Oleh: Miswari
Mempelajari ilmu sejarah memang tidak dituntut untuk semua sarjana. Tetapi mereka yang mempelajari tokoh klasik, tentu sedikit banyak harus mempelajari ilmu sejarah. Demikian juga mereka yang mempelajari tasawuf atau filsafat misalnya, tentu ada beberapa aspek dari ilmu sejarah yang harus dikuasai untuk membuat penelitian mereka menjadi baik. Misalnya mempelajari Hamzah Fansuri harus menguasai beberapa aspek dari sejarah tasawuf, sejarah Aceh, dan sejarah pemikiran Islam.
Memasuki era empirisme, paradigma ilmu pengetahuan benar-benar berubah. Kriteria ilmiah ditetapkan hanya pada hal-hal yang dapat diuji secara empiris. Metode ini sangat berbahaya karena dapat mengeleminasi sejarah yang tidak memenuhi kriteria ilmiah dari panggung sains yang dibuat itu. Misalnya sejarah eksistensi Kesultanan Peureulak yang diakui banyak sarjana lokal sebagai kerajaan Islam pertama Nusantara. Kerajaan itu didirikan pada 840. Tetapi pengakuan itu tidak diterima oleh sarjana Barat karena eksistensi Peureulak tidak memiliki bukti empiris seperti batu nisan dan naskah hikayat sebagaimana dimiliki Samudra Pasai. Namun Peureulak memiliki sejarah latar belakang kelahiran yang jelas, silsilah para raja yang detail, dan memiliki cerita-cerita konflik dan detail lainnya. Sumber cerita itu adalah dari cerita turun-temurun yang diakui telah tertulis dalam sebuah hikayat berjudul ‘Idharul Haq fi Mamlak Farlak’. Namun sayangnya, eksistensi kitab tersebut tidak dapat ditemukan lagi. Sehingga, sejarah Kesultanan Peureulak tidak dapat diterima sarjana Barat.
Karena Peureulak tidak diakui sarjana Barat sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara, maka masyarakat ilmiah harus menerima bahwa kerajaan Islam tertua itu berada di Banda Aceh tepatnya di Gampong Pande karena di sana ditemukan nisan Islam tertua yaitu tertahun 1009.
Sayangnya, tidak diketahui cerita sejarah Islam di Gampong Pande karena tidak meninggalkan hikayat yang menarasikan Islam di sana. Islam di Banda Aceh hanya dimiliki cerita oleh Aceh Darussalam. Padahal kerajaan Islam itu hadir setelah keruntuhan Samudra Pasai yang lahir pada 1297.
Pengkajian sarjana Barat terhadap sejarah memang sangat ketat. Mereka menggunakan metodologi yang tertib dengan kriteria yang ketat. Sehingga kajian mereka sering membuat sarjana lokal jengkel.
Seperti yang dilakukan Lombard misalnya dalam meneliti sejarah Iskandar Muda. Dia hanya menggunakan referensi dari orientalis Barat. Kalau pun menggunakan karya sarjana lokal, itu pun hanya alumni Barat. Demikian juga kajian tasawuf Asia Tenggara oleh orientalis misalnya. Sangat banyak sarjana yang menulis tentang tema itu. Tetapi orientalis hanya menggunakan referensi dari orientalis sebelum dirinya. Kalau pun menggunakan referensi karya sarjana lokal, maka yang dikutip hanya karya sarjana lokal alumni Barat.
Keilmuan Barat tidak memiliki kepentingan kecuali akurasi keilmuan. Sementara masyarakat lokal punya kepentingan tertentu tentang sejarah kawasannya. Namun sayangnya, sebagian masyarakat tidak peduli dengan sejarah. Bila menemukan suatu fakta sejarah yang sebenarnya dapat menjadi indikator keabsahan oleh sarjana Barat, dapat saja mereka jual dengan harga murah di pasar gelap hingga melenyapkan kriteria eksistensi sejarah.
Dengan demikian, perlu disadari bahwa apa-apa yang tidak diterima ilmuwan Barat bukan berarti sejarahnya tidak ada. Bisa jadi ada. Tetapi mempertanggungjawabkannya menjadi kesulitan.
