan positif Covid-19.
Perilaku masyarakat yang tidak bertanggungjawab tersebut secara nyata menaikkan dan memperluas jangkauan penyebaran virus. Jika pada tanggal 04/03 jumlah positif adalah 2.706, setelah kebijakan semi isolasi diterapkan dan banyak warga masyarakat yang tidak mengindahkan, maka angka positif Covid-19 di Italia per 09/03 adalah 7.985!
Langkah esktrem harus diambil, menurut pemerintah Italia. Tanggal 10 maret 2020 malam, PM Conte mengumumkan dekrit baru, bahwa per tanggal 11 Maret 2020 Italia akan menjadi ‘Zona dilindungi’, artinya diisolasi (hampir) total.
Semua warga diminta tinggal di dalam rumah dan dilarang keluar dari kota masing-masing dan bepergian ke kota lain tanpa alasan yang valid: untuk bekerja, alasan kesehatan atau alasan penting mendesak lainnya (misalnya membantu keluarga yang membutuhkan bantuan).
Pemerintah menerbitkan vademekum, aturan detail mengenai apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dalam status ‘zona dilindungi’ ini. Semua pusat perbelanjaan dan perkantoran ditutup hingga 25 Maret (sementara penutupan sekolah hingga 3 April) kecuali supermarket, apotik, bank/asuransi, dan beberapa lokal lain yang menunjang kebutuhan primer. Bar dan restoran masih bisa buka dengan jam terbatas dan mengatur jumlah klien yang masuk.
Istilah ‘zona dilindungi’ dipilih karena memang pemerintah ingin melindungi (atau mencegah) warganya dari penularan Covid-19, bukan sekadar melakukan isolasi pada mereka yang sudah dinyatakan positif.
Apa yang dilakukan penduduk Italia? Sebagian besar akhirnya menurut pada aturan. Sebagian, tetap saja ada yang keras kepala dan bertindak bodoh, mereka tidak mematuhi aturan untuk tidak berkerumun; keluar dari rumah tanpa alasan yang jelas.
Pada tanggal 12 Maret 2020, PM Conte kembali memperketat dekrit dengan mengumumkan penutupan juga bar dan restoran serta salon keca. Dan meminta kepada warga untuk melengkapi diri dengan surat keterangan sehat ketika keluar rumah. Surat keterangan ini dibuat sendiri pada formulir yang sudah disediakan pemerintah. Meski dibuat sendiri, tapi pihak aparat bisa memeriksa kebenarannya.
Jika ternyata ditemukan kepalsuan data maka si pelaku bisa dijerat dengan dua pasal: pemalsuan dan pelanggaran aturan dekrit, yang artinya bisa dikenakan sanksi denda atau bahkan kurungan.
Perkembangan Hingga Hari Ini (16 Maret 2020)
Sejak diberlakukannya dekrit, jumlah kenaikan harian penderita positif Covid-19 di Italia masih naik turun. Partisipasi masyarakat pun masih naik turun. Dalam sehari, misalnya, bisa didapati sekitar 7000 delik aduan pelanggaran dekrit oleh warga, yang mencoba keluar rumah atau bahkan keluar kota tanpa motivasi yang jelas.
Belajar dari Wuhan dan Codogno, salah satu kota episentrum Covid-19 di Italia, isolasi memang sangat diperlukan untuk memutus rantai penyebaran virus ini.
Pada tanggal 10 Maret 2020, untuk pertama kalinya Codogno dinyatakan nol penambahan kasus positif baru sejak berada dalam isolasi selama 16 hari.
Sementara itu di Italia angka total positif menunjukkan angka 21.157, di mana aktual positif 17.750, yang dinyatakan sembuh 1.966 dan yang meninggal 1.441. (Data dari Departemen Perlindungan Sipil Italia per 15 Maret 2020, pukul 17.00).
Covid-19 di Indonesia
Di Indonesia, dua kasus positif pertama diumumkan secara resmi pada tanggal 2 Maret 2019. Mereka ini adalah warga Depok yang dikabarkan sempat melakukan kontak dengan turis Jepang yang sempat berkunjung ke Bali dan dinyatakan positif melalui sebuah tes di Malaysia.
