Wabah corona yang menggegerkan dunia akhirnya mewabah juga di Indonesia. Walau sebelumnya ada menteri yang berkelakar Indonesia tidak akan diinfeksi corona karena suka makan nasi kucing, dan akhirnya menteri tersebut diinfeksi korona, mungkin si corona marah karena dibandingkan dengan nasi kucing.
Dan kini wabah itu telah benar-benar nyata menginfeksi Indonesia raya. Selain menginfeksi seorang menteri, anak menteri dan juga seorang walikota. Sampai tulisan ini dibuat kasus covid19 sudah di angka 450 kasus dengan kematian 38 orang.
Melihat corona semakin mengganas pemerintah dan jajarannya yang terkait bereaksi menghadapi wabah corona yang kian hari kian menggila menginfeksi siapa saja tanpa pandang bulu.
Maka terbitlah berbagai macam upaya pencegahan penularan covid19 termasuk di antaranya adalah anjuran social distancing, yaitu mengurangi jumlah aktivitas diluar rumah dan interaksi dengan orang lain, mengurangi tatap muka langsung. Termasuk menghindari tempat-tempat yang ramai dikunjungi orang seperti masjid dan lain-lain.
Selain pemerintah, otoritas keagamaan seperti MUI juga mengeluarkan fatwa untuk mencegah penularan Covid19. Salah satu di antara point fatwa itu adalah point no 4 yang berbunyi “dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat zuhur di tempat masing-masing.”
Sontak fatwa point no4 tersebut disambut beragam oleh ummat Islam ada yang pro tak sedikit juga yang kontra. Mereka yang kontra berdalih bahwa corona adalah ciptaan Allah tak perlu takut, apalagi harus menjauhi masjid, masjid bukan sumber corona tak perlu dijauhi, corona tidak kuasa membuat siapa pun sakit Allah lah yang berkuasa membuat siapapun jadi sakit. dan seabrek dalih lainnya khas kaum Jabbariyah.
Alibi-alibi khas kaum Jabbariyah di atas sepintas lalu memang bisa dibenarkan jika hanya ditimbang dengan iman saja. Namun akan menjadi kacau dan menyesatkan saat ditimbang dengan ilmu fiqh.
Perhatikan dalil syar’i berikut; Abdullah bin Abbas mengatkan kepada muadzin pada saat hujan, “Apabila engkau mengucapkan “Asyhadu alla ilaha illallah, asyhadu anna muhammadar Rasulullah” maka jangan engkau ucapkan “Hayya ‘alash sholah”. Tetapi ucapkanlah “shollu fi buyutikum”(shalatlah di rumah kalian). Lalu ibnu Abbas melanjutkan “Apakah kalian merasa heran dengan hal itu? Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukannya. Nabi bersabda sesungguhnya shalat jumat adalah suatu kewajiban. Namun, aku tidak suka jika kalian merasa susah jika harus berjalan ditanah yang penuh lumpur. (HR. Muslim)
Jika dianalogikan hujan dengan wabah Covid-19 tentu Covid-19 jauh lebih berbahaya. Jika cuma hujan saja bisa menjadi uzur boleh tidak meninggalkan shalat Jumat atau shalat berjamaah, apalagi Covid-19 tentu lebih boleh lagi untuk meninggalkan shalat jumat atau shalat berjamaah. Karena mencegah bahaya lebih didahulukan daripada memperoleh manfaat.
Lagian pula yang memfatwakan shalat di rumah itu adalah para ahli ilmu yang diberikan otoritas oleh pemerintah seperti MUI, dan juga mufti-mufti resmi Negara muslim teluk. Karenanya mengikuti ahli ilmu adalah lebih utama.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: nytimes.com
No comments:
Post a Comment