Oleh: Bung Alkaf
Saya harus mengatakan dengan jujur, surat cinta dari Plt. Gub Aceh, Nova Iriansyah, untuk paramedis yang sedang berjuang melawan pendemi Covid-19, tidak menarik sama sekali.
Tulisannya tidak mengena. Tidak otentik.
Saya membacanya sampai selesai. Lebih tepatnya, berusaha untuk membaca sampai selesai. Saya menangkap, Nova, seperti hendak mengulangi puisinya di media, yang juga tidak menarik. Tetapi, lagi-lagi, seperti puisinya, surat cinta ini gagal total. Gagal untuk memancing emosi, apalagi membangkitkan soliditas sosial.
Saya tidak tahu, seperti apa komentar paramedis tentang surat itu. Sepanjang amatan saya di timeline media sosial, tidak pernah ada komentar apa pun dari mereka. Mereka sibuk bekerja. Jadi tidak sempat membaca surat itu.
Saya tahu, Nova, hendak mengulangi keberhasilan Anies Baswedan ketika menulis surat untuk paramedis di Jakarta. Tapi di sinilah alpanya Nova. Anies, kalau untuk urusan demikian, menata kata, paling jago. Dia pintar sekali. Kalau lagi dia bicara, orang bisa berhenti untuk menyimak. Anies jawara hal itu sejak dulu. Dapat dikatakan, satu level di bawah SBY dalam soal mengatur naik suara.
Nova saya rasa tidak.
Sependek pengetahuan saya, Nova bukan pembicara publik yang baik. Sama seperti Aminullah, Walikota Banda Aceh.
Kalau dikatakan karena latar belakang pendidikan dari Fakultas Teknik, sehingga membuat Nova tidak terlalu cakap menata kata, itu juga tidak tepat. Ada beberapa orang yang saya kenal, dari Fakultas Teknik juga, memiliki artikulasi bagus. Untuk menyebut beberapa, Lazuardi Essex, Win Wan Nur dan Irwan Djohan. Ketiga dari mereka, dan pastinya banyak lagi, apik dalam menyusun susunan kata. Bahkan rancak dalam bidang seni dan kesustraan.
Kalau kita membaca surat cinta Nova, lalu membandingkan dengan apa yang ditulis Anies, terus terang, jauh sekali perbedaannya. Satu udah kemana, satunya lagi masih di mana. Anies menulis dengan pilihan diksi yang padat, Nova tidak.
Perhatikan, perbedaan dari cara keduanya memulai menulis surat. Anies, menulis:
“Ibu, bapak dan rekan-rekan yang kami banggakan. Atas nama seluruh warga Jakarta, izinkanlah saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk segala pengorbanan dan keikhlasan.”
Bandingkan dengan Nova,
“Sungguh, saya ingin sekali bertemu dengan Bapak/Ibu sekalian. Tapi, karena keadaan, melalui surat ini saya menegaskan bahwa Bapak/Ibu semua ada dalam pikiran dan hati saya.”
Perhatikan diksi yang dipilih Nova. Tidak lugas. Terlampaui bertele-tele. Nova bahkan memilih padanan kalimat terlalu konkret. Misalnya ketika menulis,
“Saya tegaskan lagi, saya mau semua petugas medis terkait Covid-19 akan diberi insentif, bahkan juga termasuk mendukung keluarga Bapak/Ibu semua, serta paska berlalunya Covid-19 semua tim medis yang bekerja akan saya dukung bagi kemajuan karier.”
Bandingkan cara Anies memberikan aspek emosional karena memilih diksi yang abstrak,
“Mohon sampaikan salam hormat kami pada keluarga di rumah, katakan pada mereka, Jakarta bangga pada ibu, bapak dan rekan-rekan semua.”
Kini sepertinya, menulis surat cinta sudah menjadi keahlian elite Aceh.
Wali Nanggroe juga menulis surat untuk para medis. Selama ini kita tidak pernah melihat Wali nangroe terutama berada di barisan depan untuk menyelesaikan kemelut, kecuali kegentingan di Partai Aceh. Tiba-tiba muncul, untuk menulis surat. Suratnya ringkas. Kita seperti diajak membaca maklumat dari zaman pergolakan.
Irwandi, dibalik jeruji, juga menulis surat. Namun berbeda, isi suratnya pun tidak berniat untuk membuat orang bercucuran air mata. Ini otentik. Isi suratnya tentang kewaspadaan, kedaruratan dan strategi penanganan. Taktis dan lugas. Bagi Irwandi, tidak perlu air mata, yang perlu mata yang awas.
Musim menulis surat cinta memang sedang bersemi, sehingga akhirnya ada mahasiswa akhirnya menulis surat untuk Nova. Namun, isinya suratnya lebih mirip menulis surat untuk Kanda. Mungkin itu tugas dari dosennya dalam kuliah online selama masa stay at home. Suratnya tentang ucapan terima kasih atas kebijakan ini dan itu dari Nova. Tampak artifisial.
Saya kira, kalau masih mau, semua masih boleh menulis surat cinta. Tapi, ya mbok kalau menulis surat itu yang serius. Kalau berniat hendak membuat suasana menjadi haru-biru, pilihlah diksi yang tepat. Kalau hendak membuat orang pada semangat, tulislah surat dengan kalimat membara. Atau kalau perlu, supaya suratnya semakin mengena, ditambah dengan rekaman suara. Lalu bagikan ke masyarakat. Biar sekalian seperti Bung Tomo.
Atau, biar semuanya bahagia, tulis saja surat cinta untuk jam malam. Asalkan jangan meniru surat Nova yang wadaw itu!
Foto: Fb Nova Iriansyah
No comments:
Post a Comment