Oleh : Muhajir Al-Fairusy
Meunyoe hana le siwah di blang, darut canggang jeut ke raja.
Meunyoe darut kajeut ke pawang, mandum asoe blang keujih diseuba.
Persoalan sempadan, ternyata tidak hanya menyelimuti masyarakat awam yang kerap menyoal dan memperebutkan garis batas tanah mereka, kondisi ini tenyata dapat berlaku pula di tengah masyarakat terdidik seperti kampus di Darussalam, Aceh.
Darussalam yang seharusnya mendidik manusia menjadi lebih arif, ternyata kian bertarif seiring perubahan waktu. Jika dulu, Darussalam adalah milik bersama yang ditegaskan lewat makna Kopelma, maka kini segregasi kampus antara UIN dan Unsyiah kian pekat. Darussalam tidak lagi dapat dipandang sebagai kesatuan wilayah yang menghimpun pelajar dan mahasiswa dari beberapa institusi pendidikan yang berdiri tegak dan kian gagah fasilitasnya seiring waktu. Darussalam telah menjelma menjadi ruang kontestasi akan pengakuan tanah ulayat akibat tekanan pasar dalam industri pendidikan.
Sebagai alumni yang pernah mengecap setumpuk teori, menyeruput kopi di kantin Darussalam, menghirup udara kopelma, dan menerima secarik surat sarjana yang diteken di samping perkampungan Tanjung Selamat dan Blang Krueng, maka tulisan ringan ini lahir dari kekecewaan melihat Darussalam yang kini terjebak dalam sengkarut anomi sempadan, dan klaim kepemilikan tanah ulayat.
Mendudukkan Darussalam kembali pada sejarah dan adat sepertinya adalah keniscayaan, maka merujuk pada buku dan arsip lama serta pandangan adat menjadi tumpuan dari tulisan ini.
Dalam buku Darussalam yang diterbitkan oleh Jajasan Dana Kesedjahteraan Atjeh tahun 1963, di sana ada amanat P.J.M. Presiden Soekarno pada saat pembukaan Kopelma Darussalam, saya kutip tanpa mengubah ejaan aslinya ;
“…Darussalam sebagai pembuktian daripada tekad kita, tekad jang bulat untuk melaksana- kan tjita2 jang terkandung didalam hatinja rakjat Indonesia umumnja, rakjat Atjeh chu- susnja berpuluh2 tahun. Tjita2 jang terpimpin didalam Proklamasi 1945 mendirikan suatu Negara Republik Indonesia jang besar dan kuat berwilajah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke dengan didalam satu masjarakat jang adil dan makmur. Maka pembukaan Darussalam adalah salah satu langkah, salah satu tindakan untuk melaksanakan tjita2 itu. Dan sebagai tadi saja katakan Darussalam ini adalah hasil pentjetusan daripada tekad jang bulat, tekad jang keras laksana badja daripada Atjeh, daripada seluruh rakjat Atjeh, daripada kerdja sama antara rakjat Atjeh dan pemimpin2nja.“
Berikutnya, dalam narasi lain masih dalam buku yang sama, penggambaran Darussalam oleh Hasjmy diurai sebagai berikut:
“…Dalam kuliah2 dan batjaan saja, kalau benar, istilah Darussalam itu dipakai djuga untuk menjebut kota Bagdad, kota Bagdad kadang2 disebut Darussalam, kadang2 disebut Madinatussalam. Dalam zaman Pemerintah Bani Abbasiah jang memindahkan ibu kota Imperum Islam dari Damaskus ke Bagdad di bawah Pemerintahan Harun Al Rasjid, Bagdad mendjadi pusat kebudajaan, mendjadi pusat ilmu, pusat kekuasaan Negara Islam jang luas sekali. Mudah2an nama adalah sungguh2 makna dan Kota Peladjar/ Mahasiswa Darussalam di Atjeh ini akan mendjadi pusat kebudajaan, pusat ilmu, pusat Pemerintah jang teguh dan jang tidak kalah de- ngan kota Bagdad. Mudah2an Kota Darussalam ini bukan hanja memberi kepandai- an jang sedalam2nja pada anak2 kita, tetapi pertama2 akan memberi- kan kepada mereka peladjaran dalam watak jang luhur, budi jang sutji, patriotisme jang kita butuhkan djika kita hendak mempertahankan nasionalisme kita. Dalam kuliah2 nanti mereka akan diadjar untuk melihat melampaui batas pagar Kabupaten, batas pagar propinsi, melampaui batas pagar pulau sehingga dapat dilihat seluruh kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian mereka tahu bahwa mereka bukan hanja berhak dan berwadjib atas Atjeh, tetapi berhak dan berwadjib atas seluruh Indonesia tanpa terketjualiannja.”
Menyimak beberapa narasi sejarah Darussalam, maka riuh kawasan tersebut amat memalukan tentunya, bukan hanya Kopelma, seluruh rakyat Aceh menanggung beban nasional-betapa semerautnya Aceh hingga dalam ranah pendidikan tinggi, rasa amat malu terutama bagi sarjana yang pernah menempuh pendidikan di sana, betapa pendidikan tinggi ternyata tak menampilkan ketinggian kearifan.
Menunggu Peran Mukim dan Adat Darussalam
Meskipun, Kopelma Darussalam adalah wilayah kekuasaan kampus, namun kawasan tersebut harus dilihat dari kacamata historis dan teritorial adat pula, bahwa kawasan tersebut dulunya tunduk di bawah kendali Kemukiman Darussalam yang diapit oleh Kampung Rukoh, Blang Krueng, Limpok, dan Tanjong. Ini seperti Bulaksumur yang menghimpun dua kampus besar, UGM dan UNY, tetap tunduk secara tersurat di bawah kekuasaan teritorial Keraton Yogyakarta. Maka, peran adat secara moral amat bertanggung jawab menyelesaikan persolan Darussalam. Di sinilah kekuatan sejarah pelu, dan harus menampakkan diri, bak pentingnya spion untuk melihat ke belakang.
Saya sendiri tampak lebih confidence bahwa persoalan Darussalam harus diselesaikan oleh tokoh adat setempat. Bukankah selama ini, beberapa intelektual Darussalam telah membuktikan lewat penelitian, betapa tokoh adat memiliki kearifan, terutama dalam perkara mendamaikan masyarakat awam, tentu akan lebih mudah mendamaikan masyarakat terdidik dalam konteks ini.
Marwah pendidikan di Aceh sedang diobok-obok oleh kuasa Darut Canggang, maka perlu menghadirkan spirit Darussalam secara tegas. Sederhananya, yang dibutuhkan Darussalam adalah terus memajukan ilmu pengetahuan, bukan hanya memajukan luas lahan dan bangunan.
*Penulis adalah seorang Aceh Penikmat Kopi Uleekareng dan Kuah Beulangong.
Ilustrasi: Buku Sepuluh Tahun Darussalam
No comments:
Post a Comment