Oleh: Adhia Rizki Ananda
Alhamdulillah selama sosial distancing saya berhasil menamatkan satu buku yang ditulis Teungku Hasbi Ash-Shiddiqiey. Bagi saya Hasbi adalah guru pertama dalam fiqh walau tak pernah bertemu dan belajar langsung. Praktik ibadah di rumah kami adalah berdasarkan fiqih yang diajarkan Hasbi Ash- Shiddiqiey sehingga orang-orang menganggap keluarga kami sebagai keluarga Muhammadiyah. Padahal sebenarnya kami mengikuti Hasbi.
Hal ini turun dari kakek saya yang berasal dari Cunda kepada ayah dan ke anak-anaknya. Kalau kata ayah mungkin kakek pernah “bersentuhan” dengan Hasbi tapi tidak langsung walaupun Cunda dan Lhokseumawe dekat. Kemungkinan lain dari gurunya lagi yaitu guru Gambang yang sekarang jadi nama sebuah gang di Cunda.
Dari sejak di madrasah aliyah di sebuah dayah modern di Pidie sebelum saya belajar di Ma’had binaan Persatuan Islam dan al-Irsyad, saya sudah gandrung dengan tulisan Hasbi dari pedoman shalat, pedoman puasa, tuntunan zikir dan doa dan koleksi hadits-hadits hukum yang sembilan jilid saya punya dan sudah tandas dibaca. Setelah keluar dari ma’had perburuan buku Hasbi juga belum berhenti. Saya menikmatinya.
Tidak seperti Buya Hamka, tidak banyak buku biografi tentang Hasbi Ash-Shiddiqiey. Mungkin hanya satu ini yang ditulis anaknya sendiri Prof. Dr. Nouruzzaman Shiddiqy, MA. Namun begitu, dengan segala hormat saya tidak setuju dengan judul buku ini.
Selama membaca buku ini, saya tidak mendapati keterangan Hasbi menggagas fiqh lokal. Dari keseluruhan pendapatnya kita tidak akan temukan sesuatu pendapat yang diistimbatkan dari kebudayaan, psikologis dan karakter masyarakat. Semua akan ditemukan dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah. Hasbi tidak sama dengan Joesoef Sjoeef yang memang terpengaruh Muk’tazilah yang pendapat fiqhnya diistimbatkan dengan budaya, psikologis dan akal yang akhirnya lahir fiqh lokal, contohnya aurat wanita Indonesia tidak mesti sama dengan aurat wanita Arab.
Tapi, Hasbi tidak ada satu pun pendapatnya yang demikian. Ada satu contoh yang diambil oleh Prof. Nourouzzaman tentang fatwa Hasbi yang menentang fatwa Muhammadiyah, di mana Muhammadiyah mengharamkan jabat tangan laki-laki dan perempuan sementara Hasbi membolehkannya. Namun pendapat ini juga diambil Hasbi berdasarkan dalil ketika Rasul membaiat kaum ibu di mana Hasbi menganggap proses baiat itu dengan jabat tangan.
Saya tidak ingin membahas ini, tapi kuncinya istimbat yang dilakukan Hasbi terhadap hukum adalah dengan dalil Al-Quran dan Sunnah sehingga pastinya tidak akan melahirkan fiqh lokal.
Dengan demikian, judul yang paling pas dari buku ini seharusnya: “Teungku Hasbi Ash-Shiddieqiey Salafi Sejati.”
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Buku karangan Nouroezzaman Shiddiqiey.
No comments:
Post a Comment