Pikiran saya melayang ke satu pagi, dua puluh tahun yang lalu. Dari rumah, saya berjalan kaki menuju jalan Teungku Daud Beureueh, menunggu angkutan umum untuk menuju kampus IAIN Ar-Raniry, Darussalam. Jalan yang saya lalui itu, pastilah akan melewati Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin. Rumah orang tua saya memang tidak jauh dari rumah sakit itu. Kalau dibutuhkan, kami bisa berjalan kaki. Hal itu yang dilakukan alm. bapak saya, ketika awal mula merasakan sakit; berjalan kaki menuju IGD. Hari itu, kepalanya terasa sakit sekali. Oleh dokter, alm. bapak didiagnosa mendapat serangan darah tinggi. Sejak itu, kami sekeluarga mengenal dekat setiap lorong rumah sakit tersebut.
Dua puluh tahun yang lalu itu, dari tepi jalan, saya melihat orang ramai sekali di rumah sakit tersebut. Mobil diparkir di segala sudut halaman IGD. Ada mobil pejabat juga. Tapi saya tidak tahu kepunyaan siapa. Saya melewati, dan bergumam, seperti ada kejadian yang tidak biasa. Di masa itu, informasi tidak berseliweran seperti sekarang. Hanya radio, televisi dan koran cetak sebagai media tempat kita tahu mengenai peristiwa yang sedang terjadi. Saya pun melewati IGD, tanpa pikiran yang lebih jauh.
Sampai di kampus, suasana lengang dan tidak bergairah. Saat itu, bukan saja kampus yang demikian, seluruh Aceh sedang mencekam. Jatuhnya Soeharto di Jakarta, membuka kotak pandora di Aceh yang tidak pernah dibayangkan sepenuhnya; Bedil menyalak di mana-mana. Korban sipil — yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik bersenjata — berjatuhan. Kematian, saat itu, seperti tidak mengenal waktu dan orang. Semuanya sama di depan senjata. Begitu juga untuk Safwan Idris.
Di kampus, saya mendengar informasi, kalau Safwan ditembak dan meninggal dunia. Hari itu, semua orang berbicara tentang peristiwa itu. Pengeras suara di masjid-masjid mengabarkan berita duka itu. Tidak hanya di Banda Aceh dan Aceh Besar, tetapi di seluruh pelosok negeri. Safwan orang besar, harapan bagi orang Aceh, tetapi di pagi itu ia pergi dengan cara yang tidak pernah dibayangkan.
Pak Safwan, bukan Prof Safwan begitu cara kami menyapanya, adalah rektor di kampus IAIN Ar-Raniry. Namanya sudah saya dengar jauh-jauh hari, awalnya dari adik Ibu saya yang berkerja di perguruan tinggi itu. Wajahnya pun familiar, karena ada di mana-mana; media massa dan ruang publik.
Satu waktu, di bulan Ramadan, saya tidak begitu ingat tahun berapa; Safwan menjadi penceramah di mesjid Agung Al Makmur, Lamprit Banda Aceh. Sebagai remaja mesjid saat itu, saya ikut bertugas memastikan ibadah tarawih berjalan dengan lancar, melihatnya; memakai peci, baju koko putih, celana panjang dan kain rida yang dikalunggkan di lehernya. Di mesjid Al Makmur itu, Safwan menjadi penceramah tarawih, sekaligus menjadi imam. Hal yang saat itu, hampir mustahil, sepanjang ingatan saya, karena saat itu masih hidup Ustaz Ahmad Abdullah. Tetapi yang saya lihat, Safwan menjadi imam tarawih, dan membaca qunut di saat witir karena sudah masuk malam ke 16 — hal yang belum pernah saya jumpai sebelumnya di masjid tersebut.
Reputasi Safwan, bagi saya yang baru menyelesaikan SMA, dan memilih masuk IAIN, lebih banyak mendengar dari kakak kelas. “Pak Safwan itu, kagum sekali terhadap Kuntowijoyo. Di kelas perkuliahan, dia selalu berbinar-binar ketika menceritakan sejarawan itu. Baginya, Kuntowijoyo seperti menghabiskan hidupnya untuk membaca dan menulis saja.”
Satu waktu, saya membaca Tabloid Kontras. Saat itu, Aceh sedang bergulir isu pemilihan kepala daerah, setelah Gubernur Syamsuddin Mahmud, dijatuhkan oleh DPRD Aceh. Nama Safwan Idris, saat itu, muncul ke permukaan. Safwan, yang bukan politisi melainkan rektor IAIN Ar-Raniry, dianggap sebagai pilihan terbaik untuk menghadapi segala kekisruhan Aceh, baik dari segi pembangunan yang tertinggal maupun untuk menyelesaikan konflik bersenjata. Di media itu, Safwan yang diwawancarai, memberi jawaban yang menohok, dia mau ikut dalam pemilihan kepala daerah kalau dipilih langsung oleh rakyat. Safwan seperti menyampaikan pesan tentang sistem kepartaian dan perwakilan kita yang sedang sakit parah.
Safwan memang tidak ikut dalam pilihan kepala daerah. Safwan juga tidak menyelesaikan jabatan rektor IAIN Ar-Raniry periode keduanya. Dia ditembak di pagi jahananm itu.
Kepergian Safwan, yang semakin jauh jaraknya dengan kita ini, bukanlah sekadar meninggalnya satu orang, atau pemimpin sebuah perguruan tinggi. Tetapi, kepergiannya, sekaligus penanda kalau secara pasti, Aceh berjalan mundur ke belakang. Dan, semakin hari, kita merasakan hal tersebut, tanpa pernah dapat berbuat apa pun.
No comments:
Post a Comment