Di tengah wabah Corona, RSUD Dr Moewardi makin sering disebut-sebut oleh masyarakat di kota Solo, maupun muncul di pemberitaan. Tetapi, tak banyak yang tahu tentang siap sosok Dr Moewardi.
Bahkan, warga Solo pun belum tentu belum tahu siapa sosok pria yang namanya abadi jadi nama rumah sakit terbesar di kota Solo itu.
Sosok Moewardi, lahir di desa Randukuning, Kota Pati, Jawa Tengah, bertepatan pada tanggal 30 Januari 1907. Dilahirkan dari keluarga pasangan uan dan nyonya Sastrowardojo dengan 13 bersaudara. Moewardi sendiri merupakan anak lelaki nomor 7.
Di antara 13 saudaranya, ada tiga yang meninggal di kala kecil yaitu (Soenardi, Tarnadi, dan Soedewi). Dari kedua orang tuanya, Moewardi mendapat pendidikan dan dibiasakan bekerja keras.
Orang tua berharap Moewardi dan segenap saudaranya dapat menjadi manusia bermanfaat di masa depan. Pendidikan pembiasaan Moewardi dilakukan dalam aneka ragam kegiatan rumah tangga seperti menyapu lantai hingga mencari kayu bakar.
Dari sinilah Moewardi punya jiwa disiplin. Keuletan dari Moewardi dan pendidikan disiplin dari kedua orang tuanya berbuah manis hingga masuk jenjang bangku sekolah.
Terbukti dimulai sejak sekolah dasar Bumiputera di Desa Jakenan hingga pindah ke HIS Kudus, lalu ELS (Europesche Large School) Pati.
Tidak banyak anak seumurannya kalau itu, untuk menempuh pendidikan hingga jenjang tinggi, dikarenakan di setiap jenjang pendidikan harus melewati ujian bahasa Belanda, yang mana setiap anak belum tentu bisa menempuhnya.
Di ujung pendidikannya, Moewardi mampu melanjutkan belajar hingga STOVIA, sebuah sekolah kedokteran yang kini berubah menjadi Universitas Indonesia.
Dalam proses memasuki STOVIA, sebagai anak pribumi perlu ada surat rekomendasi agar memudahkan Moewardi dalam proses pendaftaran.
Ayahnya, Sastrowardojo meminta dokter Umar dari Cilacap (salah satu paman dari Moewardi) agar memberikan rekomendasi masuk ke STOVIA.
Berbeda dari kawan sebayanya yang kebanyakan masuk ke STOVIA, Moewardi mampu meraih beasiswa karena prestasinya yang telah dibangun sejak sekolah dasar. Masa belajar Moerwadi yang beraneka ragam juga didukung dengan latar belakang orangtuanya yang merupakan mantri guru, jabatan bergengsi di kala itu.
Aktivitas Moewardi yang beraneka ragam membuatnya harus menempuh masa studi sekitar 12 tahun. Dan baru bisa mendapat ijazah dokternya.
Banteng Witjcaksono, anak Moewardi, mengatakan bahwa sang ayah sudah memulai aktivitas sosialnya sejak mahasiswa. Moewardi sudah mulai dikenal oleh berbagai kalangan masyarakat meskipun gelar dokter belum disandang olehnya.
Maka tak heran Moewardi kecil sering dijuluki dengan anak guru dari Jakenan karena besarnya wibawa dari nama kedua orangtuanya. Moewardi kecil dengan segala keberuntungan yang diterima dalam bidang pendidikan, tidak membuatnya sombong di hadapan kawan-kawannya.
Bahkan meskipun ia menyandang status ningrat, hal ini terlihat dari aktivitasnya. Moewardi aktif di bidang kepanduan yang telah dirintis sejak di jenjang kelas 5 ELS di kota Pati.
Di kelas 5 tersebut, dirinya memulai sebagai anggota kepanduan SPOORZOEKER (pencari jejak).
Di antara kisah kepanduan yang dialami oleh Moewardi ada hal penting yang harus dialaminya yaitu ketika saat akan diangkat sebagai Troep Leider, Moewardi memilih untuk menolak dan keluar.
Saat itu Moewardi masih menjadi anggota aktif dari Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) dan mencapai jenjang asisten Troep Leider, wakil pimpinan pasukan yang sangat jarang dicapai oleh anak-anak Bumiputera.
