Saya menyenangi tiga politisi ini: Teuku Irwan Djohan, Kautsar dan Asrizal H Asnawi. Ada beberapa alasan, pertama, tentu saja, karena saya mengenal ketiganya secara personal.
Dengan Irwan, saya mengenalnya ketika pertama kali dia terjun ke politik di Pilkada Kota Banda Aceh tahun 2012. “Pekerjaan gila,” katanya. Irwan saat itu tidak dikenal sebagai politisi. Dia lebih diingat sebagai anak gedongan Banda Aceh, aktif di dunia radio dan ikut membidani jurnalisme investigasi di Aceh ketika konflik sedang berlangsung. Selebihnya, Irwan adalah pecinta Persiraja.
Mengenai Kautsar, saya lebih awal mengetahuinya, baru mengenalnya. Dia aktivis dalam pengertian sebenarnya: radikal. Aktivismenya dikenal ketika melakukan dari mogok makan, melawan tentara di kota dan bergabung dengan GAM di gunung. Setelah tsunami, ketika saya aktif di dunia CSO, baru mulai mengenalnya secara personal.
Sedangkan dengan Asrizal, saya dikenalkan oleh Hasan Kaoy Almoedjaahied, anak Husin Al Mujahid. Om Acang, begitu saya memanggilnya, mengajak saya beberapa kali berjumpa dengan Asrizal. Walau sebelumnya, saya sudah berjumpa dengan Asrizal di dalam forum yang sedikit menegangkan.
Saya tidak tahu, apakah Asrizal masih mengingatnya.
Satu hari, sepertinya di tahun 2018, Pusat Studi Pancasila yang saya bentuk bersama teman-teman di IAIN Langsa, mengadakan seminar nasional. Saya mengundang Asrizal secara personal. Dia menyanggupi untuk hadir. Sejak acara berjalan, dia mulai gelisah. Dalam perspektifnya, topik yang disampaikan oleh salah satu pembicara dapat mengancam pemikiran peserta yang rata-rata mahasiswa.
Saya masih ingat, ketika dia mengatakan dengan mata yang agak mendelik, “Ini bahaya! Mahasiswa yang pikirannya kosong akan terpengaruhi. Saya harus bicara.” Celakanya, saya yang duduk di sampingnya sejak awal acara, melarangnya berbicara. Dia terlihat jengkel. Lalu meninggalkan ruangan sebelum acara berakhir.
Saat itu, saya berpikir, hubungan dengan Asrizal akan bermasalah. Tetapi, anggapan saya itu keliru. Sore harinya, di salah satu warung kopi di Langsa, saya dan beberapa teman duduk untuk mengevaluasi acara yang baru saja diadakan itu. Ternyata, di tempat yang sama, Asrizal sedang mengadakan kegiatan tatap muka konstituennya. Melihat kami yang berada di meja lain, dia beranjak dan mendatangi meja kami untuk bersalaman dan bertegur sapa. Ketegangan yang sempat muncul pada pagi harinya, seperti tidak pernah terjadi.
Alasan kedua, saya menyenangi ketiganya karena mereka merupakan politisi yang datang dari elite politik tradisional Aceh. Mereka bukan orang asing di tengah hiruk pikuk dunia politik saat ini. Secara genealogis, mereka mewarisi darah politisi.
Irwan merupakan anak dari HT. Djohan; tentara sukses, bangsawan Aceh Besar dan politisi ulung dari partai Golkar. Djohan, begitulah dia dingat, menjadi tinggi posisi tawar moralnya karena mewariskan satu narasi: melawan LB. Murdani, Panglima ABRI saat itu yang otomatis menjadi atasannya, dalam kasus pembangunan kembali gereja yang terbakar di Banda Aceh.
Djohan menolak pembangunan itu dilakukan. Konsekuensinya karier militer dia mati. Jadi, Irwan ketika memutuskan turun ke gelanggang politik Aceh membawa nama besar itu. “Irwan yang mana? Itu, Irwan anak Pak HT. Djohan.”
