Oleh: Mukhtar
Pada tiap tanggal 2 September, Pemerintah Aceh akan selalu memperingati Hari Pendidikan Daerah, yang disingkat dengan HARDIKDA. Memperingati Hari Pendidikan Daerah Aceh kali ini, bertepatan yang ke-60. Usia yang ke-61 tahun, bukan lagi masa di usia remaja, bukan juga masa usia dewasa, bahkan masuk pada fase usia tua. Memperingati Hari Pendidikan Daerah ini, diawali dengan berdirinya semangat belajar Darussalam pada tanggal 2 September 1959, setelah lebih kurang 14 tahun Aceh Merdeka dari penjajahan Belanda bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dan 2 September ditetapkan untuk memperingati Hari Pendidikan Daerah di Aceh.
Berdirinya semangat belajar dengan ikon Darussalam, tidak terlepas dari hasil kerja keras dan semangat juang A. Hasjmy bersama tokoh masyarakat Aceh lainnya. Tujuan didirikan Kota Pelajar “Darussalam”, tidak lain dan tidak bukan, untuk menjawab ketertinggalan masyarakat Aceh di bidang pendidikan pasca berkecamuknya Perang Aceh, baik perang dengan penjajah Belanda dan Jepang, serta perang saudara yang menghabiskan tenaga yang begitu besar serta memakan korban, baik waktu, pikiran, harta, benda, dan nyawa masyarakat Aceh. Allahummagh fir lahum.
Membahas A. Hasjmy, adalah membahas sosok intelektual Aceh modern yang hadir di tengah-tengah masyarakat, kususnya Aceh. Pria kelahiran tanggal 28 Maret 1914 ini, tumbuh berkembang sebagai tokoh yang memiliki multi-talenta. Intelektual yang banyak menghasilkan karya dalam bentuk tulisan yang dirangkum dalam berbagai judul buku. Menurut informasi yang didapat A. Hasjmy telah menulis lebih kurang sebanyak enam puluh judul buku dalam berbagai konsentrasi keilmuan. Pemikiran-pemikirannya terkonsepsi dengan baik. Semua hasil karangannya dapat diperoleh di berbagai toko buku dan perpustakaan. Khususnya pustaka beliau sendiri yang diberi nama pustaka A. Hasjmy.
Dalam Islam, tradisi keilmuan yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw., adalah tradisi ilmu dan amal. Artinya, Nabi sebagai penyampai ilmu dan Nabi juga yang ikut mengamalkannya. Hal ini, dapat ditelusuri berdasarkan sebuah hadis yang sering disampaikan oleh para ulama, guru, dan da’i dengan narasi “ana awwalu ma amartukum bih”. Saya, kata nabi adalah orang yang pertama melakukannya atas apa yang diperintahkan kepadamu (umat saat itu).
Menyebut konteks tradisi keilmuan Nabi Muhammad saw., di sini, bukanlah hendak menyamakan antara A. Hasjmy dengan seorang Nabi utusan Tuhan, melainkan hanya untuk memberi sebuah tautan tentang A. Hasjmy dalam membangun tradisi keilmuannya di abad modern ini. Setiap apa yang beliau konsepsikan tertulis dalam sebuah buku, dan setiap buku yang disuguhkan menghadirkan sosok diri A. Hasjmy sebagai pelakunya.
Sebagai tokoh yang multi-talenta, A. Hasjmy telah hadir dalam dalam berbagai ranah keilmuan. Sebagai aktivis, A. Hasjmy merupakan tokoh pergerakan. Menduduki posisi ini A. Hasjmy membuat konsepsi pemikiran dalam puisinya, salah satunya, puisi yang berjudul “Banjir”, banjir…ingat…suatu saat…airmu…pasti akan kering. Menurut Amir Hamzah beliau menulis puisi tersebut 4 tahun sebelum merdeka.
