Oleh: Danil Akbar Taqwadin
Istilah “New Normal” tengah populer. Diksi ini digunakan sebagai konsep untuk menjalani kehidupan negara yang diterpa pandemik virus covid-19. Tampaknya ini jalan satu-satunya yang cukup realistis untuk menyelamatkan negara dan rakyatnya dari dampak pandemik.
Tapi, bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sosio-politik di Aceh, khususnya berkaitan dengan eksistensi gerakan sipil dan tantangannya di masa mendatang?
Seperti yg dituliskan Bisma Yadhi Putra di laman FB-nya (27/5/2020), sebenarnya tidak ada yang sesuatu ‘new’ dalam konteks “New Normal.” Toh, pada level yang lebih luas, negara dan masyarakat selalu bertransformasi dan menyesuaikan diri dengan tatanan sosial-ekonomi-politik global atau trend global yang baru, atau pun kondisi aktual yang dihadapi. Karena itu penyesuaian atau perubahan terhadap sesuatu yang baru ini melahirkan pra-kondisi dan kondisi yang baru pula. Tak perlu dicanangkan pun, ketika berhadapan dengan tuntutan perubahan, maka keadaan yang tadinya normal akan berproses (baik secara natural maupun melalui rekayasa sosial) menjadi suatu normal yang baru (new) dan kemudian dianggap lazim.
Contohnya, ketika gerakan LGBT memenangkan kampanye nan melelahkan dalam mendobrak batas-batas tradisional dan religiusitas akan seks, burung dan sangkarnya hingga ke panggung PBB, serta negara-negara adidaya. Hasilnya, banyak Negara “melazimkan” eksistensi kelompok “salah jalan” ini, meskipun pada penerapannya memiliki tingkatan yang berbeda-beda.
Begitu pula dengan “New Normal.” Bila diselisik lebih jauh, konsep ini sebenarnya sudah diterapkan ketika pandemik membuat panik seisi negeri. Kebetulan saja karena negara telah pasrah dan kalah, maka diksi baru yang mudah ditangkap, dikunyah dan dicerna perlu dikonstruksikan bagi masyarakat untuk tetap optimis. Toh, masyarakat kita paling senang berdebat dengan sesuatu yang ‘philosophical.’ Apalagi yang “di-floor-kan” adalah konsep yang punya sejuta celah untuk diperdebatkan, bukan teori, bukan pula model. Ampun kita!
Menariknya, dampak apa yang dapat ditimbulkan dari “new normal” akibat pandemik ini? Bagaimana pengejawantahan “new normal” yang akan semakin massif mempengaruhi “check & balance” antara Pemerintah dan masyarakat, misalnya eksistensi gerakan sipil dan pengaruhnya terhadap tuntutan yang bermuara pada perubahan sosial atau menolak suatu perubahan, baik akibat negara, entitas yang “dilindungi” Negara atau kondisi aktual tertentu?
Kehadiran gerakan sipil adalah sesuatu yang biasa di Indonesia atau pun di Aceh. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana sejarah pergerakan di Indonesia menanamkan pengaruhnya di buku-buku IPS dari tingkat MI sampai MA.
Di Aceh, catatan tentang gerakan sipil dapat ditemukan pada awal abad ke-21. Hadirnya pengaruh Sarekat Islam, Muhammadiyah, Perti, Al-Wasliyah, Nadhalatul Ulama dsb yang kemudian menginisiasi pendirian Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di tahun 1938.
Organisasi-organisasi ini merupakan wadah gerakan dengan visi menciptakan masyarakat Islam. Namun di belakang itu, ada visi politik terselubung untuk lepas dari jeratan kegelisahan penjajahan Belanda. Pasalnya, saat itu hanya identitas Islam yang dapat membuat masyarakat Nusantara bersatu di balik berbagai suku, bangsa dan bahasa. Karena itu saking samarnya, ada perdebatan dalam melihat gerakan ini, apakah sebagai gerakan sipil, gerakan sosial, bahkan ada pula yang menganggapnya sebagai gerakan politik. Ntah lah!
Warisan gerakan ini dilanjutkan kepada generasi selanjutnya pasca 1945. Sarekat Islam, Muhammadiyah, Al-Washliyah, Nadhalatul Ulama, Perti dan PUSA mengukuhkan diri sebagai wadah gerakan sosial (Social Movement Organization/SMO, silakan tengok Jurnal Resource Mobilization Theory karya McCarthy dan Zald, 1978). Bedanya, perjuangan meraih kemerdekaan berubah menjadi “mengisi kemerdekaan.” Sebagian, organisasi gerakan sosial ini kemudian berkelindan pula dengan ‘visi’ politik. Bahkan, sebagian pun terang-terangan melakukan aktifitas politik.
