Buku yang ditulis oleh Hasanuddin Yusuf Adan, tentang peranan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dalam perjalanan negara bangsa Indonesia, sepertinya mendapat sambutan luas dari khalayak. Terlebih, buku itu ditulis di tengah pergeseran narasi Aceh pasca MoU Helsinki. Helsinki adalah periode penting di mana elite tradisional Aceh — yang terbentuk pasca revolusi sosial — kehilangan dominasinya, baik dalam urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan.
Saya tidak hendak menebak, buku tersebut akan memberikan pengaruh apa dalam penulisan sejarah Aceh sekarang ini. Memang, dalam beberapa kurun waktu terakhir, terutama setelah euforia damai Helsinki mulai mereda, ada upaya mendudukkan kembali hal-hal yang selama ini diabaikan. Saya memberi contoh, satu buku yang ditulis oleh Ahmad Fauzi tentang Amir Husin Mujahid. Buku yang memiliki bobot penting, guna menjelaskan sosok yang sering salah dipahami.
Di luar penerbitan buku, tema-tema sebelum Peristiwa Halimon, kembali dibicarakan, salah satunya produksi film Surat Kaleng. Film ini berkisah tentang periode pelik Aceh di masa revolusi nasional. Periode yang oleh beberapa pihak di generasi sekarang dikutuk karena dianggap melepaskan kesempatan untuk kembali berdaulat.
Kita tentu bisa berdebat panjang soal pilihan-pilihan politik dari setiap masa. Namun, saya memiliki tesis, bahwa setelah suasana politik hasil legacy Peristiwa 1976 ini mereda, maka percakapan, terutama seputar politik dan identitas, akan kembali mengambil fragmen sebelum pernyataan politik Halimon terjadi. Narasi Aceh, akan kembali bergulat pada topik-topik mapan, yang selama ini ditinggalkan. Oleh karenanya, buku bertema PUSA yang ditulis oleh Hasanuddin, semakin menemukan momentumnya.
No comments:
Post a Comment