(Suatu Perspektif Alternatif)
Oleh: Junaidi Surya
Bagaimana Anda mendefinisikan kesalehan dalam beragama? Satu pertanyaan yang cukup menarik bagi saya pribadi. Kenapa demikian? Karena lewat tulisan singkat ini, saya sedikit ingin “menggugat” pandangan mainstream yang telah begitu mengakar dalam benak umat tentang identitas dan potret kesalehan dalam beragama selama ini.
Stigma Populis
Bagi umat Islam, salehnya seseorang umumnya dinilai dari artifisial dan aktivitas fisik ritual, misal: seseorang yang sering sembahyang ke masjid, memakai gamis, berjenggot, membawa tasbih ke mana-mana, giat ke Makkah untuk ibadah haji dan umrah, suka ikut majelis zikir, aktif terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan, tak lupa ke mana-mana tak pernah lepas dari kopiah/peci. Itu potret saleh dalam ranah publik, sementara perilaku saleh dalam ruang privat sering dipahami bila sering salat sunat tahajud, puasa sunnah, dan ngaji Alquran.
Stigma dan rumus kesalehan dalam agama lain juga hampir semuanya sama, yaitu diukur dari ketundukan dan ketaatannya pada ajaran dan norma fundamental agama yang sifatnya ritual dan transenden. Saya mengistilahkannya “Kesalehan Langit”, suatu corak kesalehan yang lebih bertumpu pada pencapaian ekstase kenikmatan dan kedamaian beribadah pada Tuhan.
Lalu timbul pertanyaan, sesederhana itukah rumusan kesalehan? Sehingga pakem ini menjadi begitu populis dan magis dalam benak umat beragama. Mari kita telaah lebih komprehensif dan argumentatif dari perspektif historis perjuangan Nabi Muhammad, karena dalam tulisan ini saya menjadikan beliau sebagai role model kesalehan yang ideal, kalau boleh saya menyebutnya sebagai “Kesalehan yang Membumi”. Tipe kesalehan yang lebih humanis dari kesalehan langit.
Awal Kerasulan Nabi Muhammad dan Kampanye Kemanusiaan
Sebagai seorang Muslim, tentu kita tahu wahyu yang pertama Tuhan titahkan pada Nabi; lima ayat pertama dalam Surat Al-‘alaq. Bagi saya, pesan inti ayat ini adalah tentang ketauhidan dan peradaban, di mana peradaban itu dibangun dari budaya membaca (iqra’), menulis (qalam) dan aktivitas mengajar (állama) dalam kendali tauhid, karena ayat ini selalu mengaitkan ketiga aktivitas tersebut dengan Allah.
Ayat iqra’ ini sungguh fenomenal dan visioner! Pesan ilmiah rasionalnya; pada ilmulah semua aktivitas manusia itu mesti bertumpu, supaya hidupnya bernilai dan bermutu, tanpa ilmu semua gelap, hampa. Ilmu yang bagaimana dulu? Ilmu yang bertumpu pada tauhid. Dari sinilah fondasi awal Islam dibangun, yaitu ilmu dan tauhid, seperti kaidah masyhur “al-Ãlmu qabla kulli syain (Berilmu sebelum segala sesuatu) dan Awaluddin ma’rifatullah (awal mula beragama adalah mengenal Allah).
Saya sendiri lebih suka menamai ayat ini sebagai ayat pencerahan dan pembebasan, karena sosio kultur masyarakat Arab pada masa Nabi diutus sedang berada dalam titik terendah kemanusiaan, ditandai dengan banyaknya perbudakan, kezaliman, ketidakadilan, sistem yang menindas dipraktikkan nyata oleh kaum bangsawan arab Jahiliyah saat itu.
Pada kondisi ini, ayat-ayat mulia itu turun dan menjadi spirit awal bagi Nabi dalam kampanye heroiknya yang fenomenal dan monumental dalam sejarah peradaban umat manusia di dunia. Perjuangan yang kelak menjadikan umatnya mampu memimpin peradaban dunia selama lebih kurang 700 tahun ke depan, menguasai dua pertiga belahan dunia dengan beragam keunggulan, tantangan dan pengaruh-pengaruh positifnya.
Lalu apa aksi Nabi pada awal dakwahnya? Tak lain adalah kampanye tauhid yang berdimensi kemanusiaan. Pada masa periode Makkah, Nabi menanamkan kebesaran Allah dalam hati manusia, mengenalkan sifat-sifat agungNya, membongkar pola pikir irrasional kaum pagan Makkah tentang tuhan-tuhan semu yang mereka sembah sebelumnya.