Sejak hari itu, kasus Covid-19 di Indonesia semakin terbuka. Pemerintah Indonesia mendapatkan desakan dari berbagai pihak untuk segera mengambil tindakan.
Saat ini jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia adalah 134 orang (data per 16/03/2020 pukul 19.00) dan beberapa dugaan positif yang tersebar di beberapa wilayah, antara lain: Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara.
Belajar dari Kasus Italia untuk Merumuskan Solusi Bagi Indonesia
Penanganan pandemi Covid-19 ini membutuhkan dua faktor penting: sikap responsif dan cepat dari pemerintah serta kesadaran dan partisipasi warga.
Di Italia, pemerintah dianggap sangat responsif. Pemerintah membentuk jaringan pemantauan Covid-19 dan diaktifkannya kontrol dan penyaringan di bawah koordinasi gugus tugas kementerian.
Melalui jaringan ini, pemerintah bisa mendapatkan data aktual dari setiap provinsi dan region yang sangat membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakan bahkan dalam jam atau hari. Ini bisa dilihat dari sekian dekrit yang sudah dikeluarkan dengan isi yang semakin mengetatkan pengontrolan penyebaran virus. (Note: Dekrit pertama tanggal 23 Februari, kemudian tanggal 25 Februari, 1 Maret, 4 Maret, 8 Maret, 9 Maret dan terakhir 11 Maret).
Pada tanggal 31 Januari, pemerintah Italia menyatakan status darurat kesehatan, mengalokasikan dana awal dan menetapkan Kepala Departemen Perlindungan Sipil Angelo Borelli sebagai Komisaris Luarbiasa untuk Penanganan Darurat Covid-19.
Sejak awal Pemerintah Italia juga transparan, data yang terkumpul disajikan di website Departemen Kesehatan dan Departemen Perlindungan Sipil setiap harinya pada pukul 17 atau 18.
Setiap dekrit juga dimuat tautannya dan dipasang pula aturan dan informasi teknis yang sangat membantu warga selama masa lockdwon ini. Peran masyarakat adalah mematuhi himbauan dan aturan yang dikeluarkan pemerintah. Banyak kampanye yang dikumandangkan untuk membantu masyarakat untuk memahami apa itu Covid-19 dan dampaknya di beberapa wilayah lain.
Tidak perlu panik, memang. Tapi jangan sampai menganggap tidak serius situasi ini. Perkembangan dekrit pemerintah Italia yang makin lama makin ketat adalah efek dari respons sebagian masyarakat yang tidak bertanggung jawab, menganggap remeh situasi yang sangat serius ini dan bahkan dengan sengaja melanggar aturan.
Virus ini bisa jadi tidak secara langsung mematikan, (hanya) berdampak fatal pada mereka yang sistem imunnya lemah akibat usia yang sudah lanjut atau penyakit kronis yang sudah diderita. Tapi sifat penyebarannya yang sangat mudah dan sangat cepat bisa mengubah virus yang tidak fatal ini menjadi virus yang menimbulkan bencana kesehatan.
Italia memiliki sistem pelayanan kesehatan publik yang bagus. Jika di Amerika tes Covid-19 dilakukan dengan berbayar (sekian ribu dolar), di Italia dilakukan gratis. Jika di Inggris diambil kebijakan untuk hanya mengkarantina warganya yang merasa memiliki gejala tanpa melakukan tes, maka di Italia sudah dilakukan 124.899 tes tampon.
Meski demikian, Italia juga sempat kewalahan menangani jumlah pasien positif yang naik secara sangat cepat. Di Lombardi dan Veneto, pemerintah memanggil para pensiunan dokter dan perawat untuk kembali bertugas, selain juga meminta para lulusan baru dokter dan perawat untuk langsung bekerja di bawah bimbingan para dokter dan perawat aktual yang bertugas. Pemerintah Italia memanggil para donatur untuk memberikan bantuan berupa obat-obatan, alat bantu pernapasan, masker dan sarung tangan.
