Tak terasa sudah tujuh bulan pandemi covid-19 telah mewabah di Indonesia raya dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan menghilang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk melawan virus covid-19. Namun, tampaknya virus itu lebih kuat dari upaya-upaya yang telah dilakukan. Hari demi hari berlalu angka korban orang-orang yang terinfeksi virus terus naik, sampai akhir September 2020 total kasus mencapai 196.196 orang yang terinfeksi sebagaimana dilansir merdeka.com.
Virus covid-19 yang sudah tujuh bulan menginfeksi Indoneia telah berdampak dan membunuh berbagai sektor kehidupan masyarakat mulai dari kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan juga sosial.
Selain kesehatan, pendidikan adalah sektor yang paling terdampak akibat penyebaran virus covid-19. Bermula saat awal-awal virus menginfeksi yaitu Maret 2020 proses pendidikan di sekolah-sekolah dihentikan sepenuhnya lalu kemudian diganti sistem pembelajaran jarak jauh atau dalam jaringan via internet.
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sebelumnya diharapkan menjadi solusi alternatif agar proses pendidikan tetap berjalan di tengah pandemi, namun ternyata dalam pelaksanaannya PJJ ini justru menimbulkan banyak masalah, mulai dari jaringan internet yang belum tersedia sampai ke daerah-daerah terpencil, beban kuota internet yang relatif mahal, apalagi buat orang tua yang memiliki beberapa anak usia sekolah tentu membuat orang tua harus merogoh kocek lebih dalam lagi terlebih di tengah pandemi di mana pendapatan masyarakat sedang turun drastis, miris memang.
Lebih Miris lagi ada orangtua yang harus mencuri demi bisa membelikan anaknya HP dan kuota internet untuk bisa ikut belajar online seperti yang diberitakan berbagai media.
Dampak buruk lain PJJ adalah dampak sosial di mana anak-anak sekolah tidak dapat lagi berinteraksi secara langsung dengan teman dan gurunya, di mana jika hal ini berlangsung secara terus menerus berpotensi mengakibatkan anak-anak tidak terampil secara sosial. Selain dampak sosial PJJ juga berdampak buruk pada kesehatan mata karena harus berinteraksi secara terus menerus dengan layar gadget.
Sebenarnya ada alternatif lain selain PJJ agar anak-anak sekolah tetap bisa belajar, namun sayang kurang diseriusi pemerintah. Alternatif itu adalah televisi yang hampir seluruh rakyat memilikinya. Tinggal konten siarannya saja diisi dengan konten pendidikan.
Fahri Hamzah politisi senior mantan wakil ketua DPR-RI juga turut mengkritisi kebijakan PJJ yang diberlakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kemendikbud. Menurutnya televisi bisa dijadikan media anak-anak sekolah tetap belajar selama pandemi. Melalui laman facebooknya Fahri Hamzah menulis “Pak Nadiem Makarim yang terhormat. Daripada sampeyan sibuk beli gadget dan pulsa mendingan wajibkan semua TV untuk menyiarkan acara pendidikan sampai 50%. Layar TV sudah ada di rumah penduduk tapi siarannya alamakkk! Ayolah cerdas dikit napa bikin kebijakan………….”
Demikian tulis Fahri Hamzah melalui laman facebooknya.
Dan sampai hari ini belum juga ada tanda-tanda kapan sekolah akan dibuka. Banyak pihak terutama para orang tua sangat mengkhwatirkan jika kebijakan PJJ berlangsung dalam waktu yang lama akan mengakibatkan mental dan intelektual anak-anak menjadi tidak berkembang sesuai dengan fase umurnya.
Selain pendidikan, sektor ekonomi juga lumayan sempoyongan dan babak belur akibat hantaman covid-19. Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi minus pada semester pertama 2020 walau sebenarnya ada ekonom yang memprediksi tanpa covid-19 pun Indonesia akan mengalami resesi ekonomi akibat salah urus.
Ekonomi yang sulit di tengah pandemi mengakibatkan pendapatan masyarakat menjadi turun, PHK di mana-mana, usaha-usaha kecil menengah gulung tikar, masyarakat kehilangan pekerjaan, kelaparan menghantui di depan mata.
Semua dampak pahit yang mendera masyarakat akibat pandemi covid-19 adalah gejala krisis yang jika gagal ditangani bisa berubah menjadi krisis sosial besar yang mengancam pemerintah.
Berbagai jurus telah dikeluarkan pemerintah untuk memutus mata rantai penyebaran virus covid-19. Namun, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sepertinya kurang mujarab untuk melawan pandemi sehingga laju penyebaran virus terus meningkat.
Salah satu dari sekian kebijakan yang diberlakukan pemerintah adalah new normal, yaitu adaptasi kebiasaan baru dengan mengikuti protokol kesehatan agar tetap bisa menjalankan aktivitas secara normal seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan cuci tangan.
Penerapan new normal memang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh rakyat Indonesia guna memutus mata rantai penyebaran virus covid-19. Selain penerapan new normal ada juga kebijakan-kebijakan lain yang dianggap up normal di tengah pandemi seperti memberi izin masuk tenaga kerja asing (TKA) yang berasal dari negara virus covid-19 berasal yaitu China. Belum lagi carut marut politik di tengah pandemi sehingga menimbulkan sakit hati mayoritas rakyat akibat para pejabat yang tidak bisa menjaga lidah.
Kebijakan lain yang dinilai up normal adalah pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang telah diputuskan bakal digelar serentak pada 9 Desember 2020. Gelaran pilkada serentak di tengah pandemi dikhawatirkan dapat menjadi kluster baru penyebaran covid-19. Lain halnya jika pilkada dilaksanakan secara daring tentu semua pihak bisa memakluminya.
Sejumlah pakar juga sudah bersuara menyarankan pemerintah untuk menunda pilkada di tengah pandemi dengan berbagai pertimbangan dan menawarkan opsi-opsi lain. Namun pemerintah tidak bergeming. Boleh jadi menurut pemerintah demokrasi jauh lebih penting dari pada kesehatan.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: The Jakarta Post
No comments:
Post a Comment