Oleh: Rudy Fachruddin
Problem serius orang Aceh adalah: kita gemar membahas masa lalu hanya sebagai sebuah cerita, bukan sebagai peristiwa sejarah.
Tentunya ada perbedaan besar antara cerita dengan sejarah. Cerita adalah sesuatu yang sangat longgar dalam berbagai sisi, tidak perlu ada pembabakan waktu yang jelas, catatan kronologis yang teratur, batas-batas lokasi yang spesifik, pemetaan alur-alur hubungan dengan peristiwa yang lain, bukti-bukti yang dapat ditelusuri, bahkan tidak mesti ada batas-batas yang tegas untuk memisahkan mana muatan yang fiktif dengan kenyataan. Sebuah cerita tidak memberikan dorongan apa pun terkait pembuktian isinya lebih jauh, kalau ada hal yang hendak ditonjolkan secara maksimal dalam sebuah cerita, maka itu adalah klimaks yang mencengangkan dan pesan moral yang menohok.
Problem ini menjalar tidak terkecuali di kalangan santri dan pengkaji agama. Ambil contoh dalam masalah catatan riwayat ulama. Ujaran ulama masa lalu yang paling dominan disampaikan dalam kegiatan kajian agama adalah seputar kisah-kisah keramat belaka, sehingga tidak heran jika kisah-kisah semacam ulama Aceh yang masuk goa sambil memejamkan mata lalu sekelebat mata sudah tiba di Masjidil Haram, ulama yang berjalan kaki secepat pesawat, ulama yang mematahkan tangkai pohon durian di pedalaman sebuah hutan di Aceh dan buahnya dihidangkan sebagai oleh-oleh di Arab dan semacamnya. Semua kisah tersebut dapat disampaikan tanpa perlu menunjukkan batas-batas yang jelas apakah ia sepenuhnya fiktif atau sepenuhnya nyata atau telah melalui berlapis-lapis tambahan dan bumbu-bumbu agar terkesan lebih dahsyat, sehingga campur aduk antara yang fiktif dan nyata.
Sekali lagi ujaran masa lalu pada contoh di atas adalah sebuah cerita dengan segenap kelonggaran yang berlaku pada penjelasan sebelumnya. Ia sama sekali tidak membutuhkan pembabakan yang jelas atau pembuktian sama sekali, bahkan sebuah konten kisah ajaib yang sama kadang disampaikan dengan tokoh dan nama ulama yang berbeda serta latar tempat yang berbeda pula.
Kita tidak sedang menihilkan atau menertawakan masalah “keramat,” problem ini telah selesai. Namun sekali pun kita mempercayai keajaiban semacam itu, sebenarnya seberapa jauh kisah-kisah tersebut perlu dikemukakan dibandingkan bagian muatan-muatan sejarah riwayat para ulama lainnya?
Apakah kisah keramat itu menjadi lebih penting dibandingkan mempelajari riwayat hidup tahun kelahiran Imam Syafi’i, misalnya, rihlah ilmiah beliau yang demikian jauh, setting politik antara pengusaha dengan para Alawiyin dan pengaruhnya bagi Imam Syafi’i, sejarah peralihan Qaul Qadim menuju Qaul Jadid, ragam tokoh dan pemikiran yang mewarnai Imam Syafi’i, hingga masa-masa akhir kehidupan beliau. Untuk ulama sekelas Imam Syafi’i, apakah ujaran tentang beliau (dalam bingkai sejarah, bukan sekadar cerita) selama ini sering disampaikan?
Aceh dan Catatan Ulama Mereka
Jika hendak mengulik-ulik produk catatan riwayat ulama sejak era awal umat Islam, ada banyak sekali contoh yang dapat kita tiru. Mulai dari sajian kisah para tokoh sejak masa sahabat dan seterusnya seperti kitab Hilyat al-Awliyā’ (al-Ashbahāny), sajian riwayat para sahabat seperti kitab al-Ishābah (Al-‘Asqalany), sajian riwayat para tokoh demi kepentingan periwayatan hadis seperti Tahdzīb al-Kamāl (al-Mizzy) atau Tahdzīb al-Tahdzīb (Al-‘Asqalany), sajian khusus para pejuang suatu mazhab fikih seperti Thabaqāt al-Syafi’iyah (al-Subky) atau Thabaqāt al-Ĥanabillah (Ibn Rajab) dll, sajian para tokoh ulama dalam spesialisasi ilmu tertentu seperti Thabaqāt al-Naĥwiyīn (Abu Bakr al-Zābidy), manaqib para ulama secara individual dan berbagai bentuk catatan riwayat ulama yang lainnya.
