Oleh: Miswari
Ulil Absar-Abdalla dalam membahas tentang disertasi Nurcholish Madjid (Cak Nur), mengatakan bahwa semangat Cak Nur dalam menulis disertasinya tidak lepas dari insipari gurunya, Fazlur Rahman dalam mengkaji pemikiran Ibn Taimiyah. Diinspirasikan oleh Marshall Hodgson dan Allama Sir Muhammad Iqbal dalam membaca sejarah m perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam, Cak Nur berpandangan bahwa semangat pembaruan yang dilakukan Ibn Taimiyah mengandung sumber inspirasi dalam rangka pembaruan pemikiran Islam di masa kini.
Dalam disertasinya itu, Cak Nur juga ingin menyampaikan bahwa semangat kelompok puritan dalam mengkaji pemikiran Ibn Taimiyah perlu diperbaharui. Cak Nur seperti ingin mengatakan: Ibn Taimiyah itu sebenarnya tidak seperti yang dipahami kelompok puritan.
Di antara kritik keras Ibn Taimiyah adalah kepada pendiri teologi Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni) yakni Abu Hasan Al-Asyari. Asal usul lahirnya Sunni merupakan sintesa dari rasionalisme Mu’tazilah dan paradigma Khawarij yang terlalu literalistik. Pandangan demikianlah yang membuat banyak kalangan menerima ajaran Asy’ariah karena mereka menemukan ajaran ini mengakomodir banyak prinsip dari paham teologi sebelumnya.
Dapat dikatakan Asy’ariah adalah ajaran yang menawarkan jalan tengah. Khususnya dalam rangka menjembatani rasionalis dan wahyu. Genealogi Sunni, sebagaimana dikatakan Ulil Absar-Abdalla, diilhami oleh semangat Abdullah ibn Umar yang bersikap netral atas perselisihan politik antara Mu’awwiyah dan pengikut Sayyidina Ali.
Jalan tengah yang diambil Asy’ariah membuatnya menjadi dilematis dalam merespons persoalan rasionalitas dan persoalan tekstualitas. Sebab itulah Asy’ariah sering membuat pernyataan paradoks dalam menangani persoalan-persoalan tersebut. Tentang persoalan ini dapat ditemukan sangat banyak contoh dan keterangan dalam buku Fritjof Shoun, ‘Islam dan Filsafat Perenial’.
Paradoks yang terjadi dalam Asy’ariah menjadi sasaran kritik Ibn Taimiyah. Menurutnya Asy’ariah telah mengaburkan pemahaman atas Alquran dan Hadis karena epistemologinya dibangun berdasarkan logika Aristotelian.
Ibn Taimiyah memang mengkhawatirkan sistem emanasi dalam filsafat Peripatetik Islam (Masya’iyyah). Tetapi menurutnya itu tidak terlalu mengkhawatirkan karena cuma dipelajari kalangan elite secara terbatas (small elite group). Namun ajaran sufi dan kalam sangat masif, sehingga corak Helenisme dalam tasawuf dan kalam lebih berbahaya.
Meskipun disertasi Cak Nur mengulas pemikiran Ibn Taimiyah dengan menawarkan sudut pandang revolusioner. Tetapi dia tidak ingin disertasinya itu diterbitkan. Terdapat banyak spekulasi tentang masalah ini. Ada yang mengatakan kemungkinan karena walau bagaimanapun akan terbuka lebar kemungkinan munculnya semangat puritanisme, sementara Cak Nur sendiri berposisi bertentangan dengan kelompok itu. Terdapat juga kemungkinan sebagai seorang Sunni, Cak Nur tidak ingin dianggap berafiliasi dengan kelompok puritan.
Dalam rangka memperbaharui pemahaman tentang pemikiran Ibn Taimiyah, Cak Nur mengatakan, Ibn Taimiyah datang untuk menentang kejumudan berpikir pada masanya. Masyarakat telah terkurung dalam sistem berpikir logika Yunani yang menurutnya penuh dengan nuansa Helenisme. Semangat Ibn Taimiyah bila dikontekstualisasikan dapat memberikan semangat kritis dalam merespons permasalahan kontemporer.
Sikap independensi berpikir yang dimiliki Ibn Taimiyah dapat menginspirasikan pemuda muslim untuk bersikap percaya diri dalam menghadapi populisme. Dari Ibn Taimiyah juga dapat dipelajari tentang bagaimana mengkritik tidak dengan argumen ad hominem.