Kampanye tauhid ini lalu diikuti aksi-aksi pembebasan manusia dari perbudakan, Bilal bin Rabbah kala itu dibebaskan Abu Bakar. Nabi juga melarang membunuh bayi wanita, kaum wanita diangkat derajatnya, golongan borjuis Makkah disadarkan untuk menyedekahkan sebagian hartanya bagi kaum miskin papa, para penimbun harta dikecam. Ayat-ayat yang turun di Makkah sebagaimana tafsir ulama lebih menekankan aspek ketuhanan (tauhid) dan kemanusiaan secara bersamaan.
Pada konteks inilah, Allah tampilkan NabiNya sebagai sosok penyeru dan pejuang keadilan, keadilan yang pada akhirnya membawa rahmat bagi manusia dan semesta, sesuai tujuan dan konsep awal Islam itu sendiri diturunkan. “Dan tidaklah kami mengurus kamu melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-anbiya : 107). Periode Makkah memberikan pesan bagi kita, bahwa sikap dan modal beragama yang paling awal dan menjadi ruh sejati Islam adalah tauhid dan keadilan.
Nilai moral lainnya yaitu, Islam yang Nabi serukan mestilah berpihak pada kemanusiaan, berjuang dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan, bukan Islam yang hanya menjadikan amalan ritual semata kepada Tuhannya sebagai satu-satunya tolok ukur puncak ketaatan dalam beragama.
Potret Kesalehan yang Sunyi
Kesalehan yang sunyi, begitulah sebutan saya untuk sikap beragama sebagian bahkan mayoritas umat dewasa ini. Saleh yang individualis, saleh yang hanya bertujuan menuntaskan amalan-amalan ritual semata lalu acuh tak acuh pada kondisi sekitarnya. Banyak yang rutin salat malam, ngajinya sering tapi diam apatis kepada tetangga dan kerabatnya yang lapar, berangkat umrah menjadi rutinitas, tapi mereka sering berpaling dari anak yatim sekeliling.
Bukan bermaksud menegasikan nilai-nilai kesalehan ritual yang memang menjadi kewajiban mutlak bagi personal setiap muslim; salat itu tiang agama, puasa Ramadhan itu rukun agama, naik haji adalah jihad, ngaji Quran menjadi cahaya di alam kubur adalah seruan-seruan keimanan yang memang Nabi perintahkan. Dan itu memang sudah seharusnya dilakoni seorang Muslim, sebagai bukti keberislamannya.
Akan tetapi, menurut hemat saya, membatasi dan mengukur kesalehan semata dari banyaknya melakukan ibadah ritual adalah suatu kekeliruan pemahaman dalam beragama, bila tidak diikuti dan diimbangi dengan keaktifan membela nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Bahkan pada satu keadaan, kondisi menyengaja alpa dan lupa terhadap kemelaratan kaum miskin papa, justru dilabeli sebagai Pendusta oleh agama. “Tahukah engkau pendusta agama itu? Merekalah yang mengacuhkan anak-anak yatim dan tidak menyeru memberi makan pada orang miskin” (QS. Al-ma’un : 1-3).
Satu ketika Nabi ditanya pendapatnya oleh sahabat tentang seorang nenek ahli ibadah yang rutin salat malam dan puasa sunnah namun mengurung seekor kucing sampai mati tanpa memberikan makan padanya, Nabi menjawab singkat ‘Si Nenek dalam neraka”. Pada redaksi matan hadis yang lain berbicara tentang nenek yang rajin beribadah tapi suka menyakiti tetangganya, neraka juga tempatnya untuk si nenek, jawab Sang Nabi.
Begitulah potret kesalehan yang bias dan asosial, mengurung diri dalam ketaatan ritual namun tidak mampu mentransfer nilai-nilai kebaikan pada sesama dan makhuk Allah yang lain, bukannya mendamaikan bagi sesama, malah bersikap arogan, sombong dan merusak bagi lingkungannya.
Sering kita lihat kaum agamawan juga mencontohkan hal-hal tidak etis dalam keseharian, mereka rutin ke masjid, pulang dari salat di masjid, tanpa malu menerobos lampu merah di persimpangan, tidak pakai helm tanpa merasa bersalah, bahkan terkadang dilakukan oleh ustadz sekali pun.
Lakonan ritual-ritual suci yang harusnya berefek suci dan positif terhadap kehidupan sosial sehari-hari justru tereduksi dari sikap beragam kita sendiri, penyebabnya seperti dalam uraian awal di atas, yaitu membatasi kesalehan sekadar pada rutinitas ibadah ritual dengan menganaktirikan kebaikan dan perhatian pada aspek sosial.
Sungguh kondisi ini kita sayangkan, padahal Nabi sendiri justru menekankan aspek-aspek kesalehan sosial lebih awal beliau kampanyekan dalam tahapan perjuangan dakwahnya. Bahkan perintah kewajiban salat lima waktu baru turun menjelang hijrahnya Nabi ke Madinah, zakat dan puasa malahan baru diwajibkan pada tahun kedua Nabi menetap di Madinah.