Semua sajian di atas dipaparkan dalam bingkai sejarah, bukan sebatas cerita. Muatan-muatan di dalamnya penuh dengan sajian tentang pembabakan waktu misalnya tentang tahun berapa mereka lahir dan meninggal, batas-batas lokasi tentang mereka dilahirkan, tumbuh besar dan rihlah ilmiah mereka, jalinan-jalinan antarberbagai peristiwa misalnya setting sosial dalam latar kehidupan mereka, bukti-bukti yang dapat ditelusuri seperti kitab-kitab dan karya tulis mereka.
Sajian tentang keramat tentu bukan sama sekali tidak tercatat, namun perhatikan dengan baik sejauh mana bagian tersebut ditonjolkan? Kita semua sepakat bahwa riwayat seorang imam Syafi’i atau imam Nawawi amat sangat sepi dengan kisah-kisah keramat jika dibandingkan dengan muatan sejarah lain yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, sekali pun kita meyakini tidak mungkin tokoh sekaliber mereka tidak mengalami keajaiban keramat-keramat dalam hidup mereka.
Catatan sejarah ulama milik orang Aceh masih jauh mengejar produk-produk manaqib ulama Arab. Pengaruh Islam telah menjadi satu kekuasaan politik sejak abad 13 (Kerajaan Samudera pasai), pastinya telah ada banyak sekali ulama yang lahir di tanah ini namun sedikit sekali catatan sejarah mereka. Apalagi jika perbandingannya dengan catatan tentang riwayat para Walisongo sebagai penyebar Islam di tanah Jawa.
Mari mengangkat langkah besar ke masa tiga abad berikutnya (abad 16 dst) masa di mana beberapa nama besar telah tercatat seperti Hamzah Fansuri, Ar-Raniry dan Syiah Kuala. Namun seberapa dalam riwayat para ulama tersebut (dalam bingkai sejarah) yang dikaji dan dipelajari oleh para santri di Aceh? Seberapa jauh pengetahuan santri terkait tahun lahir-meninggal mereka, rihlah ilmiah mereka, setting sosial mereka, jaringan guru-murid mereka, dan bekas-bekas dan karya mereka?
Saya pribadi selama menjadi santri nyaris tidak pernah memperoleh informasi dan ajaran tentang masalah di atas, padahal telah belajar pada dayah yang tergolong lumayan elite, semua tenggelam di tengah cerita-cerita keramat a-historis semisal pada contoh sebelumnya.
Bahkan sebelum belajar di UIN Ar-Raniry, saya sama sekali tidak mengetahui bekas-bekas monumental dan agung mereka seperti kitab al-Shirāth al-Mustaqīm (karya fikih ibadah pertama Nusantara milik al-Raniry), kitab Mira’t al-Thullāb (karya fikih kompleks pertama di Nusantara milik As-Singkily), atau tafsir Turjumān al-Mustafīd (produk tafsir bahasa lokal pertama Nusantara).
Sungguh menyakitkan jika catatan gemilang sejarah ulama Aceh masa lalu ternyata menjadi sesuatu yang asing bagi para santri pengkaji agama Islam di Aceh masa kini.
Dan kalau mau jujur memang kajian dan penelitian sejarah para ulama Aceh justru lebih sering dilakukan oleh orang luar Aceh, sementara pada saat yang sama, santri-santri lokal masih sangat asyik dan terpukau pada cerita-cerita.
Pegangan Mata Pelajaran Sejarah yang Menggelikan
Saya pernah membaca sebuah silabus pembelajaran di sebuah dayah yang mengandung mata pelajaran “sejarah,” ajaibnya bacaan pegangan untuk mata pelajaran tersebut adalah kitab Durratun Nashihin dan Daqaiqul Akhbar. Sampai di sini cukup jelas ada kesemrawutan tentang pemahaman dan perbedaan antara sejarah dengan cerita di sana.
