Oleh: Assia Belgacem*
Buku The Invisible Muslim: Journeys Through Whiteness and Islam oleh Medina Tenour Whiteman adalah refleksi yang tulus tentang ras, identitas, dan pengalaman penulis sebagai seorang Muslim kulit putih.
Namun, uraian buku ini tidak lengkap, karena The Invisible Muslim bukanlah memoar yang biasa. Salah satu faktanya mencakup analisis mendalam tentang berbagai aspek dunia Muslim melalui peristiwa sejarah yang relevan dengan perjalanannya.
Di tengah-tengah sejarah, perjalanan, dan Islam, ada yang mencolok dari penulis yang hadir dengan keistimewaan kulit putih. Meski sekilas, kulit putih dan identitas ras tampaknya menjadi inti dari memoar ini, namun itu hanya setetes air di lautan karena tema utamanya adalah keanekaragaman alam umat.
Genre non-fiksi dari buku tersebut tidak menghalangi penulis untuk menulis dengan prosa yang indah dan analogi yang sama indahnya untuk menggambarkan perspektif yang berbeda tentang masalah yang diangkat.
Selain itu, sejumput humor juga ditaburkan di seluruh buku untuk mengimbangi tema yang lebih berat, menciptakan rasa keakraban antara penulis dan pembaca.
Medina Tenour Whiteman lahir dari orang tua Sufi di Granada, Spanyol tetapi dibesarkan di “daerah Essex yang lebih putih dari kulit putih”. Dia adalah warga negara Amerika dan saat ini tinggal di Granada bersama suami dari Iran dan tiga anaknya.
Di antara masa mudanya di Inggris dan lokasinya saat ini, banyak perjalanan terjadi. Dia mengunjungi Kenya, Tanzania, Bosnia dan Andalusia. “Masa muda saya ditandai dengan tumbuhnya perasaan bahwa saya berada di tempat Islam yang asing dan samar-samar, tidak terhubung dengan negeri tertentu namun tetap bukan Inggris”.
Dia aktif mempelajari dunia Muslim dan tampaknya Islam mengikutinya kemanapun dia pergi, bahkan ketika perjalanannya tidak dimotivasi oleh tujuan keagamaan. Salah satu contohnya adalah pertemuannya dengan seorang Muslim Ladakhi di bagian India Utara yang mayoritas beragama Buddha.
“Penemuan baru marginalia Muslim” ini mengarah pada kisah sejarah dan hubungan persahabatan antara Muslim dan Budha di Tibet dan Ladakh.
Memang, hal itu membawa perubahan perspektif dalam hal menerima agama lain dan melindungi satu sama lain meskipun ada perbedaan agama. Barat tidak terlihat luar biasa atau inovatif karena kondisinya yang heterogen.
Karakteristik kuat lainnya dari buku The Invisible Muslim ini adalah cara Medina Tenour Whiteman yang berhasil merefleksikan diri saat dia menulis tentang perjalanan dan pertemuannya. Menjadi kulit putih dan Muslim membantunya menyadari hak istimewa kulit putihnya, tetapi itu tidak membuatnya “kebal dari sikap rasis atau prasangka”, seperti halnya umat yang juga tidak kebal terhadap rasisme.
Terlepas dari kenyataan bahwa buku tersebut mengeksplorasi keputihan dan marjinalitas di dunia Muslim, penulis tidak memusatkan narasi di sekitar dirinya tetapi justru menampilkan dirinya hanya sebagai bagian dari Islam biasa. The Invisible Muslim memberikan ruang kepada “Muslim marginalia.”
Berbicara tentang tidak terlihat, Medina Tenour Whiteman menjelaskan konsep tersebut secara keseluruhan. Titik awalnya adalah warna putih yang jelas membuat Muslim kulit putih tidak terlihat dan diilustrasikan dengan baik dalam bab ‘Cukup Akrab: Mostar dan Sarajevo’, dengan Bosnia sebagai “bangsa Muslim yang praktis tidak terlihat”. Namun dinamika antara Muslim dan non-Muslim sangat berbeda dengan yang ada di Inggris.
Penulis tidak membatasi dirinya pada aspek fisik yang terlihat dari kata ini dan mengembangkannya pada aspek religius dan spiritual. Dia mendefinisikannya melalui hijab, yang dalam berbagai kasus memungkinkan seorang wanita untuk terlihat atau tidak terlihat.
Menjadi ibu adalah contoh lain dari ketidaktampakan dalam Islam, terutama saat ibu mundur dari dunia luar dan mengisolasi dirinya untuk merawat bayi yang baru lahir.
Seperti yang ditulisnya: “Kita semua memulai dengan cara ini, di tempat suci rahim. Islam sendiri diturunkan kepada nabi dalam pengasingan meditatif”.
Medina Tenour Whiteman menarik pandangan positif tentang menjadi Muslim dan tidak terlihat dari Islam itu sendiri, dari Nabi dan juga dari Allah.
Bab terakhir ‘Bersembunyi di depan mata: Tentang Hijab dan Gaib’ diakhiri dengan catatan yang indah, bahwa Allah tidak terlihat oleh mata manusia tetapi masih terlihat dan hadir dalam ciptaan-Nya yang luar biasa, sehingga bersembunyi di depan mata.
Medina Tenour Whiteman dengan murah hati berbagi dengan para pembaca tentang perjalanannya yang berbeda dan beragam, baik fisik maupun spiritual. Spektrum isu yang dibahas dalam The Invisible Muslim sangat luas, namun penulis berhasil menganalisisnya secara mendalam.
Ada evolusi yang jelas dari awal hingga akhir buku The Invisible Muslim di mana penulis menemukan jawaban atas beberapa pertanyaannya.
The Invisible Muslim adalah sebuah memoar di mana pengalaman pribadi terkait dengan peristiwa sejarah untuk merayakan keragaman dunia Muslim.
*Assia Belgacem adalah pengulas buku Perancis-Aljazair dengan fokus pada literatur Muslim dan Arab.
Sumber: The New Arab
Terjemahan bebas Bagbudig
No comments:
Post a Comment