Kemarin malam beredar sebuah video di beranda facebook. Video itu lumayan viral. Dalam video dimaksud terlihat beberapa anak kecil usia SD dan SMP tampak gugup dan lalu berlarian. Mereka dihardik dan dimarahi oleh seseorang yang tidak terlihat wujudnya, tapi melalui suaranya, kita bisa menebak, sosok penghardik adalah seorang laki-laki bertubuh lumayan kekar dengan suara cukup lantang.
Dalam video itu terlihat beberapa anak sedang memegang mixrofon dan Al-Quran. Lokasi kejadian sepertinya di menasah. Kuat dugaan anak-anak itu sedang bertadarus yang memang telah menjadi tradisi di bulan Ramadan.
“Kusipak saboh-saboh jeut keu ase” (kusepak satu persatu jadi anjing). Demikian bunyi salah satu kalimat hardikan alias gertakan yang diucapkan oleh sosok misterius sehingga anak-anak kecil itu pun “tegak ekor” dan langsung berlarian keluar dari menasah.
Mendengar kalimat demikian, kita jadi berpikir. Kenapa kalau disepak mesti menjadi anjing. Apakah tidak lebih bagus jika sebagian anak yang disepak itu ada yang menjadi sepeda motor, mobil, rumah mewah atau apalah ~ sehingga si penyepak pun akan kaya-raya dan lalu mampu membersihkan mulutnya di doorsmeer terdekat atau sekurang-kurangnya mampu membeli Rinso dan lalu berkumur-kumur.
Konon sosok misterius itu tersulut amarah karena anak-anak kecil itu mengaji sambil bermain tinju di menasah. Dari video memang terlihat sebagian anak kecil tersebut tidak memakai baju dan terkesan seperti berandalan. Mungkin kenakalan anak-anak inilah yang membuat setan memeluk sosok itu ~ dan lalu ia kerasukan sampai mulutnya komat-kamit menghardik dan memaki tanpa ampun.
Uniknya lagi kejadian itu seperti sengaja direkam dan lalu diviralkan. Namun sayangnya si pengunggah video tidak membuat narasi yang memadai sehingga tafsir liberal pun memenuhi kolom komentar. Sebagian netizen tampak mendukung aksi heroik sosok misterius itu, sementara sebagian lainnya balik menghujat si pelaku dan pengunggah video yang dinilai kurang pekerjaan ~ yang mungkin saja sedang berusaha menghindari kebosanan akibat terlalu lama stay at home selama pandemi.
Dari puluhan komentar yang tersaji di akun facebook pengunggah video ~ jika disederhanakan akan mengerucut pada dua poin besar. Pertama, aksi itu dianggap sebagai strategi paling ampuh untuk menertibkan anak-anak kurang ajar. Kedua, aksi itu lebay dan terlalu artistik sehingga tidak layak diterapkan kepada anak-anak yang mungkin ujung “lolonya” saja belum digunting.
Selain dua poin besar itu, saya juga menangkap tesis lain yang lumayan menggelitik ~ bahwa anak-anak sekarang sudah sangat kurang ajar dan berbeda dengan anak-anak masa lalu yang kononnya sopan dan religius. Lalu, tesis ini dijadikan alat justifikasi bahwa tindakan sosok misterius mencaci-maki dalam video itu adalah benar dan tepat, sebab sasarannya adalah anak-anak zaman sekarang yang sudah tidak beradab.
Sepintas; tesis, atau lebih tepatnya klaim semacam ini terlihat benar, tapi jika dianalisis beberapa pintas, klaim tersebut justru keliru karena telah menegasikan “peradaban anak-anak” yang memang dari dulu seperti itu. Dia tidak sadar bahwa kenakalan adalah aspek paling orisinal yang melekat pada anak-anak dari masa ke masa. Dan kenakalan serupa itu adalah kondisi alamiah yang dialami oleh hampir semua anak-anak di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali sosok misterius dalam video itu ~ yang bukan tidak mungkin ketika masih kecil juga mengidap kenakalan yang parah ~ buktinya dia begitu fasih mengucapkan makian sesyahdu itu. Memangnya dari mana ia mengadopsi kata-kata manis semisal “pukoma” kalau bukan karena carut-marutnya kehidupan di masa kecil yang ia alami?
Namun begitu, klaim bahwa anak sekarang sudah over kurang ajar jika dibanding dengan anak-anak masa lalu adalah kesimpulan yang bukan saja bernuansa fiktif tapi juga imajiner, tepatnya fiksi-imajiner yang utopis dan absurd.
Meskipun tanpa riset, namun hampir bisa dipastikan bahwa perbedaan kenakalan anak-anak masa kini dengan anak-anak masa lalu hanya terletak pada persoalan waktu, medium, aksesori dan gaya atau pola. Selebihnya adalah sama, di mana generasi anak-anak dari lintasan zaman akan bertemu pada satu titik yang disebut sebagai kenakalan alamiah.
