Penampilan tarian tradisional Rapa’i Geleng di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, saat pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2022 dikecam publik. Demikian berita yang beredar.
Kecaman-kecaman ini bahkan terlihat menggelantung, mengapung dan terserak di beranda media sosial. Tuan-Tuan Netizen tampak menyikapi pergelaran seni itu dengan suara nyaris kompak; sebagai sesuatu yang tidak pantas, tidak sopan, melanggar syariat dan frasa-frasa lainnya yang bermuara pada satu simpulan ~ mengecam.
Kecaman ini dihadirkan dalam narasi berbagai rupa dengan penuh penghayatan yang kononnya dilandaskan pada ketakwaan. Di antara narasi yang muncul bahwa kegiatan serupa ini tidak pernah terjadi di masa lalu dan ada pula yang menyebut kegiatan tersebut dapat mengganggu ritual shalat.
Narasi penolakan bernuansa historis dan teologis ini terus saja menggelinding di media sosial yang telah menjelma sebagai episentrum peradaban milenial paling mutakhir. Namun di sebalik itu, pembelaan-pembelaan kecil yang tak kalah syar’i terhadap aksi rapai juga melayang-layang di media sosial; bahwa perhelatan budaya Islami di masjid tidaklah terlarang.
Menyimak fenomena, respons dan pro kontra yang demikian tragis, kita pun terjebak dalam dilema; membenarkan kegiatan kesenian Islami atawa mengamini kecaman bernuansa religius yang dilayangkan netizen, sebab keduanya berlabel syariah.
Tapi, jika kita konsisten pada syariah teoritik berbasis konsensus, bukan syariah normatif berbasis teks-teks agama, maka apa yang terjadi di masjid raya baru-baru ini tidaklah melanggar syariat, sebab syariat yang satu tidak mungkin bertentangan dengan syariat yang lain.
Sederhananya, jika kesenian semisal rapai, kasidah, dalail khairat dan lagu-lagu yang kerap dibawakan oleh pendakwah populis dianggap sesuai syariat, maka melakukan aktivitas-aktivitas tersebut di masjid tentulah tidak melanggar syariat.
Tapi, itu semua tergantung pada sejauh mana konsistensi kita pada konsensus atas hal-hal dimaksud.
Demikian pula dengan klaim aksi rapai di masjid bisa mengganggu orang-orang shalat juga mesti dikomparasikan dengan aktivitas serupa semisal zikir atawa shalawat bersuara nyaring di dalam masjid. Jika kita jujur, bagi orang yang sedang shalat, suara-suara mengganggu dari dalam masjid ini tentu lebih problematik dibanding suara rapai di luar masjid. Belum lagi dengan suara-suara zikir yang menggunakan pengeras suara, tentu efek gangguannya melebih aqua; mengalir sangat jauh.
Begitu juga dengan ritual pernikahan di dalam masjid, meskipun oleh sebagian kalangan dianggap sunnah, namun dalam praktinya juga berpotensi terjadinya ikhtilath yang notabene melanggar syariat. Belum lagi dengan oknum khatib yang berteriak-teriak dan ‘memaki’ di atas mimbar. Bukankah itu juga melanggar syariat.
Tapi, ya seperti tadi, semua tergantung konsistensi dan di mana kita berdiri. Selebihnya adalah tafsir autokratis yang debatable
No comments:
Post a Comment