Seperti diakuinya, sejak remaja Hamka sangat menyukai sejarah. Sejak remaja itu pula dia mempelajari sejarah Islam dengan sangat tekun. Dalam lingkup sejarah Islam yang luas itu, Hamka mengaku kagum pada sejarah kejayaan Islam di Andalusia (Spanyol) yang pernah bertahan hampir delapan ratus tahun.
Hamka telah membaca banyak buku tentang Andalusia, di antaranya tulisan Amir Syakib Arsalan dan Mohammad Labib Al-Batuni. Hamka menyebut bahwa pada masa kejayaan Islam di Andalusia telah lahir banyak ilmuan dan tokoh-tokoh agama semisal Ibn Rusyd, Ibn Hazm dan Ibn ‘Araby. Di Andalusia saat itu, kata Hamka juga terdapat beberapa kota terkenal, di antaranya Valencia, Granada, Malaga, Sevilla dan Barcelona.
Pada suatu ketika, Asrul Sani yang pernah berkunjung ke Andalusia (Spanyol) berkata kepada Hamka:
“Kalau sdr. Hamka ingin hendak mengetahui bekas kedjajaan, kebesaran dan keagungan kebudajaan Islam, satu waktu saudara harus melawat ke Spanjol.”
Mendengar kata-kata Asrul Sani, keinginan Hamka untuk berkunjung ke Spanyol semakin kuat. Memang, seperti diakui Hamka, kerinduannya kepada Spanyol sudah dirasakannya sejak ia masih kecil.
Tanpa diduga-duga dengan takdir Tuhan, keinginan Hamka untuk melawat ke Spanyol pun terpenuhi. Saat itu Pemerintah Aljazair mengundang Hamka untuk melawat ke sana. Menerima undangan itu, Hamka tidak menyia-nyiakan. Dia berpikir bahwa kesempatan ini harus dimanfaatkan, sebab jarak Aljazair dan Spanyol sudah tidak jauh lagi. Hamka khawatir jika undangan Aljazair ini ditolak, maka belum tentu ia bisa berkunjung ke Spanyol. Akhirnya berangkatlah Hamka ke Aljazair.
Setelah menyelesaikan kunjungannya di Aljazair, Hamka melanjutkan perjalanan ke Maroko. Kemudian dari bandara Casablanca, Hamka terbang ke Malaga dan sampailah Hamka ke Spanyol, tanah yang dari dulu ia rindukan.
Di Malaga, Hamka menginap di sebuah hotel yang dekat dengan tepian laut sehingga Hamka bisa menyaksikan dermaga dan kapal-kapal yang berlabuh.
Dalam tulisannya di Majalah Panji Masjarakat edisi Juni 1969, Hamka menceritakan bahwa kondisi kota Malaga masih menyisakan “serpihan-serpihan” bangunan kejayaan Islam di masa lalu. Menurut Hamka, masyarakat Malaga ingin tetap menjaga aroma Arabiya sisa-sisa kejayaan kerajaan Islam di masa lalu.
Di Spanyol, Hamka mengunjungi beberapa kota penting di provinsi yang sampai saat itu masih menggunakan nama Andalusia, seperti: Sevilla, Cordoba, Granada dan Murcia.
Di Cordoba, Hamka menyaksikan sisa-sisa peninggalan Islam seperti keindahan masjid peninggalan Daulah Islam Andalusia. Kekaguman Hamka memuncak ketika memandang keindahan masjid yang menurut Hamka tidak ada tandingannya.
Masjid itu memiliki 1400 tiang yang dibuat dari batu pualam. Melihat bangunan masjid tersebut, Hamka sedikit sedih, sebab sudah lima ratus tahun tidak ada suara azan dan berganti suara lonceng gereja.
Dalam masjid agung itu, Hamka mendapati empat gereja. Yang terbesar dan berada di tengah adalah gereja Katholik dan di beberapa sudut terdapat gereja dari sekte lain.
Meskipun di dalam terdapat empat gereja, kata Hamka, dasar masjid tetap masih ada, lengkap dengan mihrab dan sisa-sisa tulisan huruf Kufi.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Hamka pun melaksanakan shalat tahiyatul masjid di depan mihrab. Menurut Hamka, penyair besar, Mohammad Iqbal juga pernah shalat di masjid tersebut. Tapi, dalam kunjungannya ke masjid tersebut, Hamka sedikit kecewa sebab ia lupa membawa camera sehingga ia tidak bisa memotret keindahan masjid.
Setelah selesai melihat-lihat Cordoba, Hamka meneruskan jalan-jalan ke Granada untuk menyaksikan langsung kemegahan Istana Alhamra. Istana tersebut terletak di atas bukit. Di sana, kata Hamka, terdapat puncak seni Arab Islam sisa masa lalu.
Memandang Alhamra, Hamka terbayang bagaimana kemegahan dan kejayaan Islam di Spanyol yang sempat bertahan selama tujuh abad lamanya, tapi dalam gerak sejarah semuanya telah berubah. Masjid-masjid megah telah berganti wujud menjadi gereja. Menara-menara tempat mengalunnya suara azan telah berganti lonceng gereja, tulis Hamka.
Selesai di Alhamra, dari Sevilla, Hamka berangkat ke Madrid. Di Madrid, tulis Hamka, terdapat perpustakaan kerajaan yang cukup terkenal. Di perpustakaan tersebut terdapat ribuan kitab-kitab dan manuskrip berbahasa Arab yang merupakan sisa-sisa kesusasteraan Arab yang selamat dari pembakaran di masa lalu.
Hamka, menurut pengakuannya, hanya melihat sepintas peninggalan sejarah itu dan tidak berlama-lama. Sebab, kalau berlama-lama nanti dia akan “terjebak” untuk membacanya dan tidak ingin pulang lagi.
Dalam kunjungannya ke Spanyol saat itu, Hamka terus membayangkan tokoh-tokoh besar di masa kejayaan Islam. Dia ingin sekali berziarah ke kuburan mereka. Tapi, dia hanya mampu berkhayal sendiri, sebab menurutnya, orang-orang yang dijumpainya di Spanyol tidak akan tahu nama-nama besar yang ia maksud.
Foto: Majalah Pandji Masjarakat, 1969/ Koleksi Khairil Miswar.
No comments:
Post a Comment