A Hasjmy sebagai ulama. Anak yang tumbuh dari latar belakang pendidikan Islam, tentunya menelusuri berbagai macam ranah ilmu-ilmu keislaman. Sebagai ulama A. Hasjmy telah menduduki posisi lembaga tertinggi keulamaan di Aceh, tempat berkumpulnya para ulama Aceh, yang dinamakan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Aceh, menjabat hingga akhir hayatnya pada tanggal 18 Januari 1998. Dan Majelis ini akhirnya menjadi lembaga keulamaan tertinggi di Republik ini.
Sebagai seorang sastrawan A. Hasjmy banyak menulis karya, baik dalam bentuk puisi, roman, dan novel. A. Hasjmy masuk pada angkatan pujangga baru.
Sebagai seorang politikus A. Hasjmy menjabat sebagai Gubernur Aceh selama dua periode (1957-1961 dan 1961 s/d akhir Maret 1964).
Sebagai seorang negosiator A. Hasjmy menjadi tokoh kunci dalam penyelesaian sejarah pemberontakan “Darul Islam” Aceh yang dipelopori oleh Teungku Daud Beureueh. Dalam bidang politik pemikirannya terkonsepsi dalam sebuah buku yang berjudul Di Mana Letaknya Negara Islam.
A. Hasjmy telah hadir sebagai intelektual yang menggali tapak tilas sejarah, sebagai sejarawan, A. Hasjmy melahirkan karya di antaranya: Sejarah Kebudayaan Islam, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Sejarah dan kebudayaan Islam di Aceh,.
Tidak hanya sampai di situ, A. Hasjmy di samping sebagai negosiator ulung, juga sekaligus menjadi tokoh yang menguasai bidang Ilmu Dakwah. Kiprahnya sebagai intelektual yang menguasai bidang dakwah juga sebagai pelopor berdirinya fakultas baru di jajaran IAIN (UIN) Ar-Raniry, yakni Fakultas Dakwah. Fakultas dakwah diresmikan pada tahun 1968, tahun kelima setelah IAIN Ar-Raniry didirikan pada tanggal 5 Oktober 1963, sekaligus menjadi fakultas pertama dilingkungan IAIN (UIN hari ini), di seluruh Indonesia.
Sebagai tokoh dakwah A. Hasjmy melahirkan karyanya yang berjudul, Dustur Dakwah Menurut Alqur‘an. Tidak hanya sebagai juru dakwah, dan pencetus berdirinya Fakultas Dakwah, A. Hasjmy juga mendapatkan penghargaan Guru Besar Honoris Causa (HC), dikukuhkan sebagai Profesor Ilmu Dakwah pada tahun 1976. Bahkan menurut Syabuddin Gade, sampai pada tahun 2015, di UIN Ar-Raniry belum muncul seorang pun Profesor Ilmu Dakwah. Sehingga lengkaplah nama yang disematkan kepadanya dengan gelar Prof. Tan Sri Kra Datu Teungku Haji Ali Hasjmy.
Ali Hasjmy hadir sebagai aktivis pergerakan, sejarawan, sastrawan, ulama, politisi, dan tokoh dakwah, A. Hasmy juga hadir sebagai tokoh pendidikan.
Pendidikan yang digagas oleh A. Hasjmy berangkat dari filosofi pendidikan Islam, di mana usahanya bagaimana memahamkan sebuah konsep dalam membangun manusia berdasarkan nilai-nilai keimanan. Maka dengan demikian, A. Hasjmy menjelaskan terlebih dahulu hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri. Semua gagasannya tentang pendidikan, tersebar dalam sejumlah karyanya, di antaranya: pertama, “Mengapa Ummat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional.” Kedua, “Risalah Akhlak (Surat-surat Ayah Kepada Anak).” Ketiga, “Konsepsi Ideal Darussalam.” Keempat, “Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh.”
Filosofi Pendidikan Islam dipahami sebagai sebuah usaha yang dilakukan secara terus menerus untuk membentuk potensi individu secara terpadu dan menyeluruh. Sebagai khalifah di muka bumi, usaha ini haruslah berazaskan atas pencapaian bagi umat manusia untuk memperoleh kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Islam memulai setiap sesuatu yang harus berfungsi ganda, dunia dan akhirat. Artinya, dunia merupakan sebuah jalan dan akhirat adalah tujuannya.
