Apakah demokrasi kita sedang baik-baik saja? Atau, kita sedang menuju kejatuhan demokrasi. Kalau ukurannya kebebasan berbicara, demokrasi kita berada di ruang abu-abu. Di saat yang sama kita memiliki keyakinan bahwa reformasi telah menyediakan ruang untuk menyatakan pendapat, tetapi di saat yang sama kita juga mengetahui ada banyak jebakan – atas nama ketertiban dan kepatutan – untuk membungkam kebebasan berpendapat.
Tetapi, bukankah usia berdemokrasi kita belumlah matang kalau indikatornya rentang waktu hidup setelah rezim Orde Baru – yang kita jadikan sebagai prototipe pemerintah yang otoriter. Atau, bukankah kita sedang berjalan tertatih untuk belajar bagaimana hidup sebagai masyarakat modern yang menjadikan demokrasi sebagai jalan terbaiknya.
Demokrasi selalu jadi obat penyembuh apa pun sakitnya. Di Aceh, sebagai contoh, ketika percakapan damai dipilih, demokrasi merupakan cara untuk hidup di masa damai. Demokrasi adalah harga mati untuk sebuah perdamaian. Oleh karena itu, demokrasi dijadikan cara untuk memilih pemimpin kultural tertinggi yang disebut Wali Nanggroe. Tidak hanya itu, Wakil Wali Nanggroe pun dipilih melalui mekanisme demokrasi sehingga yang duduk di dua posisi itu merupakan representasi sebuah kelompok politik. Jangan heran kalau nanti, bila kekuatan politik berganti karena kehendak demokrasi, struktur politik kultural itu pun akan berubah sesuai dengan selera politik.
Lalu, apakah kita bisa mengatakan bahwa demokrasi terus melemah? Jawaban pertama, tentu saja, budaya demokrasi merupakan cangkokan dari luar. Orang menyebutnya, “dari Barat.” Demokrasi bukanlah datang dari budaya kita yang adiluhung. Lalu, orang akan beramai-ramai memilih otoritarianisme. Lalu, pilihan hanya ada dua: demokrasi atau otoriter.
Tentu saja, tidak ada yang berani mengatakan dirinya otoriter. Biasanya, otoritarianisme dibalut dengan banyak bahasa: demokrasi budi pekerti, demokrasi kearifan, demokrasi bukan barat, demokrasi asli Indonesia. Apakah itu demokrasi? Mungkin saja.
Tetapi, selalu saja demokrasi memiliki ukuran universal, salah satunya kedaulatan individu. Hal itulah yang menjadi masalah di Indonesia. Tahun 1950-an, ketika generasi yang tumbuh dalam dekapan pendidikan Eropa menjadi penguasa narasi. Demokrasi – dengan tambah “liberal” – menjadi cara hidup bernegara. Generasi itu tidak berlangsung lama. Demokrasi “liberal” dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia yang mengagungkan bapakisme. Bangsa yang hidup dengan penuh kesungkanan dan suka memberi kasih dianggap tidak cocok kalau suka berteriak dan memberikan pikiran tanpa memperhatikan “batas.”
Celakanya, batas merupakan diksi penguasa. Diksi itu digunakan untuk membatasi sesuatu yang berlari kencang. Lalu, untuk membuat batas itu kukuh, ditulislah aturan demi aturan. Barangsiapa yang tidak hidup di aturan maka dianggap telah menyalahi kodrat sebagai warga negara. Penguasa memiliki banyak kosa kata — Batas, kodrat, kepatutan, nilai timur, dan asing – sebagai cara membungkam kretivitas individu.
Kita pernah – dan sedang – hidup di alam itu.
No comments:
Post a Comment