Oleh: Miswari
Islam merupakan agama paripurna hadir yang untuk menyempurnakan agama-agama sebelumnya. Secara prinsipil, setiap agama memiliki dasar ajaran yang sama yaitu meyakini eksistensi Tuhan.
Kehadiran agama sebagai penjelas bagi keyakinan primordial manusia. Akal dan penalaran manusia sendiri dalam perenungannya dapat menjangkau pengetahuan tentang eksistensi Tuhan yang Esa dan eksistensiNya melingkupi segala sesuatu.
Dalam perenungan yang lebih mendalam, manusia mulai menyadari bahwa segala eksistensi alam semesta hanya bersifat fana. Karena wujud sejati hanyalah Tuhan. Seorang yang mengaku ateis sekali pun mengaku tidak percaya Tuhan, tetapi dia tetap menyadari bahwa terdapat satu realitas mutlak yang melingkupi segala sesuatu dan berkuasa.
Fitrah manusia juga ingin dihormati, dicintai, dan diperlakukan dengan layak. Kesadaran ini membuat manusia sadar bahwa setiap individu memiliki harkat, derajat, dan martabat yang sama. Atribut-atribut lainnya hanyalah kesepakatan sosial.
Dengan demikian, manusia menyadari bahwa perlakuan orang lain terhadap dirinya yang tidak disukai, tidak boleh dia melakukannya kepada orang lain. Sebaliknya bagaimana dia suka diperlakukan, demikianlah dia harus memperlakukan orang lain. Karena segala atribut merupakan aksiden, maka sejatinya manusia harus mendapatkan kesejahteraan.
Kesejahteraan ini harus diwujudkan bersama. Fasilitas mewujudkan kesejahteraan bersama itu adalah melalui zakat, infak, dan sedekah.
Melalui tiga fasilitas tersebut diharapkan setiap individu mendapatkan kebahagiaan. Dalam perenungannya yang mendalam, manusia menyadari bahwa seluruh makhluk adalah satu kesatuan. Sehingga kesejahteraan setiap makhluk merupakan tanggungjawab bersama.
Manusia perlu memperbanyak perenungan kedirian secara intens. Di sana terdapat kebenaran-kebenaran yang tidak memiliki keraguan. Tanpa menghidupkan kesadaran dalam perenungan, segala aktivitas menjadi kehilangan makna. Dalam ibadah haji misalnya. Mengelilingi batu, mencium batu, melempar batu, dan segala ritual lainnya hanya memiliki makna dalam kesadaran spiritual dan psikologi.
Kesadaran ini terkandung dalam kedirian. Dengan demikian, hendaklah segala tindakan didasarkan pada kehadiran kesadaran diri yang mendalam.
Dalam kesadaran diri, banyak hal yang ambigu dalam tinjauan nalar menjadi suatu kepastian dan keyakinan kukuh. Peristiwa isra’ mi’raj yang dialami Nabi Muhammad misalnya. Peristiwa tersebut secara rasional mungkin akan sulit diterima. Tetapi oleh para sahabat Nabi, hal itu diyakini secara pasti. Karena cara mereka bersikap dan bertindak telah melampaui kebijakan rasional. Mereka merespons sesuatu melalui kesadaran terdalam diri.
Dengan berpedoman pada kesadaran terdalam diri, maka setiap keputusan yang diambil akan dibarengi dengan totalitas. Tidak mudah dalam menghasilkan sebuah kerja yang berdedikasi yang dilandaskan suatu keyakinan yang tidak memiliki rongga sedikit pun untuk keraguan. Karena setiap titik dari keraguan mengandung segudang kemungkinan untuk keliru. Sebagaimana keputusan Ibrahim untuk menyembelih puteranya yang diisi keraguan. Ternyata sejatinya yang diinginkan Tuhan adalah Ibrahim mentakwilkan mimpinya itu, bukan menindaknya secara literal.
Mimpi Ibrahim adalah simbol.
Setidaknya dalam pandangan kaum sufi, seluruh titah keagamaan adalah simbol yang perlu dipecahkan agar ditemukan makna sejatinya. Dalam memaknai simbol itulah banyak umat beragama menjadi berbeda pandangan dan pendapat. Perbedaan-perbedaan itu sejatinya adalah rahmat. Karena setiap hasil usaha untuk memahami simbolisme keagamaan mengandung suatu kebaikan.
Sayangnya perbedaan-perbedaan itulah yang justru menjadi biang perpecahan.
Perpecahan umat Islam telah terjadi sejak Khulafaur Rasyidin. Namun para sahabat selalu mengedepankan persaudaraan sehingga satu sama lain mampu menghargai perbedaan.
Setelah itu, perbedaan-perbedaan justru menjadi kompetisi dan saling menumpahkan darah. Setiap kelompok saling mengklaim penafsirannya terhadap agama yang benar, sementara penafsiran pihak lain dianggap sesat dan harus ditumpas.
