Perlu saya umumkan bahwa tulisan ini bukan risalah fikih yang akan membahas halal-haram atau sejenisnya, tapi sekadar refleksi atau mungkin reaksi atas pernyataan tokoh Bappeda Aceh baru-baru ini yang katanya akan mendata para perokok sebagai sebuah ikhtiar untuk mengatasi kemiskinan di tanoh endatu.
Karena tulisan ini bukan kajian fikih, maka istilah rokok haram atau makruh menjadi tidak relevan untuk diperdebatkan. Biarkan saja persoalan itu menjadi otoritas para fuqaha tanpa kita menafikan hukum-hukum yang berlaku atasnya.
Lagi pula, selama ini rokok tidak saja menjadi objek kajian fikih yang kemudian melahirkan konsekuensi hukum, namun juga menjadi sasaran kampanye Gerakan Anti Rokok yang dalam praktiknya tidak selamanya dilandasi oleh kesadaran syariat, tapi juga soal “kontestasi” yang notabene sangat sekular.
Sebagai contoh, bagi kalangan kesehatan, rokok selalu saja didakwa sebagai perusak kesehatan. Meskipun kita tidak mengingkari soal ini, namun kampanye ini serasa tidak adil karena perusak kesehatan lainnya semisal mi instan, junk food atau bahkan sate bakar justru sepi dari kritik, padahal makanan-makanan itu juga belum tentu baik untuk kesehatan.
Tentu saja pola kampanye semacam ini sangat diskriminatif dan dalam praktiknya telah menimbulkan kebencian terhadap perokok sampai ke akar-akarnya, di mana perokok telah dianggap sebagai sumber petaka.
Baru-baru ini, tokoh Bappeda Aceh, yang foto mirip dirinya ketika mengisap ceurutu sempat ‘viral’ juga terlihat melontarkan ‘kritik pasif’ terhadap rokok dengan menyebut pendataan perokok sebagai salah satu strategi untuk mengatasi kemiskinan. Sebuah langkah prestisius yang hanya terpikir oleh orang-orang yang gizinya tercukupi.
Jika disimak lebih serius, pernyataan semacam itu mengerucut pada “kalkulasi birokratis” belaka yang giat mencari kesalahan orang miskin guna menutupi ketidakmampuan birokrasi dalam mengatasi kemiskinan. Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan bahwa punca kemiskinan itu berada di bawah, pada rakyat miskin, bukan pada penguasa yang kapan saja bisa berleha-leha dengan segenap fasilitas yang ada, termasuk mengisap cerutu Kuba di depan publik sembari mengutuk perokok miskin.
Dan akhirnya keluarlah pernyataan-pernyataan ‘sadis’ nan absurd bahwa rokok adalah penyebab kemiskinan. Tapi di waktu yang sama para penguasa dengan seperangkat aparaturnya justru bisa tetap haha-hihi sembari mengisap cerutu yang harganya lumayan “kurang ajar” tanpa harus takut miskin.
Dan, jika kita menoleh ke belakang, sebelum fatwa rokok versi birokrat ini keluar, pemerintah Aceh baru saja diserang dengan papan bunga bernuansa satire terkait prestasinya dalam mempertahankan kemiskinan ~ sehingga viral di medsos dan diliput media nasional. Kejutan ini tampaknya telah membuat lingkaran kekuasaan gagap seketika sehingga muncullah pikiran-pikiran unik.
Bukan tidak mungkin, pernyataan salah seorang pejabat pemerintah Aceh terkait rokok dan kemiskinan adalah manifestasi dari kegagapan ini sehingga lahirlah “serangan balasan” untuk menegaskan bahwa kemiskinan itu memang ada di Aceh, dan penyebabnya adalah rokok, bukan pemerintah yang sebagian aparaturnya mengisap cerutu.
Dengan demikian, tuduhan sebagian publik bahwa pemerintah Aceh gagal dan tidak mampu mengatasi kemiskinan adalah keliru, sebab yang paling bertanggungjawab terhadap tingginya kemiskinan adalah perokok, bukan om-om manis yang makan minumnya ditanggung negara.
Ilustrasi: Cigardojo
No comments:
Post a Comment