Ibn Taimiyah yang hadir ke pentas intelektual untuk menentang tasawuf falsafi, menentang filsafat, menentang kalam, bermaksud memurnikan pemahaman atas ajaran Islam, khususnya menghapus semangat Helenisme dalam pemikiran Islam. Semangat ini sama dengan yang dilakukan Ahmad bin Hambal dalam rangka memurnikan ajaran Islam pada masanya.
Ahmad bin Hambal seharusnya lebih moderat karena hadir lebih belakangan daripada imam mazhab lainnya. Karena dia melihat pemikiran spekulatif sudah terlalu berkembang dan mengaburkan maksud Alquran dan Hadis. Sehingga dia menawarkan kembali kepada Alquran dan Hadis. Semangat Ibn Taimiyah juga demikian. Helenisme dalam tasawuf dan filsafat dalam Islam sudah terlalu mengaburkan Alquran dan Sunah.
Hal yang ditentang Ibn Taimiyah adalah sistem deduksi Aristotelian. Ibn Taimiyah menawarkan logika induktif. Logika dalam pandangan Ibn Taimiyah hanya untuk didayagunakan dalam memahami Alquran dan Hadis. Teks Suci ini tidak boleh ditakwilkan, karena takwil metafisik menurutnya mengarah pada spekulasi.
Tangan Allah misalnya, tidak boleh ditakwilkan karena kita tidak paham ranah metafisika, nalar manusia tidak sampai ke sana. Al-Ghazali juga memahami persoalan tersebut. Sayangnya dia malah melompat kepada tasawuf. Itulah yang dikritik Ibn Taimiyah.
Ibn Taimiyah juga mengkritik teologi Asy’ariah karena menjelaskan Alquran dan Hadis dengan menggunakan logika Yunani sehingga dianggap mengaburkan makna teks suci. Persoalan ini sempat disinggung Allama Muhammad Iqbal. Katanya selama ini kita membaca Alquran dalam lensa filsafat Yunani.
Ibn Taimiyah berpandangan sistem deduksi itu bermasalah karena menurutnya genus itu hanya spekulasi pikiran, sehingga penolakan ini meniscayakan penolakan Ibn Taimiyah terhadap sistem definisi Aristotelian. Lantas sistem apa yang ditawarkan Ibn Taimiyah sebagai alternatif definisi dalam rangka perolehan dasar pengetahuan?
Dalam hal ini Ibn Taimiyah menawarkan kepada sistem berpikir murni manusia. Secara fitrah manusia dapat berpikir secara sederhana. Manusia memiliki fitrah berpikir benar tanpa perlu menggunakan sistem berpikir ala Aristotelian. Tawaran ini mengarah pada sistem berpikir induktif yang nantinya juga dilakukan oleh David Hume dalam mengembangkan sistem berpikir secara empiris.
Pemikiran Ibn Taimiyah memang kerap menjadi inspirasi kelompok puritan tentang semangat purifikasi agama. Tetapi pandangan Ibn Taimiyah itu perlu dilihat secara kontekstual. Pada ruang waktu Ibn Taimiyah berkarier, peran filsafat Yunani dalam mengaburkan agama sangat mengkhawatirkan masyarakat umum, terutama pengaruh Helenisme. Dalam kondisi itu juga pseudo-sufi juga sangat masif. Konteks inilah yang ingin ditawarkan Cak Nur sehingga dapat membaca Ibn Taimiyah secara bijak.
Ibn Taimiyah juga tidak anti tawasul sebagaimana dipraktikkan secara ekstrem oleh kelompok puritan. Bahkan kelompok puritan hari ini terlalu literal dalam memilah mana tawasul yang dibolehkan dan mana yang perlu ditentang. Tawasul yang ditentang puritan masa kini bahkan kepada hal-hal yang sangat dibolehkan sunah. Bahkan banyak kaum puritanis masa kini sudah punya paradigma dasar bahwa tawasul itu dilarang.
Secara kontekstual, pemikiran Ibn Taimiyah sangat progresif. Dia memiliki basis argumentasi yang kuat dalam melawan arus populisme di masanya yakni Aristotelianisme dalam filsafat dan kalam, serta spekulasi dalam tasawuf yang mengedepankan takwil.
Ibn Taimiyah menawarkan sebuah liberasi berpikir yang seharusnya dapat mengilhami generasi muda masa kini dalam rangka menghidupkan semangat kritis untuk tidak mudah menerima segala konsep, teori, dan pola pikir mainstream. Semangat Ibn Taimiyah seharusnya dapat membuat jamaah suatu kelompok bersikap kritis atas doktrin dalam kelompoknya.
No comments:
Post a Comment