Pemahaman yang mesti dipahami tentang pendidikan adalah menyangkut dengan kebahagiaan, sehingga dalam semangat pendidikan Islam selalu ditekankan pada penguasaan terhadap Ilmu Pengetahuan. “Bagi siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan di dunia, haruslah dengan ilmu, bagi siapa yang ingin mendapatkan kebahagiaan di akhirat juga harus dengan penguasaan ilmu, dan bagi siapa yang ingin mendapatkan keduanya juga dengan ilmu”.
Di sini jelas duduk persoalannya, bahwa keberadaan ilmu bukan hanya sekadar untuk mendapatkan sebuah informasi dan menjadi pengetahuan semata, namun juga harus mengantarkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia. Dengan demikian, ilmu yang ditekankan dalam Islam untuk dipelajari adalah kemanafaatannya.
Berdasarkan pencapaian A. Hasjmy menjelaskan bahwa pengertian pendidikan adalah penanaman rasa kesadaran beriman dan beramal salih yang berdasarkan ilmu pengetahuan, sehingga karenanya manusia menjadi makhluk sosial yang menghayati ajaran-ajaran Islam dalam segala kehidupannya, baik kehidupan pribadi atau pun kehidupan jamaah, baik dalam kehidupan politik, kehidupan ekonomi atau pun dalam kehidupan sosial.
Sebagai tokoh yang berperan dalam membangun ruh pendidikan di Aceh, A. Hasjmy telah terlibat langsung dalam prosesnya. Membangun ikon pendidikan “Kopelma Darussalam” maupun “Kampong Pelajar”. Dari sinilah pergerakan pendidikan Aceh dimulai setelah berakhirnya perang.
Hampir di mana pun, negara yang terlibat perang, setiap fasilitas yang ada akan lenyap, termasuk fasilitas pendidikan. Tidak hanya itu, segala potensi yang terkait dengannya akan musnah. Berbicara pendidikan bukan hanya bicara fasilitas berupa sumber daya alamnya, namun juga berbicara sumber daya manusia. Bagaimana negara Jepang harus bangkit dari keterpurukan setelah luluh lantak akibat perang. Enam hari berselang, setelah Bom Atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, Kaisar Hirohito yang bertahta sepanjang tahun 1926-1989, memerintahkan Mentri Pendidikan Jepang untuk mendata jumlah guru yang masih tersisa. Berdasarkan perintah Kaisar Jepang menjadi bukti bahwa, unsur terpenting dari pendidikan ini adalah sumber daya manusia.
Perang Aceh melawan penjajahan Belanda dan Jepang ditambah lagi dengan konflik pemberontakan antara kelompok Darul Islam dengan pasukan pemerintah di awal kemerdekaan di Aceh, bak meletusnya Bom Atom di Jepang, meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial keagamaan di Aceh. Lembaga pendidikan yang berperan secara dominan di Aceh saat itu adalah “dayah”. Dari dayah ilmu itu disampaikan, namun pengajarannya hanya terbatas pada ilmu pengetahuan agama semata. Dengan itulah, A. Hasjmy dalam gerakan pembaharuan pendidikan yang dilakukannya, tidak hanya melihat potensi sumber daya manusianya namun juga membangun sumber daya alamnya. Sumber daya alam pendidikan di sini adalah lembaga pendidikan itu sendiri.
Berdasarkan penglihatan tersebut, terkonsepsilah semangat pendidikan Aceh dengan “Kopelma Darussalam” atau Kampong Pelajar” pada tanggal 2 September 1959, yang pada tahap selanjutnya berdiri dengan megah dua kampus terbesar di Aceh, IAIN Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala (UNSYIAH). Pada akhirnya kedua perguruan tinggi ini menjadi “jantong hate” masyarakat Aceh.
