Oleh: Bisma Yadhi Putra*
Padahal Ganjar orang Jawa, padahal namanya juga kejawa-jawaan, padahal ia pun kader PDIP. Tetapi Ganjar mendapat komplimen dari banyak orang Aceh karena memakai peci (Belanda: petje) motif Aceh.
Sekiranya pengenaan pakaian khas Aceh dilakukan Megawati saat ini, kemungkinan besar yang meluas adalah cemoohan. Ketika tempo hari Jokowi mengenakan pakaian adat Aceh saja banyak yang mengolok-olok, misalnya dengan kalimat “ngoup ulee Jokowi”. Meskipun ramai juga yang memujinya.
Tapi Ganjar bisa mendapat reaksi yang bersih sama sekali. Dia tidak kena politik penempelan citra Megawati sebagai orang yang telah berbuat jahat pada rakyat Aceh. Jokowi mengalami ini saat pilpres kemarin.
Orang-orang PDIP bisa jadi senang dengan apresiasi terhadap Ganjar tersebut. Para peneliti pun segera mengasumsikan ini fakta telah hilangnya sentimen Aceh pada Jawa. Banyak penelitian budaya menyebutkan orang Aceh merasa jijik mengenakan simbol-simbol Jawa. Tapi sekarang malah berharap orang Jawa (Ganjar) bisa menjadi gubernur mereka.
Kalau kita mau menelaah satu per satu apresiasi yang muncul, orang PDIP dan peneliti itu sebetulnya keliru. Apresiasi terhadap Ganjar tidaklah bercorak kultural, melainkan politis.
Apresiasi itu lebih mengarah pada upaya untuk membanding-bandingkan Ganjar dengan Nova Iriansyah, orang yang belakangan diserang dari kiri-kanan, atas-bawah, depan-belakang. Kita bisa mempelajari gambar-gambar kolase yang menampilkan foto keduanya. Penekanan argumentasinya adalah pada Nova yang tidak memakai simbol-simbol Aceh di badannya. Jadi, reaksi tersebut tiada hubungannya dengan pelelehan sentimen anti-Jawa dan anti-PDIP di Aceh.
Faktanya, orang-orang yang mendorong Nova agar mengenakan simbol Aceh dan Jawa (untuk mengapresiasi balik Ganjar dan kejawaannya) lupa pada kejadian dua tahun lalu.
Pada pembukaan PKA VII, Nova mengenakan Kerawang Gayo. Dalam sebentar saja, prasangka terhadapnya pun meluas. Dia dituduh hendak menonjolkan sukunya saja; dianggap hendak membajak Pekan Kebudayaan Aceh untuk kepentingan budaya Gayo.
Jadi sekali lagi, respons ke Ganjar itu bukan apresiasi budaya. Tetapi medium untuk mengekspresikan sikap anti-Nova.
*Bisma Yadhi Putra adalah esais dari Gampong Panggoi.
No comments:
Post a Comment