Sultan Oman, Haitham Bin Tariq, telah menyetujui peluncuran Visi 2040 negara itu yang akan efektif dimulai tahun depan, menurut pengumuman oleh Kementerian Luar Negeri.
Proyek ambisius itu diresmikan pada 2018 di bawah Sultan Qaboos Bin Said, yang meninggal awal tahun ini, dan berupaya membawa kesultanan tersebut ke dalam jajaran negara paling maju di dunia.
Inisiatif ini tidak terlalu berbeda dengan Visi Arab Saudi 2030 di mana kedua negara berharap untuk beralih dari ekonomi pasca-minyak, menuju ekonomi berbasis pengetahuan yang lebih berkelanjutan.
Berbeda dengan tetangga regionalnya di Teluk, Oman memiliki sumber daya alam yang lebih sedikit untuk diandalkan dan memiliki defisit anggaran terbesar di antara negara-negara Teluk Arab. Seperti kebanyakan negara, negara itu juga terpengaruh oleh pandemi virus corona dan penurunan pendapatan minyak.
Namun, menurut Muscat Daily, Bank Sentral Oman (CBO) mengatakan pada hari Selasa bahwa risiko yang ditimbulkan oleh kedua faktor ini terhadap stabilitas keuangan kesultanan “terkendali dengan baik”.
Laporan Stabilitas Keuangan (FSR) 2020 telah mengindikasikan bahwa meskipun PDB nominal Oman menurun tahun lalu karena harga minyak yang lebih rendah, namun kesultanan menyaksikan peningkatan aktivitas ekonomi yang diukur dengan harga dasar bersama dengan inflasi yang rendah.
“Sementara itu, mengatasi twin deficit dan tingkat utang publik tetap menjadi prioritas utama kebijakan makroekonomi di Oman untuk menjaga stabilitas makro-finansial ekonomi dalam jangka menengah sesuai dengan Visi Oman 2040,” kata CBO.
Pada bulan Oktober, Oman menerima $ 1 miliar bantuan keuangan langsung dari Qatar dalam upaya membantu mengurangi krisis ekonominya.
Mulai April tahun depan, Oman akan menjadi negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC) keempat yang menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif standar lima persen dan mengikuti Bahrain, Arab Saudi, dan UEA.
Sumber: Middle East Monitor
Terjemahan bebas Bagbudig
No comments:
Post a Comment