Siapkah Indonesia menghadapi tekanan waktu ini? Italia memiliki penduduk sekutar 60 juta jiwa, kurang dari seperempat penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa.
Bayangkan jika virus Covid-19 ini meluas sama cepatnya dengan di Italia. Jika saat ini jumlah pasien positif Italia sekitar 20.000, yaitu 0,03% populasi Italia, maka dalam hitungan kasar dan bodoh dengan persentase yang sama di Indonesia bisa mencapai 78.000 orang yang dinyatakan positif. Jika 20% saja yang membutuhkan perawatan intensif, artinya dibutuhkan sekitar 15.600 tempat tidur yang dilengkapi dengan alat bantu pernapasan. Berapa jumlah tempat tidur perawatan intensif yang tersedia di seluruh Indonesia?
Lockdown bisa jadi bukanlah alternatif ideal dalam konteks Indonesia. Di Italia, 90% sektor ekonomi diliburkan. Hanya sektor yang menunjang kebutuhan primer (pangan dan kesehatan) yang diizinkan tetap beroperasi.
Pemerintah Italia menyediakan 20 milyar euro untuk kompensasi bagi jutaan pekerja yang dirumahkan sementara ini. Pemerintah Italia tidak menyediakan bantuan pangan gratis selama lockdown, hanya menjamin ketersediaan pangan di seluruh penjuru negara.
Indonesia memiliki gambaran ekonomi yang sangat berbeda. Banyak pekerja sektor informal yang pendapatannya harian yang bahkan untuk membeli persediaan makanan untuk beberapa hari pun tak mampu. Apakah Pemerintah Indonesia memiliki dana untuk menanggung warga yang demikian? Artinya Indonesia, baik pemerintah atau masyarakat, harus bekerja sama mencegah untuk tidak sampai pada tahap ini.
Akhir kata, Pemerintah Indonesia telah mulai mengambil beberapa langkah, mungkin belum sempurna dan karena belum sempurna ini, maka sangat dituntun partisipasi masyarakat dalam mencegah penyebaran virus Covid-19 ini.
Menjaga kebersihan dan kesehatan pribadi adalah yang pertama. Mengikuti anjuran pemerintah untuk menghindari kerumunan publik dan menjaga jarak aman juga harus diikuti. Jika pemerintah di beberapa daerah mulai meliburkan sekolah dan diikuti anjuran sekolah dan bekerja di rumah, itu artinya setiap orang sebisa mungkin tinggal di rumah masing-masing.
Adalah durhaka dan sebuah bentuk kejahatan sosial, jika liburan yang diberikan dalam rangka situasi darurat kesehatan itu dimanfaatkan untuk jalan-jalan atau mudik. Tahukah bahwa orang lanjut usia, yaitu orang tua kita, adalah salah satu yang paling rentan terhadap virus ini dan bisa berdampak pada kematian?
Mereka yang tinggal di wilayah yang sudah terpapar virus, besar kemungkinan sudah menjadi carrier, atau pembawa virus, tanpa disadari. Karenanya, bersikaplah bijak untuk mematuhi anjuran pemerintah untuk tinggal di rumah, membatasi interaksi sosial secara langsung.
Benar bahwa hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan, tapi Tuhan pun Maha Tahu mana hambanya yang berusaha dan mana yang bersikap zalim.
Semoga Tuhan melimpahkan pengetahuan dan keterbukaan pikiran pada kita semua, bahwa situasi ini membutuhkan kita sebagai manusia yang berakal untuk bersikap bijak melindungi diri sendiri dan masyarakat sekitar.
*Novia Cici Anggraini. Warga Negara Indonesia yang tinggal di Larino (Campobasso), Molise, ITALIA dan sudah menjalani 11 hari tinggal di rumah karena krisis Covid-19.
**Corona dalam bahasa Italia berarti mahkota.
Foto dan Ilustrasi: axios.com
Editor: Khairil Miswar
No comments:
Post a Comment