“Gerakan sipil” sebagai bagian dari masyarakat dan masyarakat sipil, lambat laun juga dikaitkan dengan kelompok muda, terutama golongan mahasiswa, pegiat sosial cum aktifis. Di Aceh, gerakan sipil sempat menghadirkan momentum kolosal pasca Soeharto. Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum (SU-MPR) Aceh November 1999 digagas oleh wadah organisasi gerakan bernama SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh). Sekitar 500.000 masyarakat Aceh hadir di pelataran Mesjid Raya Baiturrahman saat itu. Cukup gila menghadirkan orang Aceh di masa itu! Apalagi dengan intensitas kekerasan, kondisi politik dan penegakan hukum yang “Pukimak!” Sebuah kata mutiara yang dipopulerkan oleh Azhari Aiyub dalam mahakarya “Kura-Kura Berjanggut.”
Celakanya, sejak saat itu para aktifis ini dikejar, dilabeli dan dikriminalisasi oleh aparat keamanan negara, baik militer atau pun polisi. Praktis gerakan sipil hancur. Seperti kata Hendra Fadli, ex-koordinator KontraS Aceh, dalam “buku laporan” berjudul ‘Di Balik Kisah Gemerlap: Pergulatan Gerakan Sosial di Aceh sesudah Tsunami,’ “para aktivis saat itu hanya memiliki dua pilihan, pergi keluar Aceh atau naik ke ‘gunung’.” Baru ketika tsunami dan lahirnya MoU Helsinki, mereka kembali. Tapi kontur gerakan sipil yang seperti dahulu tak ada lagi. Tenggelam dalam ‘tsunami bantuan’ pasca tsunami sesungguhnya.
Spirit gerakan sipil yang pernah ada kemudian dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Meskipun belum mampu mengorganisir bentuk “repertoire” (taktik gerakan) yang begitu kolosal seperti SU-MPR. Tapi ruang baru untuk eksistensi gerakan sipil dalam konteks “contentious politics” cukup tersedia begitu luas. Berbagai bentuk gerakan sipil, dengan beragam visi, strategi, sumber daya, motor organisator, dsb hadir di masa pasca konflik. Contohnya, sebagai salah satu bentuk repertoire gerakan, boleh jadi tiap sebulan sekali selalu saja ada demonstrasi. Apakah itu di Banda Aceh, di ibukota Kab/Kota atau di pelosok negeri sekali pun yang tak jarang punya sengketa terkait lahan antara masyarakat dan korporasi.
Mengenai demonstrasi, mungkin ini salah satu repertoire sakti yang kerap digunakan gerakan sipil, terutama mahasiswa. Berkerumunnya massa dengan menyuarakan tuntutannya dianggap punya daya gedor lebih besar dan kaya sub-taktik alternatif dibandingkan repertoire lainnya. Apalagi yang targetnya menyasar Pemerintah.
Pasalnya, seringkali masukan, desakan dan tuntutan sipil terhadap Pemerintah – sebagai pengambil kebijakan dan penanggung jawab atas tatanan politik, ekonomi dan sosial – dianggap angin lalu, apabila hanya menggunakan langkah-langkah normal. Lagipula, Pemerintah selalu punya cara jitu dalam “securitizing” atau “de-securitizing” wacana yang diinginkannya atau tidak. Gerakan sipil akan dijebak dalam koridor “cakap tak serupa bikin” bila hanya mengandalkan repertoire yang santun, adem dan diplomatis semata.
Karena itu menurut salah seorang senior, “Demonstrasi menandakan ada hal yang tidak baik-baik saja di sekitar kita.” Tanpa repertoire ini, Pemerintah akan lebih nyaman menjalankan ‘misinya’ yang terkadang pula melindungi kepentingan sepihak dan mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Lagipula, penggunaan repertoire hanya melalui media sosial, media online, atau platform online lainnya tidak mampu memberikan daya kejut yang setara dengan demonstrasi. Meskipun dalam konteks advokasi, mekanisme non-litigasi seperti ini seringkali diiringi pula dengan proses litigasi, tapi ada juga yang tidak.
Karena itu di tataran permukaan, era “new normal” yang sesungguhnya bertujuan mencegah penyebaran covid-19, akan punya andil besar dalam membatasi gerakan sipil dalam mengekspresikan tuntutannya. Dan tanpa balance of power (antara pemerintah dan masyarakat) yang seimbang, akan melanggengkan satu pihak (pemerintah) bertindak ‘seenak udel’-nya mengamankan kepentingan realpolitik para elit dan pemodalnya. Tentu juga, memengaruhi kualitas demokrasi yang sebelumnya diusung dalam arus reformasi pasca Orba (Orde Baru). Atau jangan-jangan! Ntah lah!
Ilustrasi: howstuffworks
No comments:
Post a Comment