Oleh: Muhammad Meuraksa
Setiap orang pastinya merasakan perasaan yang berbeda-beda ketika dirinya didapuk untuk menjadi seorang pemimpin, ada kalanya seseorang merasa senang dan gembira karena merasa apa yang telah diperjuangkannya telah sampai pada tujuan akhir. Namun ada juga sebagian orang merasakan bahwa menjadi pemimpin adalah sebuah amanah sekaligus musibah yang harus dipertanggungjawabkan, bukan semata-mata pertanggungjawaban di dunia tetapi juga persoalan di akhirat kelak. Selamat atau tidak pada mahkamah maha keadilan Tuhan.
Sejarah telah mencatat begitu banyak kisah-kisah kepemimpinan, ada yang dikenang karena kekejamannya, dan ada pula yang dikenal karena keberhasilan selama periode kekuasaannya. Semua itu adalah contoh nyata yang mestinya dapat menjadi teladan, sekaligus pelajaran bagi mereka yang berpikir.
Menjadi pemimpin adalah bersiap menjadi pelayan, pelayan yang melayani semua kebutuhan rakyatnya. Hidup dalam merasakan suka dan duka secara bersama-sama. Membimbing generasi-generasi muda, menerima nasihat dari yang lebih tua, berbagi bersama mereka yang membutuhkan dan juga membina para golongan-golongan bawah untuk bangkit pada titik yang lebih layak. Pemimpin yang baik selalu ingat dengan aturan yang telah ditetapkannya, tidak semena-mena dalam menyikapi sifat “tungang” rakyatnya, dan tidak pula menciptakan aturan hanya untuk kasta bawah sedangkan elite atas bebas berpesta pora. Inilah sedikit tidaknya sikap norak dan retorika yang sering ditunjukkan oleh mereka yang mungkin belum paham makna kepemimpinan.
Sejenak kita merenung ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah ke-8 Dinasti Bani Umayyah, kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah “Innalillahi waa innailaihi raji’un.” Sebuah kalimat yang mengisyaratkan betapa beratnya sebuah amanat dan pertanggungjawaban seorang pemimpin, dan sebagai cendekiawan beliau juga sadar betul akan makna hakikat seorang pemimpin itu sendiri.
Adil, jujur, sederhana dan bijaksana. Itulah ciri khas kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada era kepemimpinannya, Dinasti Umayyah mampu menorehkan tinta emas kejayaan yang mengharumkan nama Islam. Kendati singkat selama pemerintahannya (sekitar 2.5 tahun), umat Islam dapat merasakan ketenangan dan kedamaian. Sebab, sang Khalifah mampu memberikan contoh dan teladan yang luar biasa bagi umat.
Pada masanya, keadilan benar-benar tegak. Rasa aman meliputi seantero negeri. Harta begitu melimpah ruah, sehingga para pembayar zakat (muzakki) kesulitan dalam mendistribusikan zakat mereka. Salah satu kunci sukses beliau dalam menjalankan roda pemerintahanya (99-102 H/717-720M) adalah dengan cara menetapkan aturan atau kebijakan-kebijakan yang sangat tepat untuk kesejahteraan umat dengan tidak egois mementingkan dirinya sendiri.
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz saat memimpin menolak untuk diperlakukan istimewa, menerapkan pola hidup sederhana (khususnya untuk diri dan keluarganya), menolak suap dalam bentuk apa pun hingga menegakkan keadilan dan mengabdikan diri semata-mata untuk mensejahterakan umat.
Itulah sedikitnya corak pemerintahan ala Umar bin Abdul Aziz, cendekiawan sekaligus intelektual yang mampu memutarkan roda kekuasaan dengan kegemilangan, meskipun dalam waktu yang amat singkat.
Namun kepemimpinan kadangkalanya menjadikan seseorang menjadi durjana, dan lupa bahwa dirinya adalah jongos rakyat. “Membudakkan” rakyat secara semena-mena dengan tangan kekuasaan yang sedang digenggam. Ini adalah bagian dari degradasinya etika dan moral seorang pemimpin, yang melupakan esensi kepemimpinan itu sendiri.
Pemimpin bukan sekadar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal, yakni dengan memiliki nilai-nilai dan etika yang baik dalam kepemimpinan.
Minggu, 7 Juni 2020
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: madina
No comments:
Post a Comment