Polemik ini juga dihadapi oleh sejarah awal Islam. Dari sisi keilmuan yang dipegang Barat, banyak sejarah konvensional yang tidak memenuhi kriteriah ilmiah Barat. Sejarah Islam memang merupakan bagian dari agama. Sifatnya adalah doktrin, bukan verifikasi ilmiah. Ketika keyakinan-keyakinan itu dihadapkan ke atas meja ilmiah, maka sangat banyak yang tereleminasi. Namun yang perlu disayangkan adalah, meja ilmiah hari ini, dikuasai oleh positivis. Mereka tidak peduli bahwa sejarah ditulis oleh pemenang. Artinya, bahan-bahan yang lulus kriteria ilmiah yang mereka buat, ditentukan oleh mereka yang telah memenangkan kontestasi sejarah.
Sayangnya, biasanya pemenang itu adalah mereka yang bersedia melakukan apapun dan membayar berapa pun. Latar belakang sebenarnya lahirnya data yang dijadikan patokan ilmu sejarah tidak diketahui. Ilmu sejarah hanya bertugas menganalisis data-data itu, memaknainya, dan menuliskannya kembali. Apa yang ditulis itu menjadi pedoman sejarah di masa selanjutnya. Sementara apa yang sebelumnya diyakini sebagai sejarah akan hilang. Misalnya ketika hari ini masyarakat meyakini Peureulak sebagai kerajaan Islam pertama Nusantara, ketika dia gagal di pentas ilmiah, sementara yang berhasil di pentas ilmiah adalah Samudra Pasai, maka ke depan yang diyakini sebagai kerajaan islam pertama adalah Samudra Pasai.
Kembali lagi tentang sejarah ditulis oleh pemenang, maka data-data yang menjadikan Samudra Pasai sebagai sejarah yang valid, juga ditulis oleh pemenang. Dua data utama yang menjadi fondasi sejarah Samudra Pasai sebagai fakta ilmiah yakni peninggalah nisan Malik al-Salih serta beberapa nisan lainnya dan naskah ‘Hikayat Raja-Raja Pasai’. Hikayat ini ditemukan di Jawa bekas kerajaan Demak. Kerajaan ini didirikan oleh mantan petinggi Pasai. Hikayat itu ditulis oleh keturunan pemenang di Pasai.
Dalam hikayat disebutkan Malik al-Salih diislamkan oleh pendakwah dari Makkah. Hal ini mengesankan sebelumnya dia bukan Islam. Nama sebelum dilantik adalah Meurah Seulu. Seolah bukan Islam. Padahal Meurah Seulu itu bila ditarik garis keturunannya bersambung hingga raja Peureulak. Sehingga makna diislamkan itu tidak berarti literal. Misalnya ada yang mengatakan buyutnya ke Nusantara abad ke-19 untuk mengislamkan masyarakat Aceh. Maka tentu bila dimaknai literal, itu akan mustahil. Karena sebelum kakeknya ke sana, masyarakat Aceh sudah menganut agama Islam seribu tahun sebelumnya.
Hal ini pula yang menimpa sejarawan. Misalnya ketika ingin meneliti kapan dan di mana Islam masuk ke Nusantara, mereka perlu menemukan bukti empirisnya. Bukti empiris itu meniscayakan adanya simbol dalam bentuk tertentu untuk menandakan adanya Islam. Gerakan simbol biasanya terjadi karena menggemanya gerakan yang mengancam sehingga perlawanan yang dilakukan menggunakan simbol-simbol keagamaan. Di masa modern, ancaman Westernisasi dan Komunisme menyebabkan munculnya gerakan simbol. Biasanya perlawanan menggunakan simbol keagamaan terjadi karena tidak ada modal sosial lainnya yang masih bisa diandalkan. Hal ini pula yang terjadi kemudian di Aceh dalam perang melawan Belanda dengan munculnya perlawanan melalui simbol antaranya Hikayat Prang Sabi.
Gerakan simbol biasanya dilakukan oleh mereka yang kurang memahami Islam secara lebih mendalam. Gerakan simbol biasanya dilakukan oleh mereka yang mempelajari Islam secara instan. Mereka lebih mementingkan gerakan simbolis daripada terlaksananya pesan Islam secara esensial.