Dari sinilah denyut nadi pendidikan yang dipahami sebagai usaha terus menerus dalam membentuk potensi individu secara terpadu dan menyeluruh, untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. IAIN sebagai lembaga pendidikan yang notabene berazaskan ilmu-ilmu keislaman dan Unsyiah dengan lembaga pendidikan yang notabene berazaskan ilmu pengetahuan umum.
Kedua perguruan tinggi ini memicu laju pendidikan Aceh mencapai dua arah, membangun insan yang berpengetahuan, baik pengetahuan agama maupun berpengetahuan umum. Walaupun kedudukan ilmu dalam Islam tidaklah dikotomis, namun dalam perjalanan pembaruannya di Aceh telah berjalan secara sendiri-sendiri. Dari pembangunan kampus Darussalam perjalanan pendidikan di Aceh dilanjutkan. Dari upaya pemberantasan buta huruf dengan berdirinya sekolah-sekolah menengah, baik sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, dan kemudian mulai bergerak berlanjutan setelah PUSA mendirikan Ma’had al-Mu’allimin atau disebut juga dengan Normal Islam Institut (NII) pada tanggal 27 Desember 1939 di Bireuen. NII ini berfungsi sebagai sekolah pengkaderan guru dan dipersiapkan sebagai cikal-bakal pembukaan sekolah baru di seluruh Aceh.
Mengikuti perkembangan pendidikan di Aceh, kiprahnya yang begitu serius dalam memetakan arah pendidikan, yang tidak hanya terkonsepsi dalam pemikiran semata, namun diwujudkan dalam hasil kerja nyata. Memanfaatkan kekuasaan di tangan untuk mengaktualisasi pendidikan yang berkemajuan, sehingga membangun manusia seutuhnya menyentuh ke berbagai level kehidupan.
Melalui konsepsi “Kota Pelajar” A. Hasjmy adalah tokoh sentralnya, terutama sekali menyangkut dengan “Kampus Darussalam” bahkan A Hasjmy juga disebut-sebut sebagai Bapak Pendidikan atau pahlawan pendidikan di Aceh.
Membangun “Kopelma Darussalam”, sekaligus menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah pada tahun 1968, dan pada puncaknya menjadi Rektor IAIN Ar-Raniry pada tahun 1982, sebagai langkah awal untuk menuju hakikat pendidikan sebagai usaha terus-menerus yang harus dilakukan oleh manusia. Dalam hal ini, A. Hasjmy telah merumuskan hakikat dari pendidikan itu sendiri bertujuan untuk: pertama, membina manusia beriman dan beramal saleh. Kedua, membina manusia yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, sehingga menjadi umat pilihan. Ketiga, membina para ansarullah yang membangun ajaran Islam dengan indah, menjadi umat yang diharapkan oleh dunia. Keempat, membina aktivis dakwah membela rakyat yang tertindas dengan segala daya upaya, dana, jiwa, sebagai syarat mutlak mendapatkan ampunan dari Tuhan untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Ali Hasjmy telah meletakkan konsepsi pendidikan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Alqur‘an. Dan ini tercermin dari ayat yang dikutip oleh A. Hasjmy dalam memahami konteks pendidikan.
Dalam surat at-Taubah ayat 122 jelas tercantum, bahwa pendidikan itu tidak hanya bagaimana memahami perintah untuk menuntut ilmu semata, namun juga setelah selesai belajarnya harus berfungsi sebagai sekelompok orang yang mampu menjaga umat ini setelah belajarnya selesai, terutama sekali menjaga aqidah umat dari pikiran-pikiran kufur terhadap ajaran Allah swt. Sama seperti sekembalinya orang-orang yang berjihad di medan tempur.
وَمَا كَانَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا۟ كَآفَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا۟ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُوا۟ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya, “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. Q. S. At-Taubah ayat 122.