Kautsar pun demikian. Walau dia berlari ke sana kemari. Tetap saja, Kautsar adalah anak Muhammad Yus, politisi PPP. Sekeras apapun Kautsar melakukannya sepanjang karier aktivisme dan politiknya, dan dia benar-benar melakukan hal tersebut; untuk tumbuh tidak sebagai anak Muhammad Yus. Dia lakukan itu mulai dari memilih SMUR daripada PII, bergabung dengan PA daripada dengan PPP, bahkan terakhir tetap memilih partai politik berhaluan nasional daripada partai Islam. Namun, publik kini lebih mengenalnya dengan nama lengkap, Kautsar Muhammad Yus.
Demikian juga dengan Asrizal. Dia mewarisi darah politik dari ayahnya, Asnawi Ali. Asnawi senior merupakan pengusaha sukses, politisi PAN, pernah menjadi anggota DPRK Aceh Tamiang. Jadi, keberadaan Asrizal di atas panggung politik Aceh, seperti juga Irwan dan Kautsar, seperti melanjutkan tradisi keluarganya.
Namun di luar dua alasan di atas, saya menyenangi ketiganya karena dua perihal penting ini: Mereka sudah teruji dan membawa gagasan dalam berpolitik.
Irwan Djohan, yang sebelumnya gagal dalam Pilkada Kota Banda Aceh, kini duduk dua periode sebagai anggota legislatif. Bahkan, pada periode pertamanya, Irwan langsung melejit dan duduk sebagai wakil ketua DPRA. Ketika partainya oleng pada Pemilu 2019 lalu, Irwan juga tetap bertahan di kursi parlemen.
Kausar Muhammad Yus, walau gagal pada Pemilu 2019 lalu, pernah menjadi anggota DPRA periode sebelumnya dan memegang jabatan strategis sebagai ketua Fraksi PA. Kini, dia menjadi lingkaran penting partai Demokrat Aceh.
Asrizal Asnawi juga demikian, walau pernah gagal ketika mencoba kursi DPD pada Pemilu 2009, kini tercatat sebagai anggota DPRA selama dua periode.
Bagi yang memahami tradisi politik di tanah air, memiliki umur panjang dalam politik, bukanlah hal sederhana. Dibutuhkan energi berlipat untuk berada pada level itu.
Kini, sayup-sayup, ketiga nama itu dihubung-hubungkan dengan Pilkada yang akan berlangsung dua tahun mendatang. Ini tentunya rumor. Tetapi, bukankah setengah dari politik itu adalah rumor.
Irwan dan Kautsar digadang-gadang akan turun gelanggang di Pilkada Kota Banda Aceh. Sedangkan Asrizal, sepertinya sudah mulai menampakkan sinyal akan bertarung di Pilkada Aceh Tamiang.
Saya berharap, ini tidak sekadar rumor. Banda Aceh sebagai wilayah terpenting di Aceh membutuhkan pemimpin yang memiliki visi progresif, hal tersebut ada pada Irwan dan Kautsar. Entah nantinya mereka akan saling berkontestasi atau bersinergi.
Begitu juga dengan Aceh Tamiang, satu wilayah yang strategis karena kekayaan alam, letaknya pada perbatasan Aceh dan sangat plural secara kebudayaan, membutuhkan pemimpin yang dapat memastikan ketiga hal tersebut dapat dikelola dengan baik, bukannya menjadi malapetaka. Asrizal, saya lihat, memiliki kemampuan untuk mengelola hal tersebut.
Namun tentu saja, politik tidak sesederhana yang saya gambarkan sejak awal. Politik pada titik tertentu adalah praktik gaib, hanya politisilah yang tahu kemana semua keputusan bermuara. Di luar mereka, biasanya hanya dapat memberi tepuk tangan dari jauh, yang bisa riuh sekali atau datar-datar saja.
Tetapi, dari ketiga nama itu, kita dapat berharap, kalau dunia politik kita dapat beranjak menjadi lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment