Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for 21 Century, menggambarkan kondisi kehidupan manusia yang segala pekerjaan kasar dikerjakan oleh robot dan kecerdasan buatan. Sementara manusia tinggal melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih manusiawi seperti beribadah, menghabiskan waktu bersama keluarga, dan berolah raga. Itu merupakan gambaran yang indah. Tetapi entah bagaimana gambar itu bisa relevan untuk populasi manusia yang mencapai 10 Milyar. Mungkin itu adalah gambaran ketika populasi manusia satu milyar. Atau itu hanya untuk kalangan tertentu yang tinggal di kota-kota besar. Dalam gambar itu ada sesuatu yang membahagiakan yaitu manusia dapat mengurangi emisi. Banyak aktivitas yang bisa dilakukan di rumah saja.
Kita pernah mengalami itu pada masa pandemi. Tetapi tidak membahagiakan karena diselimuti ketakutan akan wabah di luar rumah. Hanya sebagian kecil orang saja yang dapat survive tanpa keluar rumah. Sebagian besarnya menderita.
Pengalaman pandemi juga dapat menjadi bahan evaluasi bagi gambaran Harrari itu. Mancari di mana kekurangan dan di mana keunggulan pola kehidupan di gambaran itu.
Tetapi apakah manusia akan benar-benar bahagia hidup hanya dengan beribadah, berolah raga, dan bercengkerama lebih lama dengan keluarga? Mungkin dalam gambar itu, ada pergaulan dalam komunitas tertentu; sesuai hobi, sesuai ideologi, dan seterusnya. Jadi gambar Harari berbeda dengan masa pandemi.
Manusia adalah makhluk sosial. Tanpa sentuhan, banyak aspek psikologis manusia yang tereduksi. Apalagi bagi anak-anak. Bagi mereka, pendidikan yang sebenarnya adalah dengan sentuhan, dengan bersosialisasi. Wadah sosialisasi yang sangat efektif bagi anak adalah sekolah dan pengajian.
Namun pada masa pandemi, anak-anak harus ikut terisolasi. Sehingga yang sangat menderita pada masa pembatasan sosial adalah anak-anak. Psikologi anak-anak menjadi sangat terganggu. Orangtua yang sedang bekerja dari rumah juga tidak punya waktu banyak bersama mereka.
Bahaya seorang anak dalam isolasi dapat dilihat dalam film ‘Scary Story to Tell in the Dark‘. Di sana digambarkan seorang anak bangsawan kaya raya tidak diberikan akses sosial karena kekhawatiran orangtua. Sehingga anak itu tumbuh dengan psikologi yang terganggu.
Masa pandemi membuat sekolah ditutup. Karena memang sekolah adalah sarana yang sangat ampuh bagi penyebaran Pandemi. Di negara yang sangat ketat protokol kesehatan di sekolah seperti Norwagia, Korea Selatan, dan Prancis, ketika sekolah mulai dibuka, wabah menyebar. Kafe, terminal, objek wisata, dan mall dibuka kembali di Paris. tetapi pandemi sangat masif penyebarannya di sekolah.
Penerapan protokol kesehatan di sekolah, seketat apa pun, tidak akan efektif. Anak-anak datang ke sekolah untuk bersosialisasi. Itu tujuan utama mereka. Transformasi informasi pengetahuan itu bukan prioritas mereka. Katakan saja di ruang kelas protokol kesehatanya sangat ketat. Tetapi saat sebelum, setelah masuk kelas dan waktu istirahat, mereka tidak dapat menahan diri untuk bersosialisasi.
Pemerintah merencanakan zona hijau diberlakukan sekolah. Protokol kesehatan dibuat. Sayangnya, sekolah di zona hijau tidak akan mampu memenuhi protokol kesehatan. Bagaimana memiliki westafel lancar air untuk cuci tangan, sementara kamar mandi saja tidak pernah kenal air.
Sebagian orang, di samping penderitaan dan ketakukan yang menyiksa, terkadang dapat mengambil manfaat dari masa pandemi. Biasanya untuk mengikuti satu seminar, butuh banyak uang dan banyak waktu untuk tiba di lokasi. Dalam masa pandemi, sebagian orang dapat dengan mudah mengikutinya melalui aplikasi ponsel. Demikian juga banyak kegiatan kuliah yang dapat menghemat waktu dan tenaga. Sebab itulah, Prof. Amany Lubis menganjurkan, meskipun nantinya wabah pergi, beberapa pendayagunaan teknologi tetap harus dipertahankan. Karena telah menunjukkan efektivitasnya.
Terkait pelaksanaan sekolah via teknologi, kiranya itu tidak akan efektif untuk anak. Meskipun kita tidak punya pilihan lain. Lagi pula sangat banyak anak dan bahkan orangtua tidak memiliki kemampuan mendapatkan akses alat media itu. Bahkan di daerah-daerah tertentu, sinyal ponsel belum menjangkau.
Masa pandemi memang masa panik bagi semua. Khususnya dalam dunia pendidikan, kiranya pemerintah terkait melakukan kajian yang mendalam, menyeluruh, dan matang sebelum menetapkan suatu kebijakan. Pemerintah terkait juga jangan terlalu soliter. Mereka harus melibatkan banyak pihak seperti organisasi pemuda, organisasi pelajar, organisasi massa dan pihak-pihak lainnya.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Unicef
No comments:
Post a Comment