Terdapat empat kata kerja dalam bentuk fi’il mudhari’ pada ayat di atas. Keempat kata kerja tersebut diperkuat dengan huruf lam taukid. Artinya, tiga kata kerja dalam bentuk fi‘il mudhari’ sebagai tuntutan untuk berangkat ke medan perang, memperdalam ilmu, dan memberi peringatan kepada umat, agar supaya umat bisa menjaga dirinya dengan segenap pengetahuan yang diajarkan kepadanya. Ayat ini sangat bersesuaian dengan apa yang telah dirumuskan oleh A. Hasjmy dalam tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Setelah “Kopelma Darussalam” dibangun pada 61 tahun yang lalu, kiprahnya sudah begitu terlihat di depan mata masa depan pendidikan Aceh. Sebagaimana telah disebutkan di awal-awal pembahasan bahwa, usia yang ke 61 tahun adalah masa tua, di mana umur sedemikian dalam kehidupan manusia adalah masanya memetik hasil dari apa yang sejak dulu diupayakan. Masa pendidikan yang telah digagas oleh A. Hasjmy bersama dengan tokoh-tokoh yang lainnya, hari ini tidak lagi bicara pada tataran konsepnya, melainkan sudah sampai pada tahap memetik hasilnya, yakni memetik hasil dari tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Tentunya tujuan pendidikan sebagaiman yang ditanamkan dalam surat at-Taubah ayat 122.
Ayat ini tentu tidak dipahami sebagai ayat yang hanya menekankan pada tuntutan untuk belajar ilmu syari’at semata, melainkan juga harus dipahami sebagai ayat yang menyadarkan manusia akan pentingnya menuntut ilmu, sehingga posisinya disejajarkan dengan berjihad di jalan Tuhan.
Banyak cabang ilmu yang menjadi fokus pembahasan, ketika kita bicara tentang kesejahteraan manusia di dunia. perkembangn ilmu pengetahuan hari ini telah melahirkan ratusan cabang ilmu. Kehadiran berbagai macam ilmu melahirkan ahli yang berbeda –beda di dalamnya. Namun yang menjadi kunci dasar dalam kehidupan bernegara adalah bergerak bersama-sama untuk mencapai tiga tujuan dasarnya, di antaranya adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi umat.
Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi merupakan tiga kebutuhan manusia yang saling bergantungan efek. Satu di antaranya pincang, maka akan goyah keseluruhannya. Pendidikan yang dihasilkan dari “Kota Pelajar Darussalam” hari ini telah mengisi di tiga sektor gerak masyarakat Aceh. Pertanyaannya adalah sudahkan hasil dari konsepsi pendidikan “Darussalam” sesuai dengat penekanan terakhir dari ayat yang disebutkan di atas, yakni menjaga penjaga atas umat ini, baik terjaga divbidang pendidikannya, kesehatannya, dan ekonomi umat.
Pasang surut kondisi politik di Aceh harus kita akui mengalami pasang surut. Mulai dari peperangan melawan penjajah Belanda Dan Jepang, pemberontakan Darul Islam Aceh, dan konflik Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Republik Indonesia, Gempa dan Tsunami Aceh, telah menghambat semangat belajar “Darussalam” menumbuhkan perubahannya. Dan semangat ini tumbuh kembali setelah peran masyarakat dunia mampu berperan, sehingga perjanjian damai antara GAM dan RI terwujud, dan berakhirlah konflik.
Membangun pendidikan Aceh pasca konflik tidaklah sesulit membangun pendidikan Aceh pasca kemerdekaan. Aceh pasca konflik, gempa, dan tsunami menjadi perhatian masyarakat dunia. Momen ini telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk memicu dan mempercepat proses pembangunan Aceh kembali. Mulai dari infrastruktur pendidikan, sumber daya manusia, dan kerja sama pendidikan, baik kerja sama dengan perguruan tinggi dalam negeri maupun kerja sama dengan perguruan tinggi dunia, sehingga begitu mudah bagi anak-anak Aceh untuk menempa ilmu di kampus-kampus ternama tanah air dan luar negeri. Hingga pada puncaknya semangat “Darussalam” berubahnya status IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dan berdirinya beberapa perguruan tinggi baru di seluruh Aceh. Kehadiran perguruan tinggi baru ini mengantarkan kekuatan basic pendidikan kita di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan atas.
