Oleh : Muhajir Al-Fairusy
Beberapa bulan lalu, Aceh digemparkan oleh pengumuman dan pemberitahuan bagi nasabah Bank seluruh Aceh, terutama BRI untuk mengonversi buku tabungan dan ATM dari bentuk konvensional menjadi syariah, yang dikenal luas istilah BRIS (BRI-Syariah). Sontak, seluruh nasabah harus rela antri berjam-jam demi menyelamatkan nasib tabungan mereka. Setidaknya, ada beberapa pilihan, bertahan di BRI konvensional, namun harus membuka rekening di luar Aceh, atau konversi ke Syariah yang tetap di Aceh. Terkesan pemaksaan memang. Apalagi, pasca konversi, banyak nasabah menggerutu.
Selain mesin ATM yang kerap macet karena proses penyesuaian sistem ke BRIS, akibatnya banyak nasabah tak bisa menarik uang. Bahkan, beberapa pedagang online mengeluh akibat ongkos transaksi yang lebih mahal.
Lalu, di mana nilai tawar syariahnya? Karena toh bunga bank tetap berlaku bagi para kreditur. Bahkan, sempat muncul sindirian “…Bungong bank syariah, tuha adoe ngon adun.” Bunga bank-nya bak mahalnya bunga janda bolong yang kini digandrungi oleh para perempuan. Tentu, pertanyaan ini terus dibatini oleh segenap nasabah, termasuk saya, di mana keistimewaan “syariah”-nya.
Syaritisasi memang telah menjadi bagian, sekaligus irisan bagi platform baru dalam konteks pembangunan Aceh. Tidak hanya dalam hal pendisiplinan tubuh akar rumput pada beberapa kasus, pun kini merambah dalam konteks lebih luas, kontrol atas lembaga keuangan.
Dari diskusi dengan beberapa teman yang menempuh studi ekonomi syariah, mereka mendeskripsikan letak keistimewaan Bank Syariah adalah pada prinsip istilah-istilah keuangan Islam, seperti adanya akad, konsep bagi hasil dan menjauhi praktik yang terkesan riba. Misalnya, jika dulu nasabah ingin membeli rumah, lalu ia meminjam uang ke bank dengan pola kredit. Maka, Bank Syariah mengatur transaksi seperti Bank yang membeli rumah, dan nasabah selanjutnya membeli ke Bank dengan harga yang telah disepakati.
Namun, di sisi lain, praktik bank tak sepenuhnya berbeda dari konvensional, ya namanya “bank.” Bagaimana pun, bunga Bank Syariah masih menjadi momok bagi nasabah yang sama dengan praktik konvensional. Jika telat dibayar, tentu tagihan juga akan tetap datang.
Daripada pusing mikirin bank yang kini telah bertransformasi menjadi lebih agamis kesingnya, ada baiknya kita menyoroti mengapa Pemerintah Aceh tidak ikut mensyaritisasi lembaga SKPA-nya yang terhimpun dari dinas-dinas.
Syaritiasasi SKPA mungkin akan menjadi salah satu bentuk keistimewaan dan kekhususan Aceh, karena tak ada di provinsi lain. Memang, selama ini telah ada Dinas Syariat Islam. Meskipun, keberadaan dinas ini tak berbeda dengan dinas lain di Aceh dalam hal birokrasi.
Tentu, tak sekadar menambah kata syariat di depan dinas, misal Dinas Pertambangan Syariah, Dinas Kehutana Syariah, Dinas Kelautan Syariah, dan lain-lain. Perubahan bentuk tersebut juga harus diikut dengan mengubah konsep berpikir sekuler birokrasi yang kerap mengabaikan nilai agama selama ini. Misalnya, bagaimana kehadiran Dinas Kesehatan Syariah benar-benar menerapkan nilai Islami dalam pelayanan kesehatan. Kehadiran Dinas Kehutanan Syariah dampaknya akan dirasakan oleh segenap masyarakat, di mana konservasi hutan menjadi prioritas dengan segenap perlindungan satwa di dalamnya. Paling penting, tak mudah mengeluarkan HGU bagi pemodal.
Di sisi lain, SKPA Syariah juga dapat menunjukkan perbedaan dengan SKPD lainnya di Indonesia. Dalam konteks biaya perjalan dinas misalnya, bagaimana nilai Islami dihadirkan, tak lagi banyak bergentayangan SPPD fiktif dan bon kosong. Pengadaan barang dan jasa yang transparans, tak lagi sembunyi-sembunyi. Intinya, SKPA Syariah adalah SKPA yang bebas dari perilaku korup dan menonjolkan nilai Islam seutuhnya sebagai mental berpikir dan bertindak manusia Aceh yang telah memproklamirkan diri sebagai bangsa bersyariah.
Jika selama ini, kendaraan dinas hanya sekadar difungsikan untuk mengangkut eselon dinas dari rumah ke kantor, dapat difungsikan pula sekali-kali untuk kebutuhan rakyat yang lebih luas.
Jika SKPA syariah dapat dikonstruksikan, maka ke depan Aceh harus bergerak lebih luas lagi dalam hal syaritisasi lembaga, termasuk lembaga DPRA, Kantor Gubernur, dan Wali Nanggroe yang selama ini dipandang sakral harus mendapat lebel syariah, agar kehadirannya benar-benar dirasakan oleh segenap kaum Muslimin dan Muslimat yang hidup di bumi Aceh.
Tentu, jika mereka membelakangi hak rakyat, dan mengabaikan nilai keislaman dalam praktiknya karena telah mencatut syariah lalu mempercundanginya, maka azab Tuhan amat pedih di akhirat nanti.
Editor: Khairil Miswar
Ilustrasi: Sawaleif
No comments:
Post a Comment