Oleh: Romi Afriadi
Sebelum menjadi mahasiswa pada salah satu kampus di Pekanbaru, keberadaan dan peranan pustaka begitu asing dalam kehidupan saya. Maklum, di kampung ketika itu tidak ada satu pun pustaka yang dikelola oleh pemerintah dan instansi terkait. Pustaka hanya tampak di sekolah, tetapi terpinggirkan dalam keseharian.
Pustaka di sekolah hanyalah sebuah ruangan tak penting bagi seluruh penghuni sekolah, yang dikunjungi karena keterpaksaan. Setidaknya itulah yang saya rasakan selama menjadi pelajar, baik di tingkat SMP atau SMA. Waktu luang lebih khidmat jika dihabiskan dengan berkumpul di kantin, parkir, dan taman sekolah, lebih asyik pula dirayakan dengan berolahraga.
Salah satu faktor kemalasan, kenapa saya dan barangkali pelajar lainnya malas berkunjung ke pustaka karena tidak adanya lingkungan literasi yang baik di sekolah, budaya membaca dianggap sepele.
Selama 9 tahun mengemban status sebagai pelajar di tiga jenjang dan sekolah berbeda, praktis saya tak pernah mendapati guru-guru yang gila baca, guru yang menenteng buku ke mana-mana. Pustaka sekolah pun hanya didirikan untuk penunjang sarana, cuma berguna saat proses akreditasi berlangsung. Dengan kondisi itu, otomatis saya tak punya mentor dan teladan yang mencontohkan secara langsung betapa jalan-jalan ke pustaka itu ternyata wisata ilmu.
Selain itu, faktor lain yang juga gagal menjadikan pustaka sebagai pusat ilmu di sekolah adalah minim dan terbatasnya koleksi bacaan. Rak-rak buku hanya diisi oleh buku pelajaran terbitan lama. Padahal selera murid untuk mengonsumsi bacaan tersebut amat payah.
Dalam rentang usia anak sekolah, memang lebih tertarik dengan cerita-cerita atau buku bergambar semisal komik.
Hubungan saya dengan pustaka sedikit membaik memasuki dunia universitas, meski tak bisa dikatakan intensif untuk ukuran pengunjung aktif. Pengalaman pertama saya menapaki perpustakaan kampus juga mengandung unsur keterpaksaan. Itu terjadi saat hadir sebagai peserta orientasi perpustakaan yang memang jadi agenda wajib kampus untuk mahasiswa baru.
Keterkaitan saya lebih mendalam pada pustaka juga lahir dari sebuah keisengan. Kunjungan tak sengaja yang berawal dari niatan ingin menemani kawan untuk mencari referensi tugas makalah. Secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku tergeletak di meja. Buku itu bersampul putih, dengan latar padang pasir dan piramida, serta seorang perempuan berkerudung putih.
Berniat melawan rasa bosan, saya mengambil buku itu dan membacanya. Tak dinyana, saya justru terjerumus dalam lautan kata-kata, larut dalam dunia cerita, hingga tanpa disadari sudah menamatkan 50 halaman lebih.
Hari itu, saya tak menyelesaikan pembacaan atas buku itu, karena saya keburu pulang dan hari menginjak siang. Namun teriring rasa penasaran, saya bepergian sendirian keesokan harinya ke pustaka, mencari buku tersebut, hingga melahapnya sampai halaman terakhir.
Saya masih ingat buku itu, berjudul “Lelaki Asing dan Kota Kairo”, ditulis oleh Aguk Irawan MN. Itulah awal yang membentuk saya menjadi seorang pembaca.
Namun perpustakaan yang paling melekat dalam ingatan saya tentu saja Perpustakaan Soeman. HS yang merupakan pustaka terbesar di Provinsi Riau. Pustaka ini oleh masyarakat setempat disebut Puswil (Pustaka Wilayah). Pustaka ini terletak di tengah kota Pekanbaru, bersebelahan dengan kantor gubernur dan sejumlah bangunan penting lainnya.
Dengan letak yang strategis dan mudah dijangkau, tak heran banyak pengunjung yang datang tiap hari. Baik mahasiswa yang hendak menulis skripsi, atau masyarakat umum. Pada hari tertentu, juga terpadat pengunjung dari luar daerah di Riau.
