Oleh: Khairul Fahmi
Perlu diperhatikan, bahwa dalam tulisan ini tidak akan dibahas lagi mengenai ketidaktegasan pemerintah Indonesia dan Aceh dalam menghadapi pandemi Covid-19, karena sudah pernah dibahas oleh beberapa intelektual muda seperti Alkaf, Jafar, Khairil Miswar dan Syukurdi (baca di Bagbudig.com).
Tulisan ini akan membahas respons gerakan Salafi Indonesia terhadap pandemi covid-19. Penulis berpendapat bahwa gerakan Salafi Indonesia semakin terbuka terhadap pemerintah, hal ini terlihat dari sikap mereka dalam menanggapi imbauan pemerintah Indonesia terkait covid-19 yang semakin terbuka. Selain itu, penulis juga berargumen bahwa sebagian orang Salafi memiliki rasionalitas dan kreativitas yang tinggi dibandingkan dengan beberapa kelompok keagamaan lain dalam menghadapi covid-19.
Kreativitas orang-orang Salafi bisa dilihat ketika mereka berhasil memasarkan produk-produk pribadi yang diklaim sebagai solusi atau penangkal covid-19.
Gerakan Salafi di Indonesia
Salafi merupakan gerakan yang menginginkan praktik Islam secara murni dengan kepatuhan ketat terhadap konsep tauhid sebagaimana yang terdapat dalam Qur’an dan Hadis. Salafi sering mangacu kepada kelompok al-salaf al-salih (tiga generasi pendahulu yang salih), mereka juga tidak membiarkan subyektivitas atau rasionalitas manusia leluasa untuk mengindentifikasi kebenaran. Selain itu, Salafi terkadang menunjukkan sikap yang apolitis (tidak peduli urusan politik). Gerakan Salafi sedikit berbeda di bawah intelektual reformis modernis seperti Jamal al-Din Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha di Mesir. Mereka lebih terbuka terhadap rasionalitas, menyerukan pintu ijtihad agar dibuka kembali dan penerimaan terhadap pemikiran Barat.
Pada perkembangannya, Salafi terbagi menjadi beberapa kelompok dengan orientasi yang berbeda-beda. Seperti disebutkan oleh Quintan Wiktorowicz (2006), bahwa Salafi terbagi menjadi tiga kelompok yaitu puris, politik dan jihadis. Kemudian Jose Wagemakers (2016) membagi lagi Salafi puris menjadi tiga kelompok. Pertama, Salafi puris yang tidak mau terlibat sama sekali dalam urusan politik (aloofists). Kedua, Salafi puris yang aktif terlibat dalam dunia politik serta mendukung kebijakan yang dibuat oleh para penguasa (loyalists). Ketiga, Salafi puris yang menyerukan (propagandists) bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada pemerintah merupakan bagian dari iman.
Di Indonesia, kelompok Salafi muncul pada pertengahan tahun 1980-an atas konsekuensi gerakan dakwah Salafi transnasinal. Noorhaidi Hasan (2010) menyebutkan kemunculan kelompok Salafi di Indonesia ditandai dengan hadirnya beberapa pria dengan jenggot panjang, jubah gaya Arab, turban dan celana cingkrang, serta para wanita yang memakai niqab. Gerakan dakwah Salafi semakin berkembang ketika rezim Soeharto jatuh pada tahun 1998, mereka menciptakan jaringannya dengan mendirikan Sekolah atau Madrasah dan Pesantren (Noorhaidi Hasan, 2010, Din Wahid, 2014), Kampus (Chris Chaplin, 2018) Penerbit dan memanfaatkan jaringan Website dan Saluran Radio (Sunarwoto, 2012, 2016).
