Oleh: Sabena Siddiqui
Ketika transisi pemerintahan AS pada Januari 2021 semakin dekat, kebijakan Washington vis-a-vis Timur Tengah diperkirakan akan berubah dalam beberapa bulan mendatang.
Dari semua negara GCC, dampak paling dramatis akan dirasakan Arab Saudi setelah pemerintahan Biden mengambil alih.
Meskipun pernah memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan Trump, namun Riyadh bisa merasa kecewa karena akan kehilangan beberapa hak istimewa yang diberikan oleh pemerintah sebelumnya. Menariknya, Riyadh juga mengambil sikap berhati-hati dan lambat menanggapi berita kemenangan Biden. Sepertinya ada kekhawatiran dari Saudi untuk memberi selamat kepada Presiden AS terpilih.
Yasmine Farouk, visiting fellow di Program Timur Tengah di Carnegie Endowment for International Peace, mengatakan bahwa, “Mereka akan kehilangan kekebalan penuh yang telah diberikan Trump dan juga akses pribadi.”
Lebih lanjut, Presiden terpilih Joe Biden telah berjanji untuk “menilai kembali” hubungan AS dengan Arab Saudi. Karenanya, Riyadh bisa saja mengalami kemunduran di beberapa bidang utama.
Pertama, setelah bersumpah untuk mengakhiri dukungan AS ke Arab Saudi dalam perang Yaman, Biden menyatakan bahwa penjualan senjata juga dapat dihentikan. Baru-baru ini, dia mengatakan kepada Dewan Hubungan Luar Negeri bahwa dia akan “mengakhiri dukungan AS untuk perang yang dipimpin Saudi di Yaman dan memerintahkan penilaian ulang hubungan dengan Arab Saudi.”
Menolak tekanan dari Kongres untuk mengekang penjualan senjata ke Riyadh, pemerintahan Trump telah membalikkan langkah-langkah yang diambil oleh mantan presiden Barack Obama untuk mengurangi bantuan militer dan intelijen AS ke Kerajaan. Akibatnya, Washington telah memberikan dukungan logistik dan intelijen kepada pihak Saudi dalam perang di Yaman.
Sementara itu, resolusi untuk mengakhiri keterlibatan AS dalam perang disahkan oleh kedua majelis Kongres, tetapi diveto oleh Trump. Menurut Gregory Johnson, mantan anggota Panel Ahli Dewan Keamanan PBB untuk Yaman, “Pemerintahan Biden dapat memberi pengaruh yang sangat positif dalam mengakhiri perang di Yaman. AS mungkin adalah satu-satunya negara yang dapat memberikan tekanan diplomatik pada Arab Saudi untuk mengakhiri perang di Yaman.”
Oleh karena itu, pembatasan penjualan senjata kemungkinan akan diterapkan sekali lagi karena AS sedang mencoba menstabilkan zona konflik di Timur Tengah dengan kesepakatan damai atau gencatan senjata.
Namun, Kristian Ulrichsen, fellow untuk Timur Tengah di Universitas Rice, mengatakan bahwa AS akan melepaskan diri dari Yaman tetapi tidak akan menghentikan semua penjualan senjata karena Washington tidak ingin kehilangan bisnis dengan Saudi. Sebaliknya, “penjualan senjata akan bersifat defensif daripada ofensif.”
Dari 2014 hingga 2019, penjualan senjata AS ke Arab Saudi menghasilkan seperempat dari semua penjualannya, menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Kedua, Joe Biden lebih cenderung untuk memasuki kembali kesepakatan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) 2015 dengan Iran, yang ditarik Trump pada 2018. Dia menyebutnya sebagai “kesepakatan terburuk yang pernah ada”.
Beberapa bulan sebelum pemilihan, Biden menulis dalam sebuah op-ed bahwa dia mendukung untuk masuk kembali ke JCPOA, mengatakan bahwa, “Saya akan menawarkan Teheran jalan yang kredibel untuk kembali ke diplomasi. Jika Iran kembali ke kepatuhan ketat dengan kesepakatan nuklir, Amerika Serikat akan bergabung kembali dengan perjanjian tersebut sebagai titik awal untuk negosiasi lanjutan.”