Pustaka Soeman. HS dikemas dengan gaya seni yang tinggi, arsitekturnya unik, terinspirasi dari alas Al-Quran dan menyerupai bentuk buku terbuka.
Soeman. HS bukan sekadar dijadikan tempat membaca semata. Tapi sekaligus jadi ikon kota yang disandingkan dengan paket wisata. Halamannya menjadi ruang publik. Saban waktu diramaikan dengan pagelaran kesenian dan budaya, diskusi atau peluncuran buku.
Pustaka ini mengoleksi jutaan judul buku, baik buku klasik dari penerbit lama, maupun terbitan baru. Bukan cuma buku, perpustakaan Soeman. HS juga turut menyimpan bermacam arsip penting. Terkenal pula dengan simpanan literatur Melayu yang cukup lengkap, bagian ini terletak di ruang bernama Bilik Melayu. Bahkan, juga menyimpan ratusan skripsi dari berbagai mahasiswa di universitas yang ada di Pekanbaru.
Berkenalan dengan pustaka Soeman. HS membuat saya memiliki pengetahuan baru soal pustaka. Ternyata pustaka bukan saja tentang bangunan kecil, sempit, dan sumpek, dengan buku-buku berdebu tersebab jarang tersentuh. Di pustaka itu, saya mendapati kemegahan dan keindahan. Buku tersusun rapi, berjejer sesuai jenis dan genre, tempat baca nan luas, udara berpendingin, serta adanya layanan multimedia.
Kendati tak cukup sering berkunjung semasa kuliah, karena jarak tempat saya kuliah dengan pustaka Soeman. HS lumayan jauh. Namun spirit membaca saya begitu terlecut oleh pustaka ini.
Soeman. HS secara tidak langsung memotivasi saya sebagai pembaca dengan jutaan buku yang tersebar di dalamnya. Menjadi kebanggaan tersendiri, karena begitulah seharusnya sebuah pustaka menjamur di berbagai sudut kota, hingga pelosok desa.
Kehadiran pustaka Soeman. HS jelas membawa dampak positif terhadap perkembangan minat baca pengunjung. Di tengah keberadaan pustaka yang mengalami ketersendatan di banyak tempat, apalagi di daerah, tak jarang pustaka beralih fungsi jadi bangunan lain karena terus terpinggirkan.
Pustaka Soeman. HS jelas menawarkan konsep berbeda dibanding pustaka kebanyakan. Bukan karena kemegahan gedungnya saja, tapi opsi atau pilihan yang beragam.
Berkunjung ke sana, tak cuma di hadapkan dengan buku. Kita bisa bersantai sambil membaca koran harian, tersedia pula belasan komputer hampir di setiap lantai, komputer itu bisa diakses dan dipergunakan para pengunjung.
Tiap lantai di pustaka Soeman. HS memang punya keunggulan dan koleksi buku tersendiri. Di lantai dasar, terdapat koleksi buku anak. Di sini pula, para pengunjung harus menitipkan tas dan barang bawaan di rak khusus penyimpanan. Di lantai dua, koleksi didominasi oleh bacaan remaja. Beranjak ke lantai tiga, barulah bacaan untuk pengunjung dewasa, di lantai ini pula, terdapat Bilik Melayu. Sementara di lantai empat, lima, dan enam, tak terlalu didominasi buku, hanya ada buku ensiklopedia dan majalah. Lantai ini lebih banyak diisi ruang konferensi, diskusi, dan serbaguna.
Pada dinding luar perpustakaan Soeman. HS juga terdapat ukiran dan relief yang bercita rasa seni tinggi. Salah satunya terdapat di depan pintu masuk, ada relief yang berisi sajak dan tunjuk ajar Melayu. Ada pula relief yang menerangkan semangat masyarakat dalam bermacam bidang, di antaranya, bidang pendidikan, ekonomi, pariwisata, seni dan budaya.
Saya sering membayangkan, andai saja di setiap daerah, baik kabupaten maupun kecamatan juga tersedia layanan pustaka sebaik dan sebagus pustaka Soeman. HS. Tentu tidak tertutup kemungkinan lahirnya gairah masyarakat dalam berkunjung ke pustaka. Sehingga setiap anak di kampung, tak lagi merasa asing dengan pustaka, sebagaimana kisah saya waktu kecil.