Kesalehan yang Membumi
Istilah ini semata-mata saya rumuskan sekadar untuk memperluas, memperkaya dan memperdalam makna kesalehan itu sendiri, setidaknya ada diskursus baru dalam mempersonifikasikan corak kesalehan secara lebih aktual, faktual, fundamental dan rasional.
Kesalehan yang membumi adalah suatu corak kesalehan yang tidak berjarak dengan kemanusiaan. Kampanye sedekah menjadi kebiasan sehari-harinya, membuang duri di jalanan menjadi kegemarannya, sosok yang taat aturan lalu lintas, sering bertukar kuah masakan makanan dengan tetangganya dan aktif terlibat kegiatan sosial.
Dalam konsep kesalehan yang membumi, kebermanfaatan kepada sesama dan alam sekitar menjadi tolok ukur dan puncak kebaikan dalam beragama. Hal ini sejalan dengan pesan Nabi Muhammad SAW : “Khairunnnasi anfaúhum linnaasi, artinya sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”. (HR. Ahmad, ath-Thabrani , ad-Daruqutni).
Spirit dan seruan kebermanfaatan ini bertebaran dalam al-Quran dan Sunnah Nabi, terekam jelas dalam perjalanan hidup Sang Nabi dan para Sahabatnya. Dalam al-Quran, ketakwaan selalu dikaitkan dengan sikap-sikap pro-keadilan dan kemanusiaan ; “Orang-orang yang menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang, mau pun sempit, yang mampu menahan amarah dan mampu memberikan maaf pada orang-orang” (QS. Ali imran : 134).
Bahkan, tebusan/kaffarah atas pelanggaran dan kelonggaran aturan-aturan syariat Agama (baca; rukhsah) hampir semuanya berbentuk sanksi bersifat sosial; membebaskan budak, memberikan makanan kepada orang miskin, membayar fidyah bagi yang tidak berpuasa Ramadhan karena uzur. Lihatlah, begitu humanis konsep beragama dalam Islam, yang tidak pernah menutupi diri dari kehidupan dan realita sosial sehari-hari.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi). “Orang yang bekerja agar bisa memberikan sebagian nafkah kepada janda dan orang miskin, sebagaimana orang yang berjihad di jalan Allah, atau seperti orang yang tahajud di malam hari dan berpuasa siang hari” (HR. Bukhari dan Muslim). “…dan kamu membuang gangguan dari jalan (duri) adalah Sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Spirit Islam itu mestilah aktual, faktual dan hadir nyata memberikan manfaat bagi kemanusiaan, begitu pesan hadits-hadits Nabi di atas.
Seandainya Nabi dalam beragama hanya sekadar untuk salat, puasa, berzikir duduk manis di rumahnya dan di depan Kakbah, sungguh tujuan agung Islam menjadi rahmat bagi semesta tak akan pernah terwujud. Faktanya tidak demikian, Beliau justru sangat aktif dalam membela kaum-kaum lemah di Makkah, mengampanyekan kesetaraan hidup antara pria dan wanita, melawan pembunuhan anak bayi wanita, melawan perbudakan dengan nyawa sebagai taruhannya.
Sungguh, andaikan Nabi tidak mengusik kemapanan sistem sosial pembesar Jahiliyah Makkah kala itu yang sangat menindas nilai-nilai kemanusiaan, maka keadilan tidak akan pernah tegak di bawah panji-panji Islam. Tapi, karena keadilan merupakan syarat utama dalam Islam untuk melahirkan rahmat bagi semesta, maka Nabi pun rela diancam, dikucilkan, dimarginalkan dan dicemoohkan oleh kaum kafir jahiliyah dalam sepanjang dakwah awalnya di Makkah.
Itulah potret kesalehan Nabi yang membumi; terbuka, gentle dan berani terlibat langsung dalam proses menegakkan keadilan dan melawan kedzaliman. Sehingga tidaklah layak membatasi kesalehan sekadar mengerjakan salat, ngaji dan amalan-amalan sunnah ritual lainnya namun diam tak bergerak menyelesaikan persoalan-persoalaan umat; kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial, kelaparan dan kebijakan-kebijakan penguasa yang menyengsarakan rakyat.
Untuk itulah perlu dilakukan pemahaman ulang yang menyeluruh atas konsep kesalehan (baca; dekonstuksi kesalehan) supaya umat dapat memahami kembali nilai-nilai kesalehan yang lebih orisinal, komprehensif, dan aktual sesuai kehendak Allah dan Nabi yaitu kesalehan yang membumi, yang larut taat beribadah pada Ilahi sembari memberikan manfaat bagi bumi.
10 Ramadhan 1441 H
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Bold News
No comments:
Post a Comment