Akibat perbedaan-perbedaan yang tidak mampu disikapi dengan cerdas, maka esensi keberagamaan menjadi terabaikan. Sangat banyak umat manusia yang hidup dalam kemelaratan menjadi terabaikan. Padahal belum sempurna keimanan seseorang apabila belum mampu menyejahterakan saudara-saudaranya.
Akibat sibuk bertikai tentang perbedaan penafsiran agama, hal-hal yang sebenarnya bisa disepakati bersama seperti menyejahterakan anak yatim dan menolong fakir miskin menjadi terabaikan. Padahal dengan mengabaikan orang-orang lemah, eksistensi agama semakin krisis. Kebiasaan pertengkaran agama akan menjadi pertengkaran ekonomi.
Untuk mempertahankan hidup, orang-orang terpaksa melakukan tindakan yang merusak kesejahteraan sosial.
Dengan mengabaikan esensi keagamaan, umat beragama menjadi semakin mudah melakukan tindakan kriminal.
Parahnya lagi, sebagian orang malah mencari pembenaran atas tindakan buruknya melalui literatur keagamaan. Tindakan teror menjadi kerap dilakukan dengan dalih merupakan perintah agama. Ayat-ayat Alquran dimaknai secara literal, tanpa mempedulikan konteks, untuk melakukan aksi-aksi teror. Akibatnya, citra Islam menjadi sangat buruk.
Citra buruk Islam yang dipandang sebagai agama teror semakin diperparah oleh pembingkaian media. Awak media yang kurang memahami Islam hanya dapat melaporkan kejadian-kejadian secara permukaan. Investigasi yang dilakukan juga semakin memperparah citra Islam karena mereka menemukan tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan landasan mereka adalah Alquran. Padahal para teroris itu memaknai teks agama secara literalistik.
Umumnya latar belakang para pelaku teror bukanlah orang yang memahami agama secara utuh. Mereka hanya mempelajari agama secara otodidak dan menafsirkannya secara literalistik. Teks agama bagi mereka persis seperti buku panduan morse. Padahal setiap kata, bahkan setiap hururf dari teks agama harus dipelajar dengan bekal berbagai disiplin keilmuan seperti ilmu sharaf, ilmu nahwu, ilmu balaghah, ilmu tafsir, ilmu bayan, ilmu ma’ani, ilmu lughah, dan berbagai keilmuan lainnya.
Bahkan dalam mempelajarinya harus dipandu secara ketat oleh ulama yang memiliki sanad keilmuan yang tersambung hingga Nabi Muhammad. Bila tidak demikian, maka pemahaman agama akan keliru.
Terdapat beberapa ayat Alquran yang digunakan oleh teroris untuk membenarkan tindakan biadab mereka. Untuk itulah, ayat-ayat tersebuy perlu dipahami kembali secara tepat.
Selain melalui berbagai bekal keilmuan dan dibimbing oleh ulama muktabar, pemaknaan kembali ayat-ayat yang dijadikan landasan argumentasi terorisme perlu ditinjau kembali asbabun nuzulnya, dan ditempatkan pada konteks keindonesiaan hari ini. Bila tidak ayat-ayat tersebut akan terus-menerus dipahami secara keliru dan memunculkan radikalis dan teroris baru.
Pemahaman keagamaan yang benar dan penanaman nasionalisme dapat mengurangi munculnya radikalisme dan terorisme. Rekonstruksi penafsiran keagamaan, khususnya ayat-ayat yang dijadikan landasan argumentasi terorisme memang sangat diperlukan. Tetapi jangan sampai ada penafsiran keliru dalam memahami makna jihad karena walau bagaimana pun, semangat jihad tetap diperlukan bagi kaum muslim dalam rangka bela negara. Bila sewaktu-waktu diperlukan, semangat jihad kaum muslim tetap sangat dibutuhkan. Untuk itulah penumbuhan nasionalisme dan pemahaman keagamaan yang benar perlu diintegrasikan.
Kita perlu ingat bahwa dalam rangka melawan penjajah Belanda, semangat jihad umat Islam memiliki andil yang sangat besar dalam mengusir penjajah.
Islam sebagai semangat pembentukan individu selalu akan sejalan dengan rasionalitas manusia. Sebab itulah, semakin maju sebuah peradaban, akan semakin menerima nilai-nilai Islam. Sikap-sikap yang humanis yang ditunjukkan kaum muslim di negara-negara maju membuat Islam semakin mudah diterima. Islam dipelajari secara luas dan diterima sebagai nilai hidup banyak masyarakat Barat hari ini.
Alquran yang merupakan referensi utama keislaman hadir sebagai kitab yang mudah diterima oleh mereka yang memiliki kemampuan bernalar yang tinggi dan suka melakukan perenungan mendalam. Alquran sebagai mukjizat akhir zaman selalu harmonis dengan manusia yang berhati lapang. Strategi-strategi dakwah yang dijalankan kaum Muslim yang humanis juga sangat mudah memikat masyarakat Barat.