Sebenarnya seberapa besar manfaat mempelajari (katanya sejarah) “penciptaan dunia dari keringat burung merak” atau “anak-anak yang dimuntahkan serigala?” Apakah kita para santri tidak tergugah untuk mulai mengurangi dosis input cerita dan beralih menggeluti kajian sejarah peradaban Islam, berbagai daulah yang pernah berjaya, Islam di Eropa, masuknya Islam ke Nusantara atau Islam di Aceh dan sebagainya.
Cerita Ibnu Hajar (Kisah yang Di-naikpangkat-kan Menjadi Sejarah)
Ada sebuah cerita yang saya yakin pernah didengar oleh banyak santri. Kisah seorang penuntut ilmu yang sudah belajar selama 30 tahun tetapi masih bebal dan tidak mengerti apa-apa. Suatu hari ia menyerah, pulang kampung dan berhenti menjadi santri. Lalu, di tengah perjalanan ia melihat sebuah batu yang berlubang di tengahnya. Lubang tersebut ternyata dibuat oleh tetes-tetes kecil air yang jatuh ke sana selama puluhan tahun. Pengamatan terhadap batu berlubang itu kemudian menggugah hati santri tadi hingga ia kembali lagi belajar karena berkeyakinan jika batu saja dapat berlubang karena kejatuhan tetesan air, tentu kepalanya akan lebih mudah tercerahkan oleh tetesan ilmu. Pada akhirnya karena kegigihannya dalam belajar ia kelak menjadi ulama besar dengan julukan Ibn Hajar yang secara harfiah diterjemahkan menjadi anak batu.
Kita sama sekali tidak perlu mempermasalahkan kisah di atas, karena sekali lagi ia adalah cerita dengan segenap kelonggaran verifikasinya. Apalagi tentu saja poin yang hendak ditonjolkan di sini adalah pesan moral yang menohok, sebagaimana kita singgung pada paragraf awal tulisan ini. Namun ada banyak orang yang menaikkan pangkat cerita ini menjadi fakta sejarah, sehingga mereka menganggap Ibn Hajar yang dimaksud dalam cerita adalah Ibn Hajar al-Haitamy atau al-‘Asqalany. Ini tentu saja sebuah pencocokan yang kacau dan menunjukkan dua problem serius.
Pertama, sekali lagi ada kesemrawutan dalam membedakan sejarah dengan cerita, dan kedua ia menunjukkan yang bersangkutan tidak pernah benar-benar serius mempelajari profil ulama dalam bingkai sejarah.
Kita tentu tahu bahwa kedua Ibn Hajar dalam biografi mereka tidak pernah menyinggung cerita ini, mereka justru disebutkan telah menjadi murid brilian sejak berusia dini. Sangat tidak sesuai dengan cerita orang yang belajar 30 tahun dan tidak mengerti apa-apa. Penisbatan laqab hajar (حجر) sendiri tidak ada hubungannya dengan kisah ini. Laqab tersebut dinisbatkan karena keduanya memiliki kakek atau leluhur yang bernama Hajar.
Problem ini pada akhirnya berimbas di mana catatan sejarah banyak ulama Aceh, bahkan yang baru saja meninggal beberapa tahun silam menjadi sangat miskin. Tidak banyak santri yang tergugah untuk membukukan dan mencatat sejarah ulama yang menjadi rantai sanad keilmuan mereka sendiri. Di media sosial, saat ulama tersebut tutup usia, mereka hanya mampu menuliskan beberapa untaian belasungkawa dan satu dua paragraf biografi ulama tersebut. Jarang sekali ditemukan adanya tulisan yang kompleks mencakup poin-poin yang disebutkan oleh kitab-kitab biografi ulama yang kita singgung di atas, karena sekali lagi tidak ada ketertarikan untuk mencatat sejarah, kecuali sekadar membawakan cerita.
Pada akhirnya ulama tersebut hanya dimasukkan sebagai karakter tokoh kisah-kisah keramat yang telah ada. Sekali lagi kisah itu mengalami pergantian nama tokoh dan penambahan bumbu klimaks yang lebih mencengangkan.
*Rudy Fachruddin adalah lulusan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, pada studi ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: 1esoe1112
No comments:
Post a Comment