Oleh: Romi Afriadi
Mengunjungi sebuah pustaka yang riuh oleh suara anak-anak selalu menerbitkan kebahagiaan dan keharuan bagi saya, gambaran seperti itu cukup untuk sejenak membuat saya dan barangkali kita, punya harapan akan seperti apa wajah literasi kita pada masa depan. Sayangnya momen itu cukup langka terjadi hari-hari ini, di berbagai sudut atau ruang pustaka di Indonesia lebih sering kita jumpai keheningan dan buku-buku berdebu. Pustaka ibarat sebuah bangunan yang hadir di tengah perkotaan sebagai tanda formalitas belaka.
Keberadaan sebuah pustaka menjadi salah satu tolak ukur dan barometer keberhasilan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Pustaka yang selalu kita kaitkan dengan arsip dan penyimpanan sejarah masa lalu, memperlihatkan secara nyata bagaimana suatu bangsa itu berproses, sekaligus jadi konfirmasi bagaimana suatu bangsa menghargai peradaban dan sejarahnya yang terjadi pada masa silam. Jika pustaka tak lagi berfungsi dalam suatu negeri, alarm kepanikan akan semakin nyaring berbunyi. Komentar tak bermutu sering kali berhamburan, kebijakan dibikin asal-asalan, karena mereka tidak membaca sejarah bangsanya yang tersimpan rapi di rak-rak pustaka.
Kondisi itu akan semakin parah, jika generasi anak-anak sekarang tetap melanjutkan tongkat estafet yang mengungkung generasi kini. Awan hitam itu harus segera dienyahkan, sehingga bangsa kita lebih terang. Jika bukan pada generasi anak-anak sekarang, pada siapa lagi kita hendak menggantungkan harapan? Tradisi manusia Indonesia dewasa ini, harus diakui jauh sekali dari budaya membaca. Tak usah repot-repot menilik data statistik, tak usah capek-capek mencari referensi tentang berapa persen orang Indonesia yang suka membaca. Cukup toleh kiri-kanan, amati orang-orang di sekitar dan lingkungan Anda, maka sudah tahu jawabannya.
Masalahnya, mengharapkan anak-anak rajin membaca, jelas bukan perkara mudah. Kita tak punya tangan ajaib yang mampu menyihir ribuan anak-anak di kolong negeri ini tiba-tiba menjadikan buku-buku dan pustaka sebagai dunianya. Itu jelas butuh pembiasaan dan proses panjang. Maka, jalan yang paling mungkin kita tapaki hari ini adalah memberi keteladanan sebaik-baiknya, menunjukkan bukti serta contoh nyata kepada generasi anak-anak sekarang. Bahwa membaca merupakan suatu kebutuhan dan perbuatan baik yang pantas untuk ditiru.
Bukankah pada hakikatnya anak-anak adalah makhluk peniru yang ulung? Sebuah peribahasa “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya,” saya pikir, berkorelasi dengan hal ini. Seorang anak memang berkemungkinan akan mencontoh semua perbuatan dan perilaku orang tua dan lingkungannya sewaktu kecil, lalu melekat kuat dalam ingatannya. Untuk selanjutnya menjadi ciri khas dalam mengisi harinya, termasuk membaca.
Permasalahan budaya membaca di Indonesia memang cukup kompleks dan pelik, tidak mengherankan lagi, didapati orang-orang cuek pada buku-buku dan alergi pada pustaka. Bahkan, kaum berpendidikan macam mahasiswa sekali pun, juga tidak kalah apatisnya perihal literasi. Palingan, hanya segelintir dari mereka yang mengaku peduli dan berinisiasi membentuk forum, organisasi, atau komunitas. Mereka mengajak, berdakwah kepada para pelajar betapa urgennya membaca. Di luar pencapaiannya yang memang tidak terlampau signifikan, upaya orang-orang seperti itu patut pula diapresiasi.
Tapi tidak serta merta kita mengharapkan secara berlebihan gaya dan metode dari bermacam organisasi yang mengatasnamakan pegiat literasi itu, kebiasaan akan muncul dalam diri seseorang jika lingkungan memberi contoh, kebiasaan itu akan berkembang menjadi tradisi, lalu tradisi akan menjadi lestari di hati masyarakat. Tanpa lingkungan yang membiasakan praktik literasi yang baik, jangan harap akan terwujudnya masyarakat yang membaca.
Lalu dengan situasi yang berbanding terbalik saat ini, apakah bangsa ini benar-benar tidak lagi punya peluang untuk membumikan membaca? Apakah selamanya pustaka akan tetap sepi dan bukunya menguning dimakan rayap? Apakah bangsa ini tidak bisa mewariskan peradaban yang diisi oleh manusia yang lebih mencintai ilmu pengetahuan? Padahal melalui ilmulah pintu peradaban dimulai.
Belajar dari sejarah Islam sebelum berkembang, bagaimana begitu tertatihnya Nabi Muhammad Saw. Ketika pertama kali beliau menerima wahyu dari Malaikat Jibril di Gua Hira’, kita semua tahu, ayat tersebut berbunyi Iqra’, “Bacalah” dalam tafsir yang ditulis Prof. Moh. Toha Yunus, dikisahkan bagaimana kedatangan Jibril yang tiba-tiba membuat Muhammad ketakutan. Perintah Jibril itu sejenak membuat Muhammad dilanda kebingungan. “ Bacalah”, Namun Muhammad yang tak tahu menahu menjawab. “Saya tidak bisa membaca.” Adegan itu terus berulang dan berlangsung tiga kali, hingga Jibril melanjutkan dan menuntun Muhammad membaca surat Al-Alaq itu sampai ayat ke 5.