Ketertarikan dan kecenderungan terhadap Islam memang sangat perlu diapresiasi. Tetapi fenomena ini terkadang berdampak negatif karena sebagian orang akan berusaha mempelajari Islam secara otodidak. Pembelajaran agama secara otodidak sebenarnya sangat berbahaya karena dapat menyebabkan sikap keberagamaan yang reaksioner. Pelakunya menjadi tidak mampu menentukan skala prioritas dalam beragama. Pemahaman agama menjadi literalistik. Segala persoalan menjadi dipandang sebagai persoalan agama.
Beragama demikian menjadi taklid buta. Sehingga lama-lama melumpuhkan daya nalar. Padahal banyak persoalan yang bisa diatasi dengan berpikir dua detik, tetapi tidak dilakukan karena merasa dalam teks agama semua ada jawabannya. Padahal teks agama sendiri membutuhkan manusia yang mampu bernalar dengan baik agar dapat dipahami.
Berbagai persoalan hari ini oleh kelompok tertentu telah dipandang sebagai persoalan agama. Padahal masalah dasarnya terletak pada diri mereka yang kurang paham agama. Mereka suka mengkafirkan orang. Padahal setiap pemahaman keagamaan memiliki peluang benar dan memiliki peluang salah. Kita berhak mengatakan apa yang kita percaya sebagai kebenaran. Tetapi konyol bila mengatakan apa yang kita yakini sebagai kebenaran absolut dan keyakinan orang lain salah. Dalam hal ini, kita harus mampu membedakan orang yang beragama secara simbolik dan orang yang benar-benar memahami agama.
Sebelum gelombang Islamisme membesar, orang-orang sangat cerdas dalam memandang segala sesuatu. Mereka paham bahwa agama adalah landasan inspirasi dan pedoman nilai, bukan gerakan-gerakan simbol. Sayangnya pelaku gerakan simbol yang kurang dalam agamanya itu kerap memprovokasi dan memancing emosi masyarakat sehingga muncul banyak kerusuhan yang mengatasnamakan agama.
Untuk mengatasi masalah itu, di antaranya perlu melihat cara beragama masyarakat di masa lalu.
Sebelum kolonialisme, masyarakat mampu membentuk silang budaya yang cerdas. Banyak warga dari mancanegara yang berdagang dan bermukim di negeri kita. Mereka berasal dari beragam agama dan kebudayaan. Kenyamanan yang dimiliki warga dunia hanya karena kita bersikap terbuka dan mampu harmonis dengan beragam identitas. Kalau saja waktu itu masyarakat kita berlaku eksklusif seperti sebagian kelompok keagamaan hari ini, tentunya silang budaya pada masa itu tidak dapat terjadi.
Oleh karena itu, sebagai bekal masyarakat beragama yang berada dalam negara maju, kita harus menganut prinsip beragama yang inklusif.
Pandangan keagamaan demikian pernah diajarkan oleh Syaikh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, dan Syamsuddin Al-Sumatrani sehingga kemajuan dapat diraih Aceh Darussalam dan Demak.
Agama harus kembali menjadi sumber nilai dan inspirasi bagi manusia agar dapat membentuk setiap pribadi yang cerdas sehingga dapat mewujudkan peradaban yang kosmopolit.
Sejarah telah menunjukkan, formalisasi agama secara radikal telah membuat bangsa kita menjadi terbelakang dan dikucilkan. Hal ini tentunya merugikan negara dan masyarakat. Agama menjadi tereduksi oleh sistem dan ekonomi menjadi sempit.
Dengan pemahaman agama yang terbuka, tidak hanya mengundang kemajuan ekonomi namun juga membuka peluang menafsirkan ulang keagamaan dalam semangat kemajuan. Pemikiran keagamaan menjadi stagnan apabila banyak kelompok yang menginginkan semangat agama hanya tinggal dalam semangat gurun ratusan tahun yang lalu. Agama tidak hanya harus berharmoni dengan kebudayaan lokal namun juga harus harmonis dengan keberagaman dunia.
Dengan bekal keagamaan yang baik, maka agama selain dapat menjadi sumber pemenuhan hasrat spiritual, namun juga dapat menjadi inspirasi membentuk masyarakat yang luhur. Semangat agama juga dapat memberikan motivasi untuk terus memperdalam keilmuan sebagai bekal kedirian, kemasyarakatan, dan kebangsaan.
Bekal keagamaan yang baik dan benar juga dapat memunculkan akal yang cerdas sehingga dapat mengevaluasi berbagai kemajuan ilmu pengetahuan. Akal yang cerdas juga dapat membuat seseorang menemukan inspirasi dari berbagai referensi bacaan, inspirasi dari berbagai media informasi dan hiburan, inspirasi dari berbagai sosok, inspirasi dari berbagai fenomena, dan inspirasi dari berbagai pengalaman.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: khaleejtimes
No comments:
Post a Comment