Sebelum dinyatakan positif Corona, Menhub RI konon sempat berkelakar bahwa Indonesia kebal Corona sebab suka makan nasi kucing. Namun yang terjadi kemudian justru tak terduga, di mana sang menteri diserang Corona.
Dengan tetap mendoakan agar sang menteri segera sembuh, tentunya apa yang menimpa beliau bisa menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa wabah virus bukanlah panggung komedi untuk memantik kelucuan-kelucuan yang tidak perlu.
Wabah adalah bencana, terlepas dimaknai sebagai hukuman atau ujian; di mana empati dan sikap waspada mesti didahulukan daripada sekadar menjadikannya sebagai ajang hiburan.
Berkat teknologi informasi seperti sekarang ini kita bisa tahu bagaimana cepatnya wabah itu menyebar yang kemudian melintasi dan hinggap di hampir seluruh negara. Korban pun berjatuhan; mulai dari warga biasa sampai pejabat-pejabat tinggi.
China menjadi negara pertama yang dihantam Corona. Semula orang-orang sempat menduga bahwa wabah itu akan berhenti dan berakhir di sana sementara negara-negara lain akan aman. Namun dugaan itu jauh meleset.
Sejumlah sumber menyebut saat ini China sudah “selesai” dengan Corona atau setidaknya sudah mampu “dikendalikan” berkat perjuangan serius pemerintah dan warga negara.
Kini Eropa, Asia dan Amerika yang dulunya menjadi penonton telah mendapat giliran serupa; dihantam Corona. Kabarnya, Italia berada di peringkat kedua kasus kematian akibat Corona setelah China. CNN menyebut virus Corona sudah membunuh 1.809 orang di Italia sampai hari ini.
Baru-baru ini, di media sosial juga tersebar informasi tentang kelalaian Italia pada awal virus itu menyebar. Persis seperti kebanyakan warga kita saat ini; menganggap virus itu seperti tahi ayam yang tak perlu diwaspadai.
Diakui atau pun tidak, saat ini masih ramai warga +62 yang bersikap ulok dan menganggap wabah hanya angin lalu. Ulok-ulok khas +62 terus membiak dari hari ke hari.
Sebagai contoh ketika Gubernur Jakarta meliburkan sekolah, membatasi aktivitas dan menutup tempat hiburan, konon ada sebagian warga yang justru menggunakan kesempatan itu untuk berleha-leha dan liburan. Mereka hanya bergeser dari rutinitas harian kepada agenda lain tanpa peduli pada tujuan awal kebijakan itu dibuat.
Demikian pula dengan daerah lainnya, imbauan menjauhi keramaian disambut dengan gegap-gempita dan lalu membuat keramaian-keramaian baru di luar sana. Sekolah diliburkan tapi siswa diajak orang tua menikmati liburan istimewa yang dianggap sebagai “berkah Corona.”
Kejadian serupa juga terjadi di Aceh yang dikenal religius. Masyarakat tanoh endatu juga punya cara tersendiri menghadapi wabah Corona dengan ulok khas nanggroe teuleubeh. Bahkan sebagian ada yang menganggap diri sebagai paling saleh sehingga muncul keyakinan bahwa Corona tidak mungkin menghampiri mereka.
Belum ditemukannya pasien Corona di Aceh telah dijadikan dalil oleh sebagian warga untuk menjustifikasi keyakinan mereka.
Namun begitu kita mengapresiasi kebijakan Plt Gubernur Aceh yang meliburkan sekolah demi mencegah penyebaran Corona. Dan kita akan lebih mengapresiasi lagi jika kebijakan itu diiringi pembatasan sementara bagi pusat-pusat keramaian lainnya semisal kedai kopi, meskipun nantinya kebijakan ini akan ditentang oleh jumhur penikmat kopi paling fanatik di muka bumi.
Kita tahu pembatasan semisal itu akan sangat menganggu, tapi demi kemaslahatan sudah semestinya keberatan itu diabaikan. Menghadapi rakyat ulok tidak bisa hanya dengan ceramah dan kata-kata bijak, tapi dibutuhkan ketegasan pemimpin.
Selain itu, kita juga berharap kepada seluruh warga +62 agar segera mengakhiri ulok yang tidak pada tempatnya. Kita juga berharap kebijakan pemerintah meliburkan sekolah atau mungkin meliburkan kerja dalam beberapa hari ke depan tidak sekadar dianggap sebagai berkah Corona, tapi mesti dipatuhi demi kebaikan bersama.
Semoga saja tragedi yang menimpa Menhub RI bisa menjadi awal untuk mengakhiri segala bentuk ulok dari warga +62. Dan yakinlah bahwa wabah bukan komedi.
Ilustrasi: pharmaceutical-technology.com
No comments:
Post a Comment