Tersiar kabar bahwa dalam beberapa hari ini di Aceh telah diterapkan jam malam. Sejak ditetapkan, kononnya kebijakan ini juga mendapat pengawasan yang ketat dari pihak keamanan. Artinya penerapannya benar-benar serius dan tidak main-main.
Pemerintah menyebut pemberlakuan jam malam ini sebagai upaya mencegah penyebaran wabah Corona di Aceh yang sampai saat ini sudah menginfeksi lima orang, dan satu orang meninggal dunia.
Sebelum penerapan jam malam ini dilakukan, sebagian rakyat Aceh, termasuk saya, sudah berteriak-teriak dengan cara masing-masing agar Plt Gubernur Aceh melakukan penutupan bandara, pelabuhan dan akses keluar masuk dari dan ke Aceh, kecuali untuk keperluan logistik dan medis atau agenda-agenda genting lainnya.
Merujuk pada teriakan-teriakan rakyat, khususnya di media sosial, maka boleh jadi kebijakan jam malam yang kini diterapkan adalah salah satu cara yang digunakan Plt Gubernur Aceh untuk menyahuti aspirasi publik. Jika itu benar, maka patutlah kita apresiasi.
Namun begitu, persoalan tidak berhenti di sini, di jam malam, yang justru membawa memori publik pada kondisi darurat, entah sipil entah militer yang terjadi di masa lalu. Kondisi kota yang hening, sepi dan sunyi memang menjadi ciri khas masa-masa itu, masa-masa kita kena sepak sepatu aparat.
Selain mengulang memori lama, pemberlakuan jam malam dalam beberapa hari ini juga telah memunculkan protes dari sebagian rakyat karena kebijakan ini berdampak pada perekonomian mereka, khususnya para pedagang kecil yang berjualan di malam hari.
Seperti kata T.M. Jafar Sulaiman, bagaimana mungkin kita memaksa pedagang nasi goreng sedap malam untuk menjual nasi goreng sedap siang? Selain harus ganti gerobak, menjual nasi goreng di siang hari juga “ahistoris,” khususnya di Aceh. Tapi kalau nasi sayur bolehlah.
Dan, tidak cuma pedagang, para pembeli juga kebingungan dengan penerapan jam malam ini. Meskipun sudah berpengalaman di masa konflik, namun kondisi ini tetap saja menyusahkan mereka dan siapa pun.
Di tengah protes, ada pula sebagian oknum rakyat lainnya yang mencoba membela. “Kemarin kan minta lockdown. Nah, ini baru jam malam sudah protes,” kira-kira begitu apologia yang mereka bangun.
Menyikapi orang-orang semisal ini, jujur sangat sulit bagi saya untuk menarasikan pikiran mereka. Tapi, kalau kita pernah melihat orang yang minum koyok atau mengoles obat sirup di kepala kita pasti paham. Kira-kira seperti itulah mereka.
Permintaan lockdown yang diserukan rakyat sudah benar. Terlepas kita sepakat dengan istilah itu atau tidak. Atau boleh juga gunakan istilah karantina wilayah atau apa saja. Dan apa pun istilah yang dipakai, yang kita dan sebagian rakyat kehendaki adalah penutupan bandara, pelabuhan dan akses keluar masuk, kecuali untuk kepentingan tertentu seperti telah kita singgung di awal.
Permintaan ini wajar belaka mengingat wabah itu datang dari luar dan bukan berpusat di Aceh. Karena dia berasal dari luar, maka satu-satunya pilihan adalah tutup akses masuk. Adapun social distancing atau physical distancing, meskipun sudah benar, namun pada hakikatnya strategi itu digunakan untuk daerah-daerah yang memang sudah menjadi zona merah. Dan, karena Aceh masih bebas keluar masuk, maka strategi physical distancing tetap diperlukan untuk menghindari penularan.
Jadi menjadi aneh ketika permintaan lockdown justru disahuti dengan jam malam. Yang mendesak harus dilakukan pemerintah adalah menutup akses keluar masuk dan kemudian melarang kerumunan, bukan menutup total kedai kopi, pasar atau warung. Kalau semuanya ditutup, maka rakyat akan kesulitan mendapatkan kebutuhan, khususnya makanan. Yang perlu dilakukan adalah pembatasan agar tidak terjadi kerumunan.
Kembali ke jam malam. Percaya atau pun tidak, kebijakan ini meskipun bisa menjadi langkah awal, tetapi untuk memutus mata rantai penyebaran wabah sama sekali tidak efektif apabila jalur keluar masuk masih terbuka. Apalagi kononnya beberapa TKA asing juga masih masuk ke Aceh. Konyol, bukan?
Dengan demikian tidak perlu marah-marah ketika ada yang menyindir pemerintah Aceh ingin lepas tanggungjawab. Kita justru curiga, jika pemberlakuan jam malam hanyalah “trik” untuk menghindari beban yang mesti ditanggung.
Seandainya lockdown diberlakukan, maka pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan kompensasi kepada rakyat terdampak karena mereka tidak bisa lagi bekerja. Hal ini tentu akan menguras anggaran yang tidak sedikit. Tapi dalam kondisi genting, ini adalah satu-satunya pilihan paling rasional. Dan tampaknya Plt Gubernur belum bergerak ke arah ini. Jika pun sudah mulai bergerak, tapi kesannya bukan saja lambat tapi bahkan sangat lamban.
Akhirnya, yang dipilih jam malam. Karena untuk jam malam tidak butuh anggaran tapi cukup dengan memperketat aturan kepada rakyat sehingga mereka terus tertekan. Memang sejak pajan ada kewajiban kompensasi dalam penerapan jam malam yang mirip-mirip darurat sipil atau darurat militer itu? Kalau ada silakan tulis di kolom komentar!
Akhirnya apa? Pesawat di bandara terus mendarat, kapal di pelabuhan terus merapat dan rakyat semakin “sekarat.”
Ilustrasi: Tabloid Kontras, 1999.
No comments:
Post a Comment