Para alumni Timur Tengah yang kembali ke Peureulak memang menguasai konsep-konsep agama secara mendalam. Tetapi sayangnya mereka gagal menemukan makna Islam secara esensial. Mereka gagal menemukan nilai universal yang mengintegrasikan Islam dan budaya lokal Peureulak, sehingga melahirkan perbedaan antara Islam dan budaya. Sementara para sultan Aziziyah mampu menemukan harmonisme budaya dan esensi Islam. Sehingga tidak melihat perbedaan antara nilai Islam dan kearifan lokal Peureulak. Padahal banyak alumni Timur Tengah adalah keturunan Meurah yang seharusnya bertugas mengawal kearifan lokal.
Dari segi nama-nama dan gelar-gelar, Aziziyah seolah adalah mereka yang terobsesi dengan Islamisme. Salah satu indikatornya adalah karena mereka tidak melanjutkan gelar-gelar kebangsawanan lokal saja sebagaimana terjadi di Jeumpa. Hal itu memang benar. Ketika Nahkoda Khalifah hadir, karena sangat diterima oleh Syahri Nuwi yang sangat terbuka dengan Nahkoda Khalifah, maka para Nahkoda Khalifah diberikan keluasan untuk melakukan Islamisasi. Nahkoda khalifah bukannya tidak memahami Islam secara esensial, tetapi mereka tidak memahami budaya secara esensial, sehingga cenderung membiarkan kebudayaan meski sama sekali tidak mengusiknya.
Ketika Abdul Aziz dilantik menjadi sultan, dia telah dibesarkan dengan agama dan budaya sekaligus. Hal ini berbeda dengan ayahnya Ali yang memang belum mengenal budaya dengan baik karena dia adalah perantau murni. Sebagaimana tradisi yang terjadi di Nusantara, seorang putra mahkota akan dibesarkan dengan kebudayaan lokalnya yang kental. Demikianlah kenapa Aziziyah mampu mengharmoniskan agama dengan budaya meskipun simbolisme Islam telah muncul.
Apa yang terjadi di Peureulak berbeda dengan Samudra Pasai. Di Pasai, gerakan simbolisme terjadi secara spontan dan masif. Meurah Seulu adalah anak muda yang dimanfaatkan oleh konglemerat koalisi Timur Tengah untuk dilantik sebagai sultan untuk mereda polemik yang terjadi seratus tahun sebelumnya. Sebenarnya wilayah sekitaran sungai Pasai itu dikuasai oleh Meurah yang tunduk kepada maharaja. Beberapa wilayah yang dikuasai meurah di Pasai dan sebagian negeri Samudra itu sebenarnya dikuasai oleh Meurahnya masing-masing. Tetapi mereka semua tunduk di bawah kekuasaan seorang maharaja yang disebut Maharaja Bakoy.
Maharaja Bakoy menerapkan sistem pemerintahan sekular yang sangat efektif sehingga masing-masing ranah memiliki otoritasnya masing-masing dan tidak saling mencampuri satu sama lain. Otoritas agama dipegang oleh Syaikh Abdul Jalil. Ketika fokus pada agama, maka spiritualitas masyarakat sangat tinggi hingga mencapai tingkatan spiritual tertinggi. Bahkan dikabarkan ketika akan diekspansi oleh Samudra-Pasai, masyarakat Bakoy menjadi ghaib ke tengah rimba Bukit Barisan.
Dalam kekuasaan politik, militer, dan perdagangan, Maharaja Bakoy berhasil membuat Pasai menjadi destinasi dagang yang sangat maju di Jalur Sutra Selat Malaka. Kejayaan inillah yang mebuat koalisi Timur Tengah merasa iri dan berhasrat memerangi Maharaja Bakoy. Koalisi Timur-Tengah memiliki kepentingan dagang yang sangat besar di Selat Malaka. Tetapi mereka merasa diberatkan oleh aturan-aturan Pasai. Bahkan mereka menuduh lanun-lanun Melayu yang ganas itu memiliki hubungan dengan Pasai. Lanun-lanun itu dianggap sengaja diciptakan oleh Maharaj Bakoy untuk membuat pelaut membutuhkan perlindungan dan persinggahan ke Pasai. Teori konspirasi memang telah muncul sejak lama.