Ambil contoh di video yang beredar baru-baru ini. Sebagian anak terlihat sedang mengaji dan sebagian lainnya terlibat dalam latihan karate. Kenapa mereka melakukan praktik berkelahi di menasah? Karena mereka semua adalah anak laki-laki yang memang punya karakteristik sedikit agresif. Kalau bukan berkelahi, ya main perang-perangan. Sekiranya mereka anak perempuan tentu akan melakukan latihan menari atau latihan memasak di tempurung kelapa.
Pertanyaanya, apakah kenakalan semacam ini baru ditemukan pada tahun 2020? Konyol dan ahistoris kalau ada yang menjawab iya, sebab kenakalan serupa ini sudah muncul dan berkembang sebelum Kompeni dan Kompetai masuk ke Hindia Belanda. Di Aceh, kenakalan jenis ini juga sudah menjadi bagian dari “peradaban anak-anak” sebelum Iskandar Muda dilantik menjadi sultan dengan kekuatan armada 500 kapal laut. Dengan kata lain, kegemaran anak laki-laki berkelahi dan perempuan menari adalah kenakalan paling tua di muka bumi ~ sebagai sebuah seni dari peradaban mereka yang bernama “permainan.” Memang ada anak tempo dulu yang tidak suka bermain?
Lantas kapan permainan yang notabene menjadi hiburan bagi anak-anak dianggap sebagai kenakalan? Jawabannya satu. Pada saat ketenangan dan kenyamanan orang dewasa terganggu dengan ulah mereka. Sebagai contoh anak yang berlarian di masjid sehingga mengganggu jamaah salat. Bagi anak, aktivitas lari-lari adalah permainan belaka, tapi karena aktivitas itu menganggu orang salat, maka pada saat itulah dia divonis sebagai nakal.
Pertanyaannya, apakah kenakalan ini disebabkan oleh modernisasi, sekularisasi, liberalisasi atau globalisasi? Bukan, Tuan-Tuan! Ini kenakalan alamiah. Tokoh-tokoh besar saat ini atau bahkan orang-orang terhormat ~ yang pernah melalui masa kecil, kecuali mereka yang lahir langsung umur 40 ~ pastinya pernah mengalami kenakalan semacam ini dengan berbagai variannya.
Lalu di mana pengaruh modernisasi, sekularisasi, liberalisasi, globalisasi dan si-si yang lain dalam kenakalan anak?
Pengaruh si-si yang demikian hanya pada pola, gaya dan media yang mereka gunakan, bukan pada naluri kenakalan, sebab naluri kenakalan memang dimiliki oleh setiap anak.
Anak-anak zaman dulu disebut nakal hanya karena mereka menyembunyikan sandal imam masjid dan kemudian bersembunyi di kamar mandi. Zaman setelahnya, bentuk kenakalan ini berubah; mereka sudah beralih dengan cara menulis kata bangai pada kaca belakang mobil Kijang Komando milik jamaah yang dipenuhi debu dan lalu tertawa hiks-hiks. Zaman setelahnya lagi, anak-anak sudah mulai membunyikan suara sirine dari Android di mixrofon menasah jam lima sore untuk buka puasa dan lalu sembunyi. Begitu seterusnya. Mereka melakukannya dengan penuh kegembiraan.
Artinya apa? Kenakalan anak-anak akan tetap ada di setiap zaman, hanya cara dan pola yang terus berevolusi sesuai perjalanan waktu, pergantian lingkungan, perubahan sosial politik dan kemajuan teknologi.
Karena itu berhentilah menghujat anak-anak nakal zaman sekarang sebagai kurang ajar dan tidak beradab. Dan jangan lagi sok bijak dan lalu membandingkan anak zaman dulu dengan anak zaman sekarang, sebab semua anak itu sama. Sama-sama pernah nakal.
Lagi pula kenakalan bukanlah kejahatan. Bisa jadi itu hanya hiburan. Sama seperti penerobos lampu merah, sudah pasti dia nakal, tapi belum tentu dia jahat.
Demikian juga dengan anak-anak yang main karate di menasah, bukanlah kejahatan yang harus dicaci-maki sampai mulut berbusa apalagi sampai mengungkit keberadaan maknya yang sudah mati, tapi perilaku itu hanya kenakalan kecil yang bisa diselesaikan dengan edukasi.
Mestinya kita bersyukur mereka sudah mau ke masjid atau menasah, walau pun sampai di sana mereka mengaji sambil bermain ~ yang kadang-kadang memang menyebalkan. Tapi, bukankah itu lebih baik daripada mereka mencuri ubi, mangga dan jambu milik orang seperti yang kita lakukan dulu di masa kecil?
Menghardik mereka dengan membabibuta hanya karena kesalahan kecil akan membuat mereka semakin bebal dan lalu mereka meninggalkan masjid atau menasah menuju hutan atau semak-semak. Di sana mereka tidak akan menganggu siapa-siapa lagi, tapi hanya sekadar bersantai sambil isap sabu.
Mau begitu? Kalau tidak, berhentilah menjadi orang tua tolol yang gemar menakuti anak-anak hanya agar kita disebut berani dan tegas dan lalu viral. Dengan redaksi yang lebih elegan, kalau tidak mampu mendidik, jangan sampai merusak.
Gitu, Bang!
No comments:
Post a Comment