Muhammad Zaki Bin Zakaria telah berpulang. Demikian isi kabar yang beredar cepat di media sosial. Bahkan kabar ini sempat viral, setidaknya di Aceh.
Lalu, tiba-tiba saja nama Zaki disebut banyak orang. Padahal dia bukan pejabat negara yang terkadang sering bicara tak jelas di layar TV. Bukan pula politisi yang lima tahun sekali menjual janji di panggung kampanye.
Zaki hanya seorang guru. Dan dia bukan guru dengan status pegawai negeri yang saban bulan menerima gaji. Zaki cuma guru honorer yang pendapatannya sudah sama-sama kita maklumi.
Menurut laporan media, selama ini Zaki mengabdi di Tanah Papua, tepatnya di pedalaman Nabire. Dia mengabdi jauh dari tanah kelahirannya, Kabupaten Bireuen, Aceh. Dan lalu Aceh pun berbangga dengan itu.
Pasca kepergiannya menemui Tuhan, cerita-cerita pilu pun meletup ke permukaan setelah sebelumnya terendam dan tak siapa pun berhikayat soal itu.
Saat ini, setelah Zaki hijrah ke alam lain, barulah kita tahu bahwa dia adalah anak semata wayang dan ibunya seorang janda yang ditinggal suaminya delapan tahun lalu.
Jadi, soal Zaki bukan sekadar tentang guru honorer di daerah “terasing,” tapi juga kisah seorang ibu yang tak sempat menemani anaknya di detik-detik terakhir.
Kabarnya lagi, sampai saat ini ibu Zaki masih tampak kesulitan untuk bisa berangkat ke Nabire, ke tempat anaknya dikuburkan. Tentu kesedihannya akan semakin dalam.
Lantas bagaimana dengan kita? Ya, seperti biasa kita akan berbasa-basi beberapa hari dan lalu melupakan semuanya. Seperti semula, sebelum Zaki dikenal orang.
Untuk beberapa hari kita akan berbelasungkawa, setidaknya di media sosial sembari menulis doa-doa. Kita juga akan memuji Zaki layaknya pahlawan ~ dan dia memang pantas mendapatkan itu, meski bagi kita, semuanya serba tak jelas, apakah itu wujud simpati atau sekadar basi-basi agar kita disebut solider.
Namun seheroik apa pun itu, yang jelas Zaki telah pergi dan tidak akan pernah kembali, hanya untuk melihat basa-basi kita berupa kalimat-kalimat sendu hasil copipaste di beranda medsos.
Lalu apa yang terjadi kemudian? Kita akan kembali seperti biasa dan melalui hari-hari yang begitu-begitu saja sampai akhirnya kita lupa bahwa Zaki pernah ada.
Nanti, ketika Zaki-Zaki lain lahir dan lalu pergi lagi, kita akan mengulang hal yang sama. Bersimpati sekadar basa-basi dan lalu segera hilang kembali.
Saat ini, setelah kepergian Zaki, ibunya tinggal sebatang kara dan tidak memiliki rumah yang layak huni. Padahal, kononnya Aceh kaya raya. Atau mungkin para penguasa sedang tidak berbasa-basi?
No comments:
Post a Comment