Mengaku terkejut dengan pernyataan Nova baru-baru ini yang terkesan amat sangat religius tentu tidak bijak, sebab memang telah menjadi tabiat manusia ~ termasuk kita, yang tiba-tiba saja akan “melirik” Tuhan ketika kita kehabisan daya.
Sama saja seperti nakhoda besar yang mengangungkan kemegahan kapal canggih, tapi tiba-tiba menangis di tengah lautan dan merengek-rengek agar Tuhan tidak menenggelamkan kapalnya ke dasar samudera. Padahal sebelumnya ia begitu gagah dan congkak dalam pelayaran, tapi ketika gelombang besar menghantam dan kecanggihan mati, dia pun mencoba beralih pada Tuhan yang ketika laut tenang justru tak pernah ia kenal.
Kita tidak pernah tahu, apakah Nova, gubernur kita, juga mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja menjadi sosok religius ketika perangkat pemerintahannya terlihat tak mampu berbuat banyak menyikapi bencana, baik bencana alam semisal banjir, maupun bencana non alam seperti wabah ~ yang saat ini menghantam Aceh ~ yang kedua bencana itu menurut Nova terjadi bertubi-tubi.
Dalam pernyataannya di sebuah media, Nova menilai ada dimensi lain di balik bertubi-tubinya bencana. Menurut Nova, bisa jadi bencana tersebut sebagai pengingat bahwa ada yang salah di masyarakat dalam membina hubungan sesama manusia dan dengan Tuhan. Tidak tanggung-tanggung Nova lalu menyodorkan fenomena media sosial sebagai salah satu contoh konkret.
Belum cukup dengan asumsi demikian, Nova juga meminta pihak MPU turun tangan memberikan pemahaman kepada masyarakat. Masih belum cukup, Nova juga mempertanyakan kenapa bencananya terjadi sekarang? Dengan kata lain, kenapa tidak nanti, setelah dia tidak lagi jadi gubernur, atau kenapa tidak dulu, sebelum ia menjadi gubernur.
Pertanyaan pertama tertulis jelas di surat kabar, sementara dua pertanyaan terakhir hanya akal-akalan saya sebagai bentuk penafsiran dari pertanyaan pertama yang notabene adalah pertanyaan konyol.
Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan macam itu, apalagi jika dibingkai dalam ruang religi, seperti dilakukan Nova baru-baru ini.
Dalam konteks teologi, kita tidak membantah bahwa ada dimensi religi dalam soal bencana. Tapi, sikap seorang pemimpin yang menutupi kegagalannya ketika ada masalah dengan kampanye religi tentu tidak bijak, karena Tuhan sendiri sudah memberi peluang dan kekuatan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk berusaha sekuat tenaga.
Sebagai pemimpin, mestinya Nova mencari tahu kenapa banjir bandang di Aceh Tengah bisa terjadi, misalnya. Atau kalau sudah tahu, segera melakukan upaya agar bencana serupa tidak terulang di masa depan. Jika bencana disebabkan oleh perusak hutan, misalnya, segera tindak pelakunya. Kira-kira begitu langkah yang mestinya dilakukan, bukan cuma menyinggung nama Tuhan tanpa melakukan upaya apa pun dan lalu menyalahkan rakyat.
Adalah konyol ketika bencana terjadi, seorang pemimpin cuma bisa mengkritik rakyat, seolah-olah pemimpin adalah korban dari bencana dan rakyat adalah pelaku. Sikap Nova yang meminta rakyat mengevaluasi diri sampai-sampai harus melibatkan MPU sebagai “penyuluh” tentunya sulit dimengerti.
Muncul pertanyaan, kenapa Nova meminta MPU agar memberikan pemahaman kepada masyarakat? Kenapa tidak sebaliknya, Nova meminta MPU menceramahi Plt Gubernur dan jajarannya yang mungkin selama ini telah lalai?
Secara prinsip boleh saja pemimpin mengingatkan rakyat, tapi segenap perangkat dan pejabat-pejabat gubernuran juga mesti diingatkan, siapa tahu letak “dimensi lain” yang dimaksud Nova itu berada di birokrasi, bukan di rakyat. Tapi, Nova dengan begitu percaya diri hanya mengarahkan pandangannya kepada rakyat, seolah rakyatlah sumber masalah. Dalam kondisi bersamaan, Nova seperti lupa kepada jajarannya sehingga mereka luput dari sasaran kritik sang Plt.
Akhirnya rakyat dan media sosial yang menjadi kambing hitam, meskipun Nova sendiri tidak sepakat dengan kambing hitam.
Selain itu, melalui kritiknya terhadap medsos, seolah Nova ingin menimbulkan kesan bahwa Tuhan marah kepada rakyat karena mereka mengritisi Nova di media sosial sehingga bencana pun terjadi. Atau dengan kata lain, Tuhan sedang membela Nova melalui bencana. Akar tafsir ini setidaknya tercermin dari pernyataan Nova yang menyebut media sosial sudah sangat terlalu.
Ini adalah tafsir religius yang dengan sendirinya akan memosisikan Nova sebagai pemimpin keramat yang tidak boleh dikritik, sebab kritik akan berbuah bencana. Buktinya banjir di mana-mana.
Ilustrasi: FB Nova Iriansyah
No comments:
Post a Comment