Kemarin (20/09/2021), sebuah koran lokal di Aceh menurunkan sebuah berita lumayan menarik yang kemudian mendapat tanggapan keras dari beberapa netizen. Berita dimaksud menujukkan amaran keras dari Kadisdik Aceh, Tuan Doktorandus Alhudri yang meminta agar kepala sekolah mundur jika tidak mampu melakukan vaksinasi kepada siswa.
Sekilas, berita ini terbilang cukup fenomenal dan mengesankan bahwa Alhudri adalah sosok yang tegas. Namun sayangnya, berita itu tidak meminta tanggapan dari para kepala sekolah yang menjadi “sasaran” Kadisdik Aceh itu, di mana publik hanya disuguhkan amaran sepihak, tanpa memuat respons dari pihak lainnya. Di titik ini berita tersebut menjadi tidak menarik.
Namun begitu, tidak lama setelah berita itu terbit, media sosial sempat “dihebohkan” dengan beredarnya sebuah video yang menunjukkan seorang perempuan ~ yang dengan gagah perkasa merespons amaran Alhudri dengan kalimat-kalimat keras disertai mimik wajah dan mata melotot, seperti seorang penyair yang sedang marah.
Perempuan itu menyebut Kadisdik Aceh telah menebar ancaman kepada para kepala sekolah. Ancaman berantai ini nantinya akan berlanjut ke wali kelas dan kemudian kepada para siswa di sekolah. Bukan tidak mungkin nantinya para siswa akan mendapat “teror” dan “intimidasi” sebagai dampak dari ancaman berantai ini.
Namun begitu, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Alhudri ~ yang menurut pemberitaan kanalaceh.com hartanya telah bertambah sebanyak 5,5 miliar dalam dua tahun terakhir ini ~ sebab Alhudri, meskipun menjadi atasan bagi para kepala sekolah, namun dia sendiri juga seorang bawahan dari atasan-atasan yang lebih hebat di atasnya seperti sekda dan gubernur yang fotonya dengan gaya menunduk sempat viral baru-baru ini. Artinya, bisa jadi “ancaman” Alhudri hanyalah “ancaman” terusan dari orang-orang yang ada di atasnya dan bukan murni ide Alhudri, di mana hal ini adalah lumrah dalam dunia birokrasi.
Dalam kondisi ini bisa jadi Kadisdik Aceh itu hanya menjalankan tugas. Namun dalam dunia pendidikan, pola-pola militeristik semacam ini tentunya sulit dimengerti, sebab mendidik dan mengancam adalah dua hal yang berbeda.
Selain itu, seperti dikatakan perempuan dalam video yang beredar tersebut, soal vaksin adalah tugas dinas kesehatan, bukan domain dinas pendidikan. Jika pun dinas pendidikan ingin terlibat, maka pendekatannya adalah melalui cara-cara yang mendidik, bukan melalui teror.
Dalam hal ini seharusnya Tuan Kadisdik Aceh tidak menjadikan kepala sekolah dan guru sebagai ujung tombak, sebab penolakan vaksin oleh siswa tidak bisa diselesaikan hanya oleh guru tanpa melibatkan orangtua siswa. Jika dipaksakan, justru nantinya para kepala sekolah dan guru yang menjadi sasaran dari orangtua siswa, sementara Kadisdik Aceh masih bisa tersenyum lebar.
Seharusnya dinas terkait memberikan sosialisasi serius kepada masyarakat agar bersedia divaksin, bukan justru menebar “ancaman” seperti dilakukan Kadisdik Aceh atau pun menunda bantuan jika tidak divaksin.
Penolakan vaksin bukan saja terjadi di Indonesia, tapi hal ini telah menjadi kontroversi global, di mana sebagian masyarakat di negara maju juga menolak vaksin.
Dalam kondisi ini seharusnya pemerintah memberikan pemahaman yang komprehensif tentang pentingnya vaksin serta meyakinkan publik bahwa vaksin itu aman. Hal ini penting sebab selama ini masyarakat dibingungkan dengan berbagai pemberitaan negatif di media sosial yang menyebut vaksin begini dan begitu.
Ilustrasi: Baliplus
No comments:
Post a Comment