Meskipun di organisasi kepanduan Belanda dia gagal, namun karena kepanduannya di nasional atau Pemuda India Belanda terus berlanjut hingga mencapai tingkat ‘Jong Java Padvinderij’ yang kemudian berubah menjadi pandu kebangsaan (PK) dan berubah kembali menjadi kepanduan bangsa Indonesia (KBI).
Tidak hanya sekadar duduk menjadi anggota, pada ketiga organisasi tersebut Moewardi selalu dipercaya sebagai komisaris besar atau pun pemimpin tertinggi. Menurut wakil ketua Kwartir Nasional Bidang Kehumasan dan Informatika, Berthold D H Sinaulan, jabatan yang diemban Moewardi sudah setara dengan ketua Kwartir Nasional apabila dibandingkan pada saat ini.
Maka tidak heran kiprahnya sebagai anggota pandu membuatnya diajukan untuk menjadi Bapak Pandu Indonesia. Mendampingi Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjadi Bapak Pramuka Indonesia.
Moewardi, si anak mantri guru dari Jakenan, berhasil menamatkan pendidikan di STOVIA. Sekolah kedokteran yang kini menjadi Universitas Indonesia. Walaupun terlahir sebagai anak ningrat, disiplin, kedermawanan serta kesederhanaan tetap melekat pada sosoknya.
Hal ini terlihat ketika tanggal 2 Desember 1934, setahun pasca lulus dari stovia dirinya menggelar tasyakuran “kenduri modern”.
Tidak hanya sekadar berbagi makanan namun juga berbagi jasa dengan membuka praktik pengobatan gratis dari pukul 06.00 hingga 24.00.
Dilansir dari website Universitas Indonesia ui.ac.id, pendidikan kedokteran Moewardi tidak hanya berhenti pada stovia saja. Namun terus berlanjut hingga ke sekolah Geneeskuundige Hogeschool (GH) untuk mendapat gelar dokter atau Indische Arts.
Di GH tersebut, pada tahun 1939, Moewardi mengambil gelar dokter di spesialis THK (Tenggorokan, Hidung, Kerongkongan).
Kedermawanannya sebagai dokter terbukti dengan julukan yang melekat pada dirinya yaitu “Dokter Gembel”.
Ternyata bukan itu (seperti gembel) tapi karena kedekatannya dengan masyarakat akar rumput yang masih minim akses terhadap kesehatan.
Selain itu dia juga tidak mau menetapkan tarif dan juga tak memungut sepeser pun. Kiprahnya tidak berhenti di kedokteran dan kepanduan saja, ia juga aktif dalam usaha melawan penjajahan di Indonesia.
Ketika Jepang datang menggantikan Belanda untuk menjajah Indonesia, dia menjadi Syuurengotaico.
Ini adalah jabatan yang bertugas memimpin barisan pelopor kota istimewa Jakarta atau Jakarta Tokubetsu Shi.
Barisan pelopor sebenarnya bentukan Jepang, namun oleh para pemuda digunakan sebagai gerakan untuk memerdekakan Indonesia. Selama di barisan pelopor, Moewardi sempat menjadi buronan tentara Jepang karena perlawanan yang dilakukan.
Bersama para pemuda lainnya, Moewardipun tak ingin ketinggalan untuk berjuang dalam meraih kemerdekaan, bahkan dirinya rela melepas profesi dokter untuk fokus ke dalam perjuangan. Bersamanya ada Chudanco Latif Hendraningrat, salah seorang pemimpin PETA, yang ikut mengawal proses proklamasi dari penulisan naskah hingga menuju pembacaan.
Dalam satu kesempatan, Moewardi sempat berdebat dengan insinyur Soekarno. Dilansir dari Majalah Veteran, sempat terjadi perdebatan antara Moewardi dengan Soekarno dalam proses pembacaan teks proklamasi.
Moewardi meminta agar Soekarno segera membacakan teks proklamasi, meski saat itu Muhammad Hatta belum datang. Dia mengatakan, tanda tangan Hatta di teks itu sebenarnya sudah cukup untuk mewakili.
Tapi Soekarno ngotot menunggu Muhammad Hatta. Bahkan dengan nada keras si Bung Karno sempat membentak ke Moewardi.