Darussalam, jika diartikan berdasarkan makna katanya menjadi wilayah yang menghadirkan rasa kenyamanan, ketenteraman, keselamatan, keindahan bagi yang masyarakat yang mendiaminya. Namun jika “Darussalam” ditinjau dari filosofi peradaban, maka kata “Darussalam” harus dimaknai sebagai sebuah tempat yang secara terus-menerus menghasilkan produk sosial yang diciptakan dari hasil proses pengembangan ilmu pengetahuan. Riset-riset penelitian dihidupkan, dialog keilmuan ditingkatkan, sehingga dari proses berpikir tersebut melahirkan hasil karya karsa manusia yang mampu menjawab setiap persoalan umat, dan menjadi bahan pertimbangan atas kebijakan kekuasaan. Artinya, “Darussalam” dalam konteks peradaban adalah terciptanya masyarakat Madani berdasarkan pengembangan ilmu pengetahuan, bukan berdasarkan pembelajaran doktrinal.
Pendidikan yang terkonsepsi dengan “Darussalam” tidak hanya berkisar tentang pengembangan kognitif sebatas transfer of knowladge semata, tidak hanya menanamkan afektif sebatas trasnfer of value saja, namun benar-benar mengajak umat untuk menghidupkan aktivitas psikomotorik yang berorientasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena, kehidupan manusia semakin hari semakin berubah mengikuti perkembangan zamannya, Aceh hari ini, perlu menanamkan nilai pendidikan yang benar-benar berorientasi sosial.
At-taubah 22 sudah menekankan kepada sekelompok orang untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di era modern, ilmu telah menemukan jati dirinya masing-masing. Identifikasi ilmu berdasarkan kelompoknya sebagai upaya untuk menemukan dialektika keilmuan dalam berbagai bidang. Sebagian orang harus ada yang menuntut ilmu yang menyangkut dengan agama, budaya, sosial, poilitik, ekonomi, kedokteran, teknologi, dan berbagai macam ranah ilmu lainnya.
Aktivitas menuntut ilmu pada ayat tersebut disejajarkan dengan jihad. Tidak ada perang yang tidak ada akhirnya, setelah perang selesai, pasukan tempur kembali ke markasnya. Begitu juga aktivitas belajar, ketika proses belajarnya selesai, bagi sekelompok orang yang telah ikut memperdalam ilmu dalam berbagai bidang akan kembali ke tempat di mana ilmu itu akan diamalkan. Setiap kelompok ilmu harus mempertanggung jawabkan ilmunya, dan kehadirannya sebagai penjaga atas umat manusia harus menjawab kebutuhan publik dengan baik.
Para pemangku kekuasaan harus menjaga rakyatnya dengan baik, para dokter harus menjaga kesehatan umat dengan baik, para ulama harus menjaga akidah umat dengan baik, para dosen dan guru harus membimbing mahasiswa dan muridnya dengan baik, para politisi harus menjaga stabilitas politik dengan baik, para pejabat negara dalam berbagai bidang dan level harus menjaga pemerintahan dengan baik, bersih, dan terbebas dari praktik kecurangan. Setiap sekelompok orang yang memperdalam masing-masing ranah keilmuan harus bercermin pada semangat pendidikan “Darussalam” yang sudah dibangun oleh A. Hasjmy bersama tokoh-tokoh lainnya, sehingga pengetahuan yang terkonsepsi dalam pikiran, kemudian diterjemahkan dalam bentuk kerja nyata yang berorientasi sosial, budaya, dan keagamaan. Dan inilah yang dicita-citakan oleh A. Hasjmy, membangun masyarakat seutuhnya dengan menanamkan perasaan iman dan amal salih dalam diri manusia.
Di era four point zero di mana kemajuan teKnologi sudah menggantikan sebagian peran manusia, salah satu peran manusia yang sudah dijalankan oleh mesin teknologi di bidang pendidikan. Penyampaian informasi disampaikan melalui saluran elektronik, termasuk di dalamnya informasi-informasi yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Madicine educater begitu cepat menyampaikan pengetahuan kepada umat manusia, sehingga pada bagian tertentu, untuk memperoleh pengetahuan tidak harus bertanya lagi kepada seorang guru, tinggal memencet tombolnya segala macam pengetahuan akan tersuguhkan ke layar android masing-masing kita, tanpa adanya sensor baik dan buruk keberlangsungan hidup manusia saat ini.