Pertikaian di internal negeri Pasai hingga Linge terus dipelajari koalisi Pengusaha Timur-Tengah hingga akhirnya Meurah di Pasai dimanfaatkan untuk dilantik sebagai sultan. Perlahan kekuasaan Bakoy disingkirkan. Bahkan dengan fitnah-fitnah seperti tuduhan bahwa mereka menganut aliran sesat. Padahal yang mereka yakini adalah Wahdatul Wujud, sebuah aliran esensial agama yang melihat kesatuan segala kearifan dengan agama. Maka Meurah Seulu dilantik dengan upacara besar. Petinggi politik (sebagai representasi petinggi ekonomi) Timur Tengah datang langsung membaiat.
Apa pun yang oleh Barat dianggap sejarah yang ilmiah, berarti ia hanya tampilan permukaannya saja. Karena permukaan itu hanya satu persen dari keseluruhan fakta yang sebenarnya. Tetapi bagi sains satu persen yang akurat itu baik, sementara seratus persen tetapi tidak akurat itu tidak baik. Banyak orang membutuhkan fakta. Mereka lebih suatu cerita, meskipun sama sekali tidak menarik, tidak menggugah, tidak menghibur, tidak menginspirasi, tidak membangun, tetapi sesuai dengan fakta. Hal itu karena pengaruh positivisme.
Orang-orang meyakini apa yang tertulis di batu nisan Malik Al-Saleh dan Hikayat Raja-raja Pasai adalah kebenaran. Tetapi tidak ada yang tahu apakah itu melaporkan fakta atau sebuah karangan saja. Cara pandang seperti itu tidak akan bertahan lama. Ketika tidak ada lagi manusia yang tahu August Comte itu apa, orang orang masih suka membaca Mabaratha dan Ramayana.
Hikayat Raja-raja Pasai, Mahabaratha, dan Kitab Suci sekali pun, selama ia adalah sebuah teks, maka selalu hanya akan bermakna bagi pembacanya. Teks itu mati tanpa pembaca. Pemaknaan pembacalah yang membuatnya hidup. Teks itu merdeka untuk mengatakan apa pun. Tetapi teks sama sekali tidak berdaya untuk memaknai apa pun. Yang bebas memaknai hanyalah pembaca. Maka penentunya adalah horison pembaca. Boleh saja teks mengatakan putra mahkota Peureulak ditelan hiu dan dimuntahkan di pulau Jawa. Tetapi narasi itu hanya bermakna dalam horison pembacanya. Demikian data yang ditafsirkan sedemikian rupa oleh sejarawan, demikian juga pemaknaan yang dibuat oleh pembaca atas laporan sejarawan. Sementara sejarah, tetap saja adalah sejarah meskipun sejarawan punya pengaruh sangat besar.
Tidak ada yang benar benar objektif dalam ilmu-ilmu humaniora, apalagi ilmu sejarah. Semuanya bersifat subjektif. Bahkan ketika seorang sejarawan menentukan metode dan teori kajiannya, di sana sudah penuh dengan subjektivitas. Apalagi seorang sejarawan yang sejak kecil telah memaknai sejarah sebagai bagian dari doktrin agama, maka kecenderungan bawaan itu tentu sangat mempengaruhi kerjanya sebagai seorang sejarawan. Mungkin sebab itulah laporan laporan sejarah dari Ali Hasjmy, Hamka, Mohammad Said, dan Ahmad Mansur Suryanegara perlu dipertanyakan. Tetapi jawaban dari para sarjana alumni Barat malah membuat sejarah kehilangan citarasanya sebagai sejarah. Seorang sejarawan alumni Barat, tetapi melahirkan subjektivitasnya. Subjektivitas yang dikawal oleh metodologi ilmiah yang ketat oleh meja akademik Barat.
Namun demikian, cara kerja sejarawan Barat juga membingungkan ketika mereka gagal menerjemahkan data dengan baik. Penguasaan data sebanyak-banyaknya memang membantu mereka menafsirkan sejarah dengan lebih baik. Tetapi sebanyak apa pun data yang berhasil diverifikasi, dalam ilmu sejarah, penafsiran juga yang menentukan.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Liberal Dictionary
No comments:
Post a Comment