“Tak hanya membuat kita semua lebih pintar, internet juga membuat kita lebih bodoh. Sebab, internet bukan hanya magnet bagi orang penasaran. Internet juga merupakan jebakan bagi orang lugu. Internet mengubah semua orang menjadi ahli secara instan. Anda punya gelar? Nah, saya sudah mencari di google!” (Frank Bruni)
Kapan hari kiamat terjadi? Benarkah vaksin menghindarkan orang dari virus? Apakah bumi bulat atau datar? Untuk orang yang hidup dalam rimba raya informasi saat ini, pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan dijawab oleh banyak orang bukan hanya para pakar. Terkadang jawaban dari para pesohor influencer yang memiliki banyak follower di medsos lebih didengar dan dipercaya daripada jawaban para pakar dan berpotensi membahayakan kehidupan orang banyak.
Gambaran di atas adalah fenomena matinya kepakaran di mana pendapat yang salah dianggap sebagai kebenaran. oleh Tom Nichlos fenomena ini direkam, kemudian dia tuangkan dalam bukunya The Death Of Expertise dalam terjemahan Bahasa Indonesia berjudul Matinya Kepakaran. Walau buku yang ditulis oleh Tom Nichlos dalam konteks Amerika, namun rasa-rasanya juga mewakili kondisi dari seluruh penduduk dunia yang terjamah oleh internet tak terkecuali Indonesia.
Internet Adalah Biang Kerok
Kondisi di zaman internet sangatlah berbeda dengan zaman di mana internet belum dikenal sama sekali. Sebelum internet menyerang, orang yang mengalami permasalahan tertentu atau ingin mengetahui sesuatu tentunya akan menemui dan meminta nasihat dari pakar di bidang tertentu. Namun, tidak demikian halnya saat internet menyerang secara membabi buta. Seseorang yang mengalami sakit kepala sebelah akan bertanya ke smartphone yang dimilikinya “Mengapa kepala saya sakit sebelah?” Dalam hitungan detik jawaban yang diinginkan akan memenuhi layar handphone dari sumber yang bervariasi mulai dari kementrian kesehatan sampai sumber yang tampak kurang meyakinkan.
Lebih lanjut Tom Nichlos menguraikan, internet yang menawarkan jalan pintas ke berbagai sumber pengetahuan, lebih merupakan sarana yang mempercepat kehancuran komunikasi antara para ahli dan orang awam. Internet memungkinkan orang berpura-pura memilki prestasi intelektual dan mengalami ilusi memiliki kepakaran, lantaran memiliki sumber fakta tanpa batas melalui komputer ataupun smartphone.
Internet adalah lingkungan tanpa aturan, yang membuka pintu untuk konten apapun dan digerakkan oleh kepentingan apapun, tanpa perlu filter dan persetujuan para pakar. Internet membuat orang menjadi lebih kejam, bersumbu pendek. Internet juga memungkinkan orang berbicara lebih banyak dari apa yang dia tahu. Internet menjelma menjadi arena tempat orang bereaksi tanpa berpikir.
Parahnya lagi jika ada yang beranggapan melakukan pencarian di internet adalah penelitian, padahal bukan. Itu hanyalah kegiatan memasukkan pertanyaan ke mesin terprogram yang sebenarnya tidak dapat memahami manusia sama sekali.
Penelitian yang dilakukan di University College Of London (UCL), orang tidak benar-benar membaca yang ditemukan di internet. Malahan, mereka hanya melirik baris-baris teratas atau beberapa kalimat pertama lalu pindah. Peneliti mencatat bahwa pengguna internet “Tidak membaca sebagaimana pengertian membaca itu sendiri. Muncul gaya membaca baru di kalangan para pengguna internet yaitu membaca sekilas secara horizontal sepanjang judul, halaman isi, dan abstrak dengan cepat. Kelihatan mereka masuk ke internet untuk menghindari kegiatan membaca secara tradisional (The Google Generation: The Information Behavior Of The Researche of The Future).
Pun demikian halnya dengan penyebaran informasi-informasi agama melalui internet di Indonesia. Muncul orang-orang yang tiba-tiba ngustadz menyebarkan informasi-informasi yang keliru bahkan hoax tentang agama, misalkan ramalan kiamat yang akan terjadi pada 15 Ramadhan tahun 2020. Ada juga ustadz yang mentartil bacaan AlQuran jamaah, padahal bacaan Alquran sang ustazd rusak parah secara tajwid. jika ditelisik lebih jauh orang-orang yang tiba-tiba ngustazd tersebut secara kapasitas kepakaran sama sekali tidak layak menjadi penyebar informasi-informasi agama . Dan masih banyak kejadian-kejadian serupa yang tak mungkin dituangkan di sini semua karena keterbatasan halaman.
Ibarat sungai sebagai sumber air, internet adalah sumur yang sudah tercemar oleh berbagai limbah dan racun. Karenanya perlu bagi setiap orang menyediakan waktu untuk menyerap dan mencerna informasi yang didapatnya.
Kondisi di atas tidak bisa ditanggapi dengan sikap pesimistis, kondisi di atas bisa diatasi jika masyarakat mau belajar supaya terbentuknya budaya literasi dan intelektual.
Di tengah derasnya arus informasi yang disebarkan dengan kecepatan tinggi dan tersedia dua puluh empat jam sehari melalui berbagai medium, buku sebagai sumber informasi berbeda dengan internet, setidaknya buku masih bisa jauh lebih ilmiah dan dapat dipercaya daripada internet. Terlebih buku yang terbit dari penerbit-penerbit terpercaya. Menghasilkan buku membutuhkan waktu, melalui proses penilaian dan negosiasi antara pengarang, editor, pemeriksa, dan penerbit.
Pun demikian, tidak semua informasi yang terserbar di internet bisa digeneralkan sebagai informasi yang salah dan hoax. Banyak juga informasi-informasi di internet yang benar dan valid terlebih informasi-informasi yang bersumber dari sumber resmi dan kredibel. Yang diperlukan adalah kecerdasan pengguna internet dalam menyerap informasi untuk bisa memilah-milih informasi yang diserapnya.
No comments:
Post a Comment