Oleh: Bung Alkaf
Ada banyak film dengan latar Perang Dunia II, di antaranya Darkest Hours. Film biopik tentang Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia II.
Film itu dibintangi dengan apik oleh Gerry Oldman, yang membuatnya meraih piala Oscar, sebagai aktor terbaik di tahun 2018. Pencapaian yang sudah sepatutnya. Aktingnya menawan sekali. Kita dibawa untuk menyaksikan, bagaimana Churchill dalam tekanan hebat menghadapi ekspansi Jerman di bawah Hitler. Satu persatu, daratan Eropa disapu bersih, termasuk Prancis, salah satu negara kuat pemenang Perang Dunia I.
Di dalam negeri, dia berhadapan dengan rekan satu partainya, yang terus menyerukan untuk berunding dengan Hitler — hal yang sejak awal ditentang Churchill. Baginya, Hitler adalah orang yang tidak bisa diajak bicara. Hitler, bagi Churchil, orang yang akan menghancurkan peradaban Eropa.
Tekanan terus dihadapinya. Dia kelabakan.
Entah ide datang dari mana, Churchil melakukan hal yang tidak populer. Satu hari, dia turun dari mobil, lalu naik kereta bawah tanah. Di dalam kereta, dia berjumpa rakyatnya yang sedang kalut dan takut. Tetapi tidak mau menyerah. Mereka tahu, kejatuhan Inggris seperti menunggu waktu. Kota-kota di Inggris dibom tanpa ampun oleh angkatan udara Jerman. Ratusan ribu pasukan mereka juga terjebak di pantai Prancis. Namun, di dalam kereta, Churchil mendapatkan energi dari rakyatnya. Suara batin dari rakyatnya semakin meneguhkan prinsipnya, berperang adalah satu-satunya jalan. Tidak ada perundingan. Inggris akan habis-habisan.
Perang Dunia II akhirnya dimenangkan oleh sekutu, di mana Inggris bagian dari kekuatan itu. Tetapi kita sulit mengatakan hasil perang dunia II demikian, kalau tidak ada Churchill yang keras kepala. Amerika Serikat, kala diminta bantuan oleh Churchill, sudah mengatakan tidak hendak turut campur. Bagi mereka, perang yang dikobarkan Hitler, adalah perang di Eropa. Walau, kemudian kita tahu, Amerika juga ikut ambil bagian dalam perang terbesar dalam sejarah umat manusia. Bersama Rusia, mereka ikut menghabisi Jerman di Eropa dan Jepang di Asia. Jerman dibagi menjadi dua, setelah sebelumnya Hitler bunuh diri di bungker. Jepang juga dilucuti dan menjadi bagian dari perluasan pengaruh Amerika di Asia Pasifik.
Churchill melakukan apa yang seharusnya pemimpin lakukan. Dia tahu, bahwa ada hal yang diserahkan oleh rakyat kepadanya: kepemimpinan. Rakyat meminta dirinya mewakili apa yang menjadi urusan mereka. Lalu Churchill, menggunakan intuisinya. Dia tidak membutuhkan saran dari partai dan kabinetnya, yang sudah takut setengah mati mendengar suara Hitler. Intuisi, yang kemudian mendapat dukungan moral dari rakyatnya untuk melawan Hitler, ternyata benar.
Sejarah mungkin akan ditulis berbeda kalau Churchill tunduk kepada suara keras tapi bukan dari keyakinannya. Churchill mafhum, kalau negaranya, bahkan dunia sedang berhadapan dengan monster, yang tidak akan berhenti menghancurkan apa yang dikehendakinya.
Churchill mampu membaca tanda-tanda zaman itu. Dia paham, negaranya sedang berperang, maka Churcill pun ikut berperang. Dia singkirkan hal-hal formal, apalagi seremonial. Namun, ketika damai hadir, dia pun ikut berdamai. Churchill sudah bertindak sebagaimana mestinya, sebab itulah, dia disebut pemimpin.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: rhapsodyinwords
No comments:
Post a Comment