Din Wahid (2014) membagi kelompok Salafi indonesia menjadi tiga, yaitu puris (apolitis), haraki dan jihadis. Kelompok Salafi di Indonesia pada mulanya tetap fokus pada gerakan dakwahnya, seperti yang dilakukan oleh Abu Nida di kampus-kampus di Yogyakarta. Akan tetapi, kelompok Salafi terlibat dalam lingkaran politik ketika terjadi konflik di Ambon, Maluku. Pada tahun 2000, Laskar Jihad di bawah pimpinan Ja’far bin Thalib menyerukan jihad untuk membela umat muslim di Maluku (Noorhaidi Hasan, 2002).
Konflik di Maluku telah menyebabkan perpecahan di kalangan kelompok Salafi di Indonesia. Hadirnya Ja’far bin Thalib telah mengancam beberapa tokoh Salafi lain seperti Abu Nida. Dia merasa otoritas dirinya sebagai tokoh Salafi mulai terancam. Pada tahun 2002, Laskar Jihad dibubarkan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali, ulama besar Salafi di Arab Saudi. Karena itu, menurut Sunarwoto (2016) kelompok Salafi di Indonesia terpecah menjadi tiga berdasarkan pimpinan atau jaringannya. Pertama, jaringan Luqman Baabduh, termasuk di dalamnya ada Muhammad as-Sewwed dan Ayib Syafruddin. Kedua, jaringan Dzulqarnain (pimpinan bagian fatwa di Laskar Jihad). Ketiga, jaringan Abu Turob Al-Jawi (mantan anggota Laskar Jihad).
Ikhwal di atas menunjukkan bahwa perkembangan kelompok Salafi atau gerakan dakwah Salafi di Indonesia selalu berubah orientasinya dan sangat sulit untuk dikategorisasikan menjadi beberapa kelompok. Meskipun kecenderungan kelompok Salafi di Indonesia tergolong kelompok yang puris, akan tetapi di beberapa kesempatan mereka akan sangat politis tergantung situasi, kondisi dan kebutuhan mereka. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sunarwoto (Media Indonesia, 2019) bahwa kelompok Salafi di Indonesia sangat politis sejak tahun 2014, di mana mereka mengambil peran dalam membangun demokrasi di Indonesia.
Covid-19 dan Politik Akomodasi Salafi
Ketika kasus virus corona meningkat di Indonesia, pemerintah mengimbau kepada masyarakat untuk kerja di rumah, belajar dari rumah, dan ibadah di rumah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa ormas Islam juga menghimbau supaya masyarakat Indonesia melaksanakan shalat berjamaah di rumah, termasuk shalat Jum’at digantikan dengan shalat Zuhur (lihat Fatwa Nomor 14 Tahun 2020).
Faktanya di lapangan imbauan tersebut masih diabaikan oleh beberapa kelompok keagamaan, bahkan ada yang menunjukkan sikap ngeyel (menyet-nyet). Sikap seperti itu menurut Yanwar Pribadi disebabkan oleh konservatisme keagamaan, sehingga lahir sikap kengeyelan dalam menghadapi wabah tersebut (lihat Alif. Id).
Sementara itu, Moch Nur Ichwan berpendapat hal tersebut terjadi dikarenakan ijtihad oleh ulama, kyai, tokoh agama serta takmir masjid di akar rumput yang masih dilema untuk mengambil sikap (artikula.id).
Salafi sebagai salah satu kelompok yang aktif menyuarakan isu-isu terkait agama, sosial dan politik di Indonesia sudah barang tentu ikut merespons tentang pandemi covid-19. Pertayaan yang kemudian muncul adalah bagaimana sikap mereka dalam merespons pandemi covid-19 yang tengah melanda Indonesia saat ini?
