Bicara soal rasialisme tidak akan ada habisnya. Soal demikian bukan saja menjadi problem bagi negara-negara terkebelakang belaka, tapi juga tumbuh lestari di negara-negara maju yang mendeklarasikan diri sebagai negara paling humanis semisal Amerika Serikat. Tragedi George Flyod adalah drama rasialisme terbaru di negara itu yang kemudian melahirkan protes berkepanjangan dan bahkan kerusuhan di tengah badai pandemi Covid-19 yang belum reda.
Kita tidak tahu pasti apakah rasialisme itu masuk dalam kategori budaya bangsa tertentu, atau mungkin ia adalah karakter alami yang terwarisi melalui air mani. Soalnya, sikap dan ucapan bernuansa rasis berpotensi dilakukan oleh siapa pun dan di belahan bumi mana pun.
Rasialisme tidak saja menjadi alat untuk mengejek dan menghina oleh mereka-mereka yang merasa berasal dari ras terbaik di muka bumi. Lebih dari itu, rasialisme yang kemudian menjadi semacam ideologi juga telah dipakai sebagai alat untuk melakukan penindasan, kolonialisme dan bahkan genosida. Ada banyak contoh untuk kasus-kasus semacam ini.
Di depan “kamera” umumnya manusia modern menyatakan menolak rasialisme sebagai bentuk keberpihakan mereka pada humanisme, tapi di saat yang sama ~ di belakang layar plus di bawah panggung, rasialisme terus tumbuh subur, di mana mereka atau mungkin kita justru terlibat sebagai penyiram-penyiram yang taat sehingga ia pun mekar bersemi.
Dalam ruang sosial, rasialisme vulgar yang dilakukan seorang pembesar kepada pembesar lain akan segera meledak meletup dan lalu memantik protes dengan dalih solidaritas yang terkadang menjadi alasan perang.
Namun di luar itu, kita cenderung membiarkan “rasialisme lelucon” yang terus berkembang membiak dan beranak-pinak. Masalahnya rasialisme lelucon tidak selamanya meletup di ruang publik, tapi sering terpercik di ruang-ruang sepi dan terasing di mana korbannya adalah orang-orang kecil yang dipersepsi sebagai bodoh.
Bahkan rasialisme lelucon ini sering kali kita lihat dan praktikkan sendiri hampir setiap hari. Terkadang kita sebagai pelaku dan di lain waktu kita menjadi korban. Dan kita cenderung menganggapnya sebagai hiburan. Dengan begitu, sikap dan ucapan rasis telah menyatu begitu saja dengan keseharian kita.
Beberapa waktu lalu, sebuah media online di Aceh sempat menulis judul salah satu berita dengan nuansa rasis. Media itu mengidentifikasi orang-orang Tionghoa dengan “mata sipit.” Meskipun telah lazim digunakan, namun pola identifikasi yang merujuk pada bentuk fisik dengan maksud mengejek dan merendahkan tetap saja rasis dan tidak bisa diterima.
Kemarin seperti dilansir sebuah media online, sikap rasis kembali muncul melalui ucapan dari seorang oknum politisi plus penguasa di Kota Lhokseumawe.
“Sofyan hitam provokatornya, calon wali kota gagal dan mempengaruhi mahasiswa serta warga untuk melakukan demo pemerintah,” demikian kata oknum walikota Lhoksemawe yang menurut media dimaksudkan untuk menyindir aksi demo yang dilakukan mahasiswa di sana (AJNN).
Terlepas apa yang sebenarnya terjadi di Lhokseumawe, yang jelas ucapan “Sofyan Hitam” adalah salah satu bentuk rasialisme lelucon yang dipraktikkan sebagai hiburan dan kerap luput dari perhatian.
Konon, kata berita, pemilik nama Sofyan ini bakal melaporkan tindakan oknum walikota itu ke pihak kepolisian. Aksi pelaporan itu tentunya mesti kita dukung karena rasialisme dalam bentuk apa pun mesti dimusnahkan dari muka bumi, terlebih lagi rasialisme lelucon yang meskipun dianggap hiburan, tetap saja melukai.
Ilustrasi: shutterstock
No comments:
Post a Comment