Saat ini memang terdapat perbedaan yang mencolok di segala unsur antara pustaka Soeman. HS dengan pustaka lain yang ada di Riau. Kesenjangan itu tercipta karena tata kelola pustaka yang tidak baik, tidak menawarkan suatu wahana yang memancing masyarakat untuk berkunjung ke pustaka.
Cap Indonesia sebagai masyarakat yang payah dalam membaca, tentu harus diimbangi dengan keseriusan mengembangkan perpustakaan di daerah. Tentu itu bukanlah suatu kemustahilan, jika pemangku jabatan menemukan kata sepakat dan komitmen membangun bidang ini.
Saat kita percaya bahwa pustaka adalah pembentuk peradaban, maka dengan sendirinya akan timbul pula kesadaran berapa vital kehadirannya. Sehingga membaca bukan lagi dianggap pekerjaan menghabiskan waktu dan cenderung sia-sia.
Pembiasaan membaca harus dimulai sejak dini dengan sarana yang mendukung yang memadai. Jika terdapat pustaka yang indah dan nyaman, membaca pun akan menjadi ritual keseharian yang menyenangkan.
Saya masih ingat, ketika bersekolah dulu kami sekelas diajak guru belajar ke pustaka. Ajakan itu akan diiringi dengan nada mengeluh karena akan disuruh membaca. Betapa membaca jadi momok menakutkan bagi benak saya dan anak-anak seisi kelas, betapa membosankan dan monoton. Karena lingkungan tinggal sejak kecil, sama sekali tak pernah mendukung kami untuk rajin membaca.
Kondisinya mungkin akan lain, andai di tempat saya tinggal, ada pustaka seperti Soeman. HS. Tanpa disuruh pun, anak-anak akan dengan senang hati menghabiskan hari di sana dengan bermacam kesibukan.
Kini, setelah saya selesai menamatkan perguruan tinggi lalu memilih pulang kembali ke kampung halaman sebagai pengajar, saya tetap tak alpa untuk menjenguk pustaka Soeman. HS saban berada di Pekanbaru. Itu sudah jadi semacam rute wajib dalam daftar kunjungan saya. Tiap menjumpainya, saya tak pernah kecewa, karena pustaka Soeman. HS selalu bersolek dan menciptakan inovasi agar kian ramai dikunjungi.
Pada akhir pekan, puluhan anak-anak memenuhi lantai dasar. Ada anak yang ikut orang tuanya, ada pula yang dikomando para gurunya. Mereka bermain dan belajar, mendongeng, menggambar, atau menulis.
Nuansa gembira terlihat dalam rona wajah mereka yang lucu. Di teras pustaka, beberapa kelompok dan komunitas seni rajin menggelar pertemuan dan diskusi. Pustaka Soeman. HS berkembang dan melebarkan sayap hingga bisa jadi salah satu opsi untuk menghabiskan waktu libur.
Tak cukup sampai di situ, pustaka Soeman. HS menambah jam pengunjung pada akhir pekan. Sesuai dengan instruksi pemerintah dan dinas terkait, diputuskanlah pustaka akan dibuka pada malam Sabtu hingga pukul sepuluh malam. Acara malam Minggu itu kerap diramaikan oleh puluhan komunitas yang tampil dalam satu panggung. Ada yang memamerkan pembacaan puisi, musikalisasi, tampilan tari, dan perbincangan seputar kesenian pada umumnya.
Geliat Soeman. HS tak pernah luntur dalam mengembangkan peradaban serta meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul.
Saya kembali dalam lamunan, suatu hari, alangkah menyenangkan menyaksikan pemandangan serupa itu turut pula hadir di berbagai pustaka daerah yang ada di Riau.
Pustaka jangan lagi dikonotasikan sebagai gedung penyimpan arsip masa lalu yang tidak laku. Sudah sepatutnya, pemerintah setempat menggalakkan pengembangan pustaka bukan hanya di pusat pemerintahan saja, tapi juga di daerah-daerah. Yakinlah! Pustaka yang bagus akan ikut mendongkrak peradaban kita ke arah lebih maju.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Swiss Bell
No comments:
Post a Comment