Menanggapi pandemi covid-19, gerakan Salafi di Indonesia justru menganjurkan imbauan pemerintah dalam hal kebaikan. Hal ini terlihat berdasarkan pantauan penulis di beberapa media mereka seperti youtube, instagram, telegram dan lainnya. Seorang tokoh Salafi di Indonesia menyampaikan bahwa menjaga kebersamaan dengan pemerintah dalam hal-hal yang baik adalah rahmat. Dia juga menyampaikan bahwa apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi adalah sikap kebijaksanaan yang sesuai dengan syariat Islam. Selain itu, dia juga ikut andil mengakomodasikan anjuran pemerintah di beberapa media sosial miliknya, seperti #dirumahsaja, gunakan masker saat sakit, stop panic buying, tidak menyebarkan hoax dan peduli terhadap sesama.
Gerakan Salafi di Indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19 terlihat patuh akan imbauan pemerintah. Imbauan tersebut banyak mereka sebarkan melalui media, seperti yang terlihat di beberapa gambar berikut:
Gambar di atas menunjukkan bahwa gerakan Salafi di Indonesia lebih rasional dalam menghadapi pandemi covid-19 dibandingkan beberapa kelompok keagamaan lain yang masih menunjukkan sikap konservatif. Mereka juga terlihat ikut berpartisipasi dengan meneruskan imbauan pemerintah dalam menghadapi wabah yang sedang melanda Indonesia. Ihwal ini membuktikan apa yang disampaikan oleh Sunarwoto bahwa Salafi di Indonesia sudah berubah (Media Indonesia).
Kesempatan Ekonomi
Sejak virus corona ditetapkan sebagai pandemi global, tradisi lokal baik yang bersifat ritual atau obat-obatan tradisional mulai muncul kembali ke permukaan. Jika kita aktif di media sosial, tentunya pasti mengetahui beberapa ritual tolak bala yang dilakukan di beberapa daerah seperti mengumpulkan orang untuk berdoa mengelilingi desa atau kampung sambil membawa api obor, dan juga ada yang memakai daun inai (oen gaca) di tiga jari tangan sebelah kiri. Tidak hanya ritual, obat-obatan tradisional seperti minuman empon-empon juga mulai dikonsumsi kembali oleh masyarakat Indonesia.
Gerakan Salafi di Indonesia juga merespons covid-19 dengan cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu berdoa dan mengkonsumsi obat-obatan. Bahkan uniknya, ada tokoh Salafi yang memanfaatkan pandemi covid-19 untuk memasarkan produk obat-obatan yang diklaim sesuai dengan sunnah Rasul dan sebagai solusi untuk menangkal virus corona. Misalkan seperti yang dilakukan oleh Ustaz Khalid Basalamah, selain aktif memberikan ceramah tentang kiat-kiat menghadapi pandemi covid-19 dan mengimbau agar mengikuti anjuran pemerintah, dia juga aktif memasarkan produk-produk makanan dan obat-obatan di media sosial. Seperti pada gambar di bawah ini:
Produk-produk ini dipromosikan oleh Khalid Basalamah ketika dia melakukan pengajian di instagram miliknya. Dalam memberikan ceramah terkait pandemi covid-19, dia selalu merujuk kepada obat-obatan berdasarkan sunnah yang telah dianjurkan oleh Rasulullah. Setelah itu, dia akan menyampaikan kasiat buah-buahan seperti habbatussauda (jintan hitam), kurma, zaitun, tin, dan labu. Semua buah-buahan tersebut menurutnya bisa dicampurkan dengan madu, di sinilah proses pemasaran produk madu dan lainnya dimulai. Ada pun produk-produk tersebut bisa didapatkan atau dipesan di akun instragram miliknya yaitu @ajwadresto.
Ikwal di atas menunjukkan bahwa gerakan Salafi di Indonesia lebih terbuka dan kreatif dalam meresepons pandemi covid-19 dibandingkan beberapa kelompok keagamaan lainnya yang masih menunjukkan sikap konservatif.
Hal ini juga membuktikan bahwa sebagian orang Salafi di Indonesia sekarang lebih berseni dalam beragama, dibandingkan mereka-mereka yang terlihat saleh padahal seperti mumi yang menunggu datangnya sang penolong.
No comments:
Post a Comment