(Bagian Kedua)
Oleh: Muhammad Syarif, SHI.M.H*
Dalam pemikiran tentang pemerintahan, negara Yunani yang diutarakan oleh Socrates, Plato dan Aristoteles di mana mereka mengatakan bentuk pemerintahan yang bersifat campuran (mixed goverment) yaitu antara monarki, aristrokrasi dan demokrasi. Asas monarki terwujud dalam diri raja, asas aristokrasi diwujudkan oleh dewan penasehat raja (gerousia) dan asas demokrasi oleh lembaga permusyawaratan apella atau ekklesia, artinya mereka yang dipanggil. Setiap anggota ekklesia berhak untuk didengar, serta ikut dalam pemungutan suara.
Di masa Kerajaan Romawi, pendiri negara kota Roma, Romulus memilih seratus orang dari para kepala keluarga untuk menjadi dewan penasehat yang dinamakan Senes yang kemudian dinamakan Senat. Di samping Senes, masih ada dewan penasehat lain yang dinamakan comitia yang terdiri dari tiga jenis comitea yaitu comitea curiata (dewan rakyat), comitia centuriata (dewan centuria/utusan dari kelompok militer) dan comitia tributa (dewan suku).
Pada masa pemerintahan Islam, pasca meningalnya Nabi Muhammad SAW, sejak masa Khalifah Umar bin Khatab dikenal dengan Asy Asyura atau Ahl Halli Wal Aqdi yaitu musyawarah beberapa sahabat senior untuk menentukan kebijakan negara guna mengangkat khalifah, walau dalam bentuk yang belum terlembagakan secara tersendiri. Sebelum masa Islam, Kota di Makkah telah dikenal dengan sebutan Darun Nadwah yaitu perwakilan tokoh-tokoh masyarakat di Kota Mekkah untuk merumuskan masalah negara dan kemasyarakatan.
Pembentukan Asy Asyura atau Ahl Halli Wal Aqdi yang pertama dalam sejarah Islam yaitu pada masa pemerintahan Bani Umayyah II di Spanyol yaitu pada masa Khalifah al Ahkam II (961-976 M), pada masa itu anggota Ahl Halli Wal Aqdi terdiri dari dari pembesar-pembesar negara dan sebagian lagi pemuka masyarakat dan yang bertindak sebagai ketua langsung Khalifah. Kedudukan anggota lembaga ini setingkat dengan pemerintah. Lembaga ini melakukan musyawarah dalam masalah-masalah hukum dan membantu khalifah menjalankan pemerintah negara.
Pada masa Kerajan Anglo Saxon yang paling terkenal adalah Raja Kent dan Wessex, di mana mengumumkan undang-undang dengan persetujuan witans (permusyawaratan orang-orang besar, orang awam, kaum rohaniawan dan golongan-golongan). Dari lembaga witans ini kemudian berubah menjadi curiae Regis (badan/dewan), Consilia dan kemudian menjadi magna concilia (badan permusyawaratan).
Di Ingris badan itu diberi nama Magnum Concilium yang merupakan lembaga feodal yang terdiri dari kaum ningrat dan rohaniawan, biasanya badan ini melegalkan permintaan raja terhadap kebijakan negara. Pada tanggal 15 Juni 1215, hal mana Raja Inggris (Jhon) oleh para bangsawan dan rohaniawan dipaksa menandatangani Magna Charta of 1215 yang untuk pertama kali membatasi kekuasaan raja, seperti dalam hal pemungutan pajak. Magna Charta ini menjadi tonggak pengembangan parlemen Inggris hingga kini. Kemudian keluar Bill of Right pada Tahun 1689 yang menutup kemungkinan peniadaan atau pengurangan kekuasaan parlemen oleh raja.
Pada abad ke-14 para angota parlemen Inggris memisahkan diri ke dalam dua kelompok yaitu kelompok rohaniawan dan ninggrat dan para wakil kota dari pedesaan di pihak lain. Terbagilah parlemen Inggris dalam dua kamar yaitu The House Of Lords (Majelis Tinggi) dan The House Of Commons (Majelis Rendah). Kamar pertama diisi oleh para raja dan keturunannya, kaum ninggrat, kaum gereja, yang diangkat seumur hidup dan dapat diwariskan pada anak laki-laki keturunan ningrat/raja. Kamar kedua keanggotannya diisi lewat jalur pemilihan umum (pemilu). Pemisahan kamar ini berimplikasi pada kebijakan politik dalam pengambilan keputusan. Kamar yang pertama menjaga kecorobohan atau keradikalan kamar yang kedua.
Di Amerika Serikat Lembaga Perwakilan mendasarkan penggorganisasiannya pada teori yang dikembangkan John Locke dan Montesquieu. Kelembagaannya pun menganut dua kamar akan tetapi polanya ada yang lewat jalur pemilihan langsung ada yang tidak langsung dan ada yang diangkat secara ex officio. The House Of Loards diwujudkan oleh orang-orang yang menjadi anggota karena gelarnya atau karena posisi atau kedudukannya dalam gereja yang diakui.
Pamor lembaga perwakilan pada abad ke-20 semakin bagus, akan tetapi kemudian pamornya terus menurun. Pada Abad menengah muncul gagasan baru yang dikembangkan St. Thomas Aquinas terkait “sumber kekuasaan raja.” Ada pendapat yang mengatakan sumber kekuasaan Raja berasal dari Tuhan, karenanya apa pun yang dilakukan raja mutlak kebenarannya, akan tetapi ada juga yang berbendapat sumber kekuasaan raja adalah rakyat. Di dunia ini kekuasaan Tuhan diwakili oleh Sri Paus, oleh karennya raja harus mendapat restu dari Sri Paus.
Perkembangan yang terjadi di Inggris berlangsung secara gradual, selanjutnya adalah kegiatan parlemen melakukan berbagai agenda kenegaraan yang kemudian diyakini sebagai embrio sistem pemerintahan perwakilan kendati pun masih bersifat embrional.
Pertama: kaum commeners menghadiri sidang parlemen datang sebagai perantara atau delegasi daerahnya dan mereka bersuara atas nama yang diwakilinya (constituents). Di mana sejak tahun 1294 surat panggilan untuk bersidang memuat persyaratan bahwa mereka harus memperoleh kuasa penuh dan hukum untuk melakukan dan menyetujui hal-hal yang diselesaikan secara musyawarah bersama raja. Inilah yang menjadi dasar munculnya teori mandat.
Kedua; mereka mengajukan kepada raja dan para penasehatnya menyampaikan hasratnya berupa “uneg-uneg”.
Ketiga; mereka punya kemampuan, walau awalnya sungkan akan tetapi kemudian mereka berani melakukan negosiasi dengan raja terhadap kebijakan strategis kenegaraan.
Keempat; keberadaan parlemen mendukung kebijakan raja serta melakukan komunikasi dua arah dengan menyampaikan pesan-pesan rakyat pada raja.
Lantas apakah keberadan parlemen di Indonesia merupakan duplikasi dari eksistensi Parlemen Inggris masa lalu, atau sedikit modifikasi sesuai semangat ideologi Pancasila? Wallahu `alam binshawab.
*Penulis adalah Dosen Legal Drafting Prodi Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry.
No comments:
Post a Comment