Sementara itu, Riyadh tidak pernah menyetujui kesepakatan nuklir. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, mengkritiknya di sebuah media di Riyadh tahun lalu, mengatakan bahwa itu adalah bencana karena tidak memperhitungkan program rudal Iran yang luas atau perkembangan milisi proksi di seluruh Timur Tengah.
Namun, pemerintahan Biden sepertinya tidak akan terpengaruh oleh sekutu regional seperti Arab Saudi dalam rencananya untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir.
Ada sedikit kesempatan bagi pemerintahan Biden karena pemerintah saat ini di Teheran tidak menolak untuk merundingkannya kembali. Namun jika kelompok garis keras memenangkan pemilihan umum Iran pada bulan Juni tahun depan seperti yang diperkirakan, mungkin akan ada lebih banyak komplikasi.
Pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, kepala organisasi penelitian dan inovasi kementerian pertahanan Iran dan tokoh kunci dalam program nuklir Teheran, juga dapat mempersulit Joe Biden untuk membawa Washington dan Teheran ke pemahaman baru.
“Tujuan membunuh Fakhrizadeh adalah untuk lebih meningkatkan permusuhan dan menciptakan penghalang untuk diplomasi di bawah pemerintahan Biden yang baru,” kata Dr. Assal Rad, seorang peneliti senior di Dewan Nasional Iran Amerika, kepada The New Arab.
Namun, sanksi yang dijatuhkan oleh Trump memberi Washington pengaruh yang cukup besar. Mencabut semua batasan mungkin sulit tetapi beberapa sanksi kecil seperti larangan perjalanan atau larangan yang membatasi impor kemanusiaan kemungkinan besar akan segera dihapus.
Ketiga, blokade Qatar kemungkinan akan berakhir di bawah pemerintahan baru. Pemerintah Trump telah melakukan upaya untuk mengakhiri keretakan antara Doha dan negara-negara GCC lainnya, termasuk Arab Saudi, UEA, Mesir, dan Bahrain. Negosiasi telah berlangsung selama berbulan-bulan untuk mencabut blokade sebelum Trump menyerahkan kekuasaan, dan rekonsiliasi antara anggota diperkirakan akan berlangsung di KTT Dewan Kerjasama Teluk.
Terletak di Qatar, pangkalan udara Al-Udeid adalah pangkalan paling strategis dan penting bagi Pentagon di Timur Tengah di mana semua operasi udara di wilayah Komando Pusat, dari Suriah hingga Afghanistan, diarahkan dari sana.
Dan terakhir, di bawah Biden mungkin ada kekhawatiran baru tentang hak asasi manusia di Kerajaan. Meskipun ada kata-kata keras selama kampanye pemilu, namun pendekatan yang lebih seimbang biasanya akan diadopsi oleh politisi setelah mengambil alih kekuasaan.
Saudi mungkin bukan satu-satunya negara Teluk yang terkait dengan hak asasi manusia, tetapi negara itu menonjol dalam beberapa hal, yang terburuk adalah pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi pada Oktober 2018 di konsulat Riyadh di Istanbul.
Pada saat itu, pemerintah AS agak toleran dengan Kerajaan meskipun ada protes atas catatan hak asasi manusianya. Setelah memberikan ruang kepada Arab Saudi setiap kali terlibat dalam kontroversi, pemerintahan Trump juga mendukung karena persahabatan antara Jared Kushner dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Trump juga telah memilih Riyadh untuk kunjungan presiden pertamanya pada tahun 2017.
Terlepas dari beberapa indikasi buruk dari pemerintahan Biden yang akan datang, namun hubungan Saudi-AS telah melewati dinamika dan tetap berkelanjutan bahkan melalui titik-titik rendah.
Tetapi kali ini, terlepas dari ketahanan kemitraan strategis AS-Saudi, pasti ada beberapa perbedaan dan hubungan yang bisa menjadi tidak penting untuk waktu dekat.
*Sabena Siddiqui adalah jurnalis urusan luar negeri, pengacara dan analis geopolitik yang mengkhususkan diri pada China modern, Timur Tengah dan Asia Selatan.
Sumber: The New Arab
Terjemahan bebas Bagbudig
No comments:
Post a Comment