“Kalau Mas Moewardi tidak mau menunggu silakan baca teks sendiri,” kata Bung Karno.
Setelah teks proklamasi dibacakan, Moewardi menjadi pria terpilih untuk memberi kata sambutan.
Karena kesibukan di dalam awal mendirikan Republik Indonesia, Moewardi sempat melepas status sementara sebagai dokter. Akhirnya, setelah pemindahan ibukota dari Yogyakarta ke Jakarta, peran Moewardi di pemerintahan berkurang hingga ia memilih menetap di Solo.
Di Solo Moewardi kembali menjalankan profesi kedokterannya yang sempat ditinggalkan. Praktik dengan segala macam pasien juga dilayani hingga tiba pada tanggal 13 September 1948.
Ketika itu Mayor Hendroprijoko mencegah Moewardi untuk membuka praktik mengingat kondisi negara sedang gawat.
Diceritakan dalam buku “PKI Bergerak” karya Harry A. Poeze, Moewardi yang masih menjabat sebagai pimpinan barisan banteng mengabarkan sebuah dokumen kepada Soekarno dan Hatta.
Isinya mengenai kemungkinan terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh pesindo yang berhaluan komunis. Alih-alih menurut perintah Mayor Hendroprijoko, Moewardi tetap menjalankan operasi sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
Ia berkata: “Saya pemimpin dan saya juga dokter yang terikat dengan sumpah dokter. Percayalah saya tidak akan dibunuh oleh bangsa sendiri, yang mau membunuh saya hanyalah Belanda. Pasien Saya harus segera dioperasi,” kata Moewardi.
Maka setelah menyampaikan pesan di hadapan anak buahnya, Moewardi tetap berangkat dengan menggunakan andong ke rumah sakit. Tak lama kemudian pada pukul 11.00 WIB terdengar keriuhan dan dari letusan senjata api. Moewardi diculik dan kantor polisi di dekat rumah sakit habis diserbu.
Harry A. Poeze, menggambarkan proses penculikan itu sebagai hal yang unik. Penyebabnya para penculik sempat membiarkan Moewardi untuk menyelesaikan proses operasi yang dilakukan terhadap pasiennya. Sebelum akhirnya hilang dibawa entah kemana.
Setelah itu terdengar kabar bahwa seluruh korban penculikan termasuk di antaranya dokter Moewardi habis dibunuh. Pencarian pun dilaksanakan dengan berbagai upaya.
Gubernur militer Solo-Madiun yang dijabat Kolonel Gatot Subroto juga ikut memberikan perhatian serius. Tapi hingga kini keberadaan Moewardi masih misterius. Moewardi hilang meninggalkan 7 orang anak. Dua anak dari Suprapti, istri pertama, yaitu Sri sejati dan Adi. Kemudian 5 anak lain dari istri keduanya, Susilowati, yaitu Ataswarin Kamarijah, Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjcaksono dan Happy Anandarin Wahyuningsih.
Salah seorang anak Moewardi, Banteng Witjcaksono, menceritakan mengenai kehilangan ayah yang membuat ibu mereka menjadi orangtua tunggal dan harus menghidupi seluruh anak mereka.
Dikisahkan dari cicit Moewardi, Lichte Christian Purbono, pencarian Moewardi terus dilakukan hingga puluhan tahun lamanya.
Karena tak tahu dimana keberadaannya, para keluarganya hanya bisa melakukan kegiatan tabur bunga di patung Moewardi yang berada di RSUD Dr Moewardi, Solo.
Kegiatan ini rutin dilakukan oleh keluarga hingga kini, meski tak ada satupun anak cucu Moewardi yang tinggal di Solo. Untuk mengenang sosoknya secara resmi Moewardi dinobatkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional melalui SK Presiden RI No. 190 tahun 1964.
Selain diberi gelar pahlawan, nama Moewardi juga disematkan sebagai nama rumah sakit yang diputuskan melalui surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah tanggal 24 Oktober 1988.
Pergantian nama pun dilakukan bertepatan pada hari pahlawan 10 November 1988 dari semula RSUD kelas B Provinsi Dati I menjadi RSUD Dr Moewardi Surakarta.
Sumber tulisan dan foto: Tribun Solo
Ilustrasi: RS Moewardi
No comments:
Post a Comment