Kejadian itu dalam sejarah Islam disebut Nuzul Qur’an sekaligus pertanda ditahbiskannya Muhammad sebagai Rasul. Lalu kemudian, kita semua tahu jalan ceritanya. Nabi Muhammad Saw berdakwah, mempromosikan produk pemahaman baru yang dinamainya Islam, mengenalkan kebaikan Islam yang penuh rahmat dan kasih sayang. Hingga ajarannya mampu mengubah peradaban. Itu semua berawal dari ilmu pengetahuan.
Perilaku masyarakat Arab masa itu yang begitu biadab dan jahil, seiring berjalannya waktu terkikis oleh ajaran Muhammad yang mengandalkan ilmunya. Tanpa ilmu pengetahuan, Muhammad Saw tentu akan sangat kesulitan untuk menyukseskan misi berat tersebut. Sesuai anjuran Jibril pada malam di gua Hira’ itu, Muhammad Saw senantiasa membaca (baca: menuntut ilmu), bermodal ilmu itulah ia berhasil menumbangkan paham-paham kebodohan yang mengungkung benak kebanyakan umat.
Sepeninggalan Muhammad Saw pun peradaban Islam juga tak surut, warisan yang ditinggalkannya begitu kukuh karena dibentengi ilmu pengetahuan. Munculnya era dinasti malah membuat kekuasaan Islam kian berkembang dan meluas. Figur-figur penting yang begitu mencintai ilmu pengetahuan lahir tiada henti. Nama-nama seperti Ibnu Sina, Alkindi, Farabi, atau Khawarizmi hanyalah segelintir ilmuwan yang mendedikasikan hidupnya untuk ilmu yang mengubah peradaban umat. Mereka menjadikan pustaka ibarat rumah, meneliti teks kuno, mempelajari papirus lama, dan mengembangkan kajian baru. Tak heran pemikiran mereka masih dipakai hari ini.
Maka, ilmu pengetahuan menjadi sangat penting peranannya dalam mengubah peradaban suatu bangsa. Ilmu bisa menerangi saat suatu bangsa mengalami kekalutan, ilmu mampu menggerakkan banyak manusia untuk beralih kepada kebiasaan yang lebih baik. Hari ini, saat akses terhadap ilmu pengetahuan begitu mudah dan berlimpah, tapi orang-orang masih enggan menjamahnya. Malah masih sering terjebak dengan perdebatan yang cenderung menghabiskan banyak energi. Saling sikut sana-sini karena tergesa dalam berkomentar. Tepat pada titik inilah pengaruh perpustakaan dalam ruang kehidupan dibutuhkan.
Perpustakaan mengasah orang untuk kritis, bernalar, menciptakan dinamika, sehingga terbentuknya pemahaman baru hasil dari kolaborasi banyak pemikiran.
Bangsa yang punya tradisi dan kebudayaan membaca, tidak akan gagap dalam menghadapi berbagai persoalan yang menghinggapi seisi negeri. Sebab, pustaka tetap aktif memancarkan sinyal-sinyal pencerahan. Dalam benak anak-anak bangsa itu sudah tertanam banyak ilmu yang dipungut dari buku-buku. Lalu apa yang terjadi? Solusi dan opsi cerdas membanjiri, bukan sekadar opini oplosan yang diumbar untuk kepentingan individu atau kelompok.
Tantangan mengubah peradaban yang lebih berilmu serta dipenuhi manusia-manusia yang punya kesadaran dalam mengembangkan budaya membaca memang sangat berat. Bangsa kita malah kian hari semakin terperosok pada sistem busuk yang terus diwarisi kepada anak cucu. Orang-orang lebih sibuk mengejar kenyamanan dan ikut mematenkan sistem yang kolot itu. Praktik birokrasi kian menyebalkan, itu semua memperlihatkan karakter bekerja tanpa dilandasi ilmu.
Budaya membaca seperti mengalami disrupsi di negeri ini, pustaka lebih layak dianggap hidup segan, mati tak mau, hanya dikunjungi karena keterpaksaan. Alih-alih diskusi dan adu teori di situ, pustaka lebih sering terpinggirkan. Di daerah, pengaruh pustaka kian tak karuan, pengunjungnya terus menyusut, gedungnya dikikis zaman, lalu menjadi seonggok peninggalan. Bertahun kemudian, peninggalan itu menjadi tempat tak berpenghuni, lalu beralih fungsi untuk kepentingan lain.
Permasalahan sepinya pengunjung pustaka selalu berkaitan dengan lesunya peradaban, itu menandakan akan sedikitnya muncul manusia-manusia yang produktif dalam berpikir. Akibatnya laju perkembangan bangsa menuju kecerdasan hanya berkisar dalam wacana yang serupa. Itulah realitas bangsa kita hari ini.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: bookbub
No comments:
Post a Comment