Apakah dengan begitu semangat konsepsi “Darussalam” harus berhenti oleh karena beragam informasi terbaru yang didapatkan dari arus informasi global, yang hampir saja manusia hari ini tidak mampu membedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang salah, termasuk di dalamnya informasi tentang ilmu pengetahuan, kususnya yang menyangkut dengan pemikiran yang berkembang.
Pada dasarnya tujuan didirikannya konsep pendidikan “Darussalam” tidak hanya untuk menanamkan perasaan iman semata, melainkan juga untuk mengajarkan amal. Amal yang disuguhkan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam yang baik. Beragam informasi yang disuguhkan mesin kepada manusia tidak boleh melewati batas dialektika yang dibangun dari konsepsi pendidikan “Darussalam”.
Kemajuan pendidikan Aceh di masa kerajaan dahulu mesti menjadi generator bagi pendidikan Aceh hari ini. Sejarah yang pernah mengantarkan kemajuan pendidikan Aceh tidak terlepas dari keberanian Pemerintahan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda, yang telah membangun sentral peradaban Ilmu Pengetahuan melalui Universitas Baiturrahman (Jami‘ah Baiturrahman) yang bertempat di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Dan hadirnya guru besar, ulama terkemuka Aceh seperti Syeikh Nuruddin ar-Raniry (abad ke 16-17), Syeikh Syamsuddin as-Sumatrani (1630 M) dan Syeikh Hamzah al-Fansury (1600 M). Transfer pengetahuan kepada murid yang berasal dari berbagai wilayah Nusantara, diwujudkan melalui pembentukan tujuh belas fakultas ternama, di antaranya:
- Daar al-Tafsir wal Hadis (Fakultas Tafsir dan Hadis)
- Daar al-Thib (Fakultas Kedokteran);
- Daar al-Kimiya (Fakultas Kimia);
- Daar al-Taarikh (Fakultas Sejarah);
- Daar al-Hisaab (Fakultas Matematika);
- Daar al-Siyasah (Fakultas Ilmu Politik);
- Daar al-Aqli (Fakultas Ilmu Logika);
- Daar al-Ziraah (Fakultas Pertanian);
- Daar al-Ahkaam (Fakultas Hukum);
- Daar al-Falsafah (Fakultas Filosofi);
- Daar al-Kalam (Fakultas Teologi);
- Daar al-Wizaarah (Fakultas Ilmu Pemerintahan);
- Daar al-Khazanah Bait al-Maal (Fakultas Keuangan/Akunta nsi Negara)
- Daar al-Ardh (Fakultas Pertambangan);
- Daar al-Nahwu (Fakultas Sastera Arab);
- Daar al-Mazahib (Fakultas Perbandingan Mazhab);
- Daar al-Harb (Fakultas Ilmu Militer)
Dengan memperingati Hari Pendidikan Daerah (HARDIKDA) Aceh yang ke-61, “Kopelma Darussalam”, dengan berdirinya dua kampus ternama UIN ar-Raniry dan Unsyiah, mampu mengembalikan harkat dan martabat pendidikan Aceh di masa lampau dengan kurikulum yang terus berbenah sesuai dengan konteks zaman. Dalam hal ini, Pendidikan Aceh dengan dua lembaga pendidikan yang sudah menjelma menjadi “jantong hate” masyarakat Aceh dan bersama-sama lembaga pendidikan lainnya, mampu membangun ghirah keilmuan baru bagi Aceh. Sehingga, setiap ilmu yang disuguhkan kepada manusia dalam berbagai ranah keilmuan, outputnya benar-benar berorientasi sosial keagamaan yang mampu menjawab kebutuhan publik secara keseluruhan.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Khairil Miswar
No comments:
Post a Comment