Oleh: Muktasim Jailani, MA
Kaya dan miskin biasa tak mungkin menyatu seperti air dan minyak atau seperti kucing dan anjing. Keduanya selalu “bertengkar” dan sendiri-sendiri walau pun kadang disatukan dalam satu tempat. Namun beda halnya dengan sosok oknum yang satu ini, antara keduanya menyatu seperti lakoe binoe (suami isteri) dan laksana kopi beungoh (ngopi di pagi hari). Itulah yang penulis maksud sebagai kaya dan miskin yang menyatu pada sosok utok dalam kepemimpinan gampong.
Disebut pimpinan utok (tua) di satu gampong karena sosok oknum ini telah mengecap, menduduki, dan menikmati hampir semua jabatan di tingkat gampong. Mulai dari unsur pemuda duson, unsur pembantu duson, ureung tuha duson, sampai terakhir menjadi kepala duson sebagai jabatan tertinggi di tingkat duson. Begitu juga di tingkat gampong, mulai dari unsur pembantu geuchik, juru keurani (sekretaris) gampong sampai kepada menjadi geuchik dalam beberapa periode dan cukup lama “betah” dengan jabatan itu, karena kemampuannya menjaga kekuasaannya sebelum lengser.
Terakhir, kepemimpinannya bahkan sudah melewati batas gampong. Dengan ada dukungan “keramat” dari orang “peliharaannya” sehingga ia diproyeksikan menjadi imum mukim dengan cara “mengkudeta” pemilihan yang sah yang diadakan secara domokratis. Hanya satu periode masa kepemimpinan menjabat di tingkat mukim, periode selanjutnya sosok oknum kembali lagi ke gampong menjadi bagian sebagai unsur pimpinan gampong.
Dalam masa jabatan di tingkat mukim sempat juga kembali sebentar ke gampong, dalam artian menjadi pejabat sebagai pimpinan gampong (geuchik) di gampong yang berbeda, alasannya saat itu terjadi kekosongan kepemimpinan di salah satu gampong. Lagi-lagi jabatan yang diembannya full dengan cara permainan politik yang soft “di bawah meja.” Bisa dikatakan kepemimpinannya lancar secara administrasi dan terus langgeng tanpa gugatan dan gangguan. Walau banyak ureung gampong yang diam dalam meupep-pep di warong kupi, melihat tingkah polahnya yang haus akan jabatan dan kekuasaan.
Bisa dikatakan ia terus dapat menikmati jabatan itu dan tidak mau menyerahkan estafet kepemimpinan kepada generasi selanjutnya dan dia juga tidak mau memosisikan diri sebagai negarawan (ecek-eceknya seperti tokoh yang punya mental negarawan di sebuah negara), dan memberi wejangan dan petuah kepada generasi muda untuk memimpin gampongnya, sehingga diharapkan setelah ia “pergi” dapat meninggalkan warisan kebaikan yang selalu diingat ureung gampong.
Dengan lamanya berkuasa dan mengisi berbagai posisi jabatan di tingkat gampong bahkan sudah melewati tapal batas gampong, mungkin bisa dikatakan bahwa ia adalah orang yang “kaya” pengalaman untuk mengelola gampong. Sangat cerdas dalam mengelola konflik gampong sehingga kemampuan itu dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan gampong. Yang namanya orang kaya tentu punya segala-galanya, tinggal potical will dari yang bersangkutan untuk mengaplikasikan di tengah-tengah gampong dalam bentuk kepedulian.
Namun faktanya, kepedulian itu sangat minimalis, dan itulah yang dimaksud “miskin.” Artinya, walaupun kaya dengan pengalaman dalam kepemimpinan gampong namun faktanya kekayaan itu tidak sepenuhnya digunakan untuk peduli terhadap kesejahteraan gampong.
Tegasnya, bisa dikatakan sosok oknum itu miskin kepedulian terhadap masyarakat dan gampong. Rutinitasnya, hanya mengelola kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu, sambil “ceumatok” dan “mengkapitalisasi” segala potensi dan sumber daya gampong. Bahkan berusaha mengamankan politik dinasti sehingga estafet keluarga tetap terpelihara dengan baik.
Fatalnya jika ada orang yang sedikit tampil dan bisa mengendalikan forum, maupun sedikit banyaknya mampu mengelola warga gampong dalam kegiatan gampongnya, maka akan diboikot dan tidak diberikan panggung sebagaimana layaknya orang yang punya kemampuan.
Bahkan, jika semakin muncul dan tampil lebih luas lagi, sosok yang terakhir ini, diupayakan supaya mati kariernya di tingkat gampong. Sosok itu seperti “manok agam” (ayam jantan) yang selalu mengamankan betina-betina di komunitasnya, padahal secara fisik dan biologis sudah tidak sanggup memenuhi hasrat birahi betina di sekelilingnya. Setiap jantan yang lain ingin mendekat komunitasnya pasti akan dimatikutukan sehingga tidak mendapat jatah betina di sana. Kiprahnya terus dipaksakan untuk mengeruk keuntungan dan menikmati kekuasaan di sisa-sisa hidup sebelum nyawanya dijemput.
Padahal, idealnya seorang yang punya jiwa negarawan untuk menikmati sisa hidup dengan kondisi fisik dan pikiran yang semakin tua, bahkan kadang nampak jawai (pikun) akan menyerahkan kekuasaan kepada generasi di bawahnya. Dia akan memberi petuah bijak dalam mengelola gampong. Memberi pertimbangan konstruktif dan lebih peduli terhadap gampong dan terus menjadi guru masyarakat sehingga masyarakat yang butuh sentuhan kepeduliannya akan merasa kebaikan itu dan selalu diingat sepanjang masa. Bahkan menjadi bekal di yaumil akhirah.
Namun, asa dan harapan tetap harus ada, walau dilihat dari masa dan umurnya hampir mustahil dia akan berubah. Seharusnya sosok utok yang kaya pengalaman dalam kepemimpinan gampong bisa tampil sebagai sosok yang kaya kepedulian terhadap gampong, sehingga endingnya gampong dan masyarakat akan memperoleh kesejahteraan sebagai harapan bersama.
*Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Gampong.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